Indonesia sekarang didominasi oleh generasi Y dan Z. Generasi Y yang sekarang menjadi orang tua dari generasi Z yang sekarang juga berada di perguruan tinggi sebagai mahasiswa. Generasi Z memiliki kehidupan yang sangat dekat dengan teknologi. Teknologilah yang memungkinkan mereka berinteraksi secara aktif di masyarakat, sedangkan Internet, yang mereka gunakan 24/7, adalah jaringan global yang membentuk kesadaran mereka (Scholz & Vyugina, 2019). Nama "Digital Natives" adalah label yang paling cocok untuk generasi muda yang menjalani kehidupan bersama teknologi (Prensky, 2001).
Minat Gen Z tidak terbatas pada isu dan topik tertentu. Mereka sadar akan segala sesuatu yang baru, mereka mengandalkan otoritas mereka sendiri, tetapi mereka sama-sama tertarik pada masalah global: dari insiden lokal atau berita dari teman, hingga kisah luar biasa yang terjadi di belahan dunia lain (Scholz & Vyugina, 2019). Karena mereka serba bisa dan berorientasi luas, salah satu ciri utama anggota Gen Z adalah berkurangnya kemampuan untuk memberikan perhatian terus-menerus (Ding et al., 2017). Mereka berpikir secara global, berkomunikasi secara global dan mengkonsumsi informasi dari seluruh dunia (Scholz & Vyugina, 2019).
Gen Z lebih menyukai media digital dari pada tradisional, dan memiliki kebutuhan yang konstan untuk menerima jenis informasi baru yang berbeda. Yang juga menjadi ciri khas GenZ adalah mereka melek teknologi dan lebih menyukai komunikasi melalui teknologi daripada kontak langsung dengan orang-orang (Polkov & Klmov, 2019). Dengan perkembangan teknologi di bidang multimedia, seperti tablet, smartphone, media sosial dan TV layar datar, generasi muda Gen Z telah terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi di dunia yang terkoneksi setiap saat. Generasi Z saat ini lebih menyukai banyak aliran informasi, interaksi yang sering dan cepat dengan konten, pengalaman teknologi dan kolaboratif yang menunjukkan tujuan yang jelas, meningkatkan motivasi, dan menyertakan aktivitas otentik (van Eck, 2006).
- Peran Media Sosial dalam Pendidikan Antikorupsi
Media sosial sebagai teknologi masa kini dapat digunakan sebagai media pendidikan antikorupsi yang sesuai dengan karakteristik generasi Z, urgensi pendidikan antikorupsi di Indonesia, dan nilai-nilai antikorupsi. Nilai-nilai antikorupsi yaitu kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, kerja keras, tanggung jawab, keberanian, sederhana, dan keadilan. Â Nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam kegiatan belajar mengajar baik dalam pendidikan antikorupsi maupun dalam kegiatan lainnya. Materi yang disusun dalam modul Pendidikan Antikorupsi yang disusun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi materi untuk mengaplikasikan media sosial sebagai media pembelajaran.
Generasi Z merupakan generasi yang menyukai komunikasi secara tidak langsung, menguasai teknologi, dan menyukai tujuan yang jelas. Media sosial merupakan sumber informasi dari pengetahuan atau kasus tentang korupsi. Menggunakan media sosial sebagai media pencarian informasi pembelajaran yang dilakukan oleh siswa bisa membuat siswa lebih bersemangat karena mereka melakukan sesuatu pada media yang biasa mereka gunakan. Selain itu, membuat poster atau video kreatif sebagai projek pembelajaran yang kemudian diunggah dalam media sosial juga merupakan salah satu cara pemanfaatan media sosial sebagai media pembelajaran mengenai pendidikan antikorupsi.
Penggunggahan poster atau video kreatif yang didasarkan pada materi dalam modul seperti materi Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan, Dampak Masif Korupsi, dan Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi bisa menjadi bentuk edukasi kepada masyarakat luas tidak terbatas pada siswa atau mahasiswa yang mendapatkan pendidikan antikorupsi. Pembahasan mengenai peran mahasiswa dalam pencegahan korupsi juga dapat dikaitkan melalui penggunaan media sosial yaitu dalam melakukan kampanye atau mengawal penegakan hukum sebuah kasus korupsi. Kampanye dilakukan untuk memberikan edukasi pada masyarakat luas. Pengawalan penegakan hukum dilakukan untuk memastikan para pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Masifnya pengawalan dan kampanye ini bisa menumbuhkan sikap takut melakukan korupsi atau marah bila menyaksikan tindakan korupsi.
Efek malu, takut, dan marah ini merupakan dampak dari pembelajaran berbasis nilai (Kadir, 2018). Pengaruh emosional dari diri pribadi terhadap suatu tindakan bisa menjadi cara yang efektif untuk membuat seseorang menjauhi tindakan tersebut. Sanksi sosial yang ditampilkan melalui media sosial dan disuarakan bisa menjadi faktor yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan  khususnya korupsi.
BAB III SIMPULAN
Generasi Z merupakan generasi yang hidup dengan teknologi, menyukai interaksi tidak langsung, peka terhadap isu global, interaksi yang cepat, dan tujuan yang jelas. Melalui karakteristik ini media sosial sangat cocok digunakan sebagai media pembelajaran yang disesuaikan dengan urgensi pendidikan antikorupsi dan modul yang telah disusun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peran media sosial yaitu memberikan informasi terkini mengenai korupsi, menjadi media untuk menyalurkan edukasi oleh para mahasiswa melalui projek akhir berkaitan dengan korupsi, dan melihat dampak sosial yang ditimbulkan akibat perilaku korupsi sebagai pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (2002). Korupsi dalam perspektif good governance. Jurnal Kriminologi Indonesia, 2(1), 31--36.