Perayaan pesta demokrasi telah usai beberapa hari yang lalu. Pesta ini berlangsung sukses, aman dan lancar. Meski sebelumnya sempat dikhawatirkan oleh semua pihak akan memunculkan konflik dari kedua kubu. Khususnya dalam kontestasi pilpres. Namun hal itu tak urung terwujud. Terlepas dari semua itu, hal ini merupakan kesuksesan bersama baik rakyat, kepolisian, tentara, penyelenggara pemilu yang telah bersinergi untuk mensukseskan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Ada yang menarik dari pemilu ini yakni pelaksanaan pilpres dan pileg dilakukan secara serentak. Meskipun sebelumnya juga sudah pernah dilakukan pada tahun 2014. Namun, higemoni pilpres menjadi daya tarik tersendiri. Pasalnya ada warna baru untuk calon wakil presidennya.
Selain itu pro kontra juga turut mewarnai jalannya pemilu kali ini. Tentu kita sudah tau semua isu-isu yang muncul ke permukaan. Namun hal itu bukan menjadi bahasan dalam tulisan kali ini.
Regulasi anyar terkait parlementary threshold memaksa partai baru bekerja lebih ekstra untuk sampai ke Senayan. Ambang batas 4 % yang dicanangkan membuat ketua partai harus memutar otak agar kader-kadernya duduk nyaman di kursi parleman.
Gebrakan demi gebrakan dilakukan partai baru untuk mendulang suara. Seperti halnya Partai Solidaritas Indonesia, Partai Berkarya, Partai Garuda yang mondar-mandir di layar kaca maupun media sosial untuk memproklamirkan diri agar nyantol di hati pemirsa.
Strategi tersebut nampaknya terbilang cukup berhasil. Dari lima partai sebelumnya PPP, PAN, Demokrat, Golkar, Hanura mengalami penurunan yang sangat signifikan. Tentu keuntungan suara juga dinikmati oleh partai baru seperti PSI, Berkarya, Perindo yang berhasil mendulang suara sekitar 2 % sekian. Suara lainnya berlabuh ke partai Gerindra, PKB,PKS, Nadem dan juga PDI P.
PDI P merupakan salah satu partai besar dalam kontestasi politik di republik ini. Setiap pemilihan pemimpin ditingkat nasional maupun daerah selalu mengusung kader terbaiknya. Tentu dibenak ini masih terekam jelas saat pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta. PDI P mengusung nama Basuki Tjahaya Purnama sebagai calon gubernur dan Djarot Saifulloh sebagai wakilnya.
Kala itu, suara pemilih terbagi dalam tiga kontestan yaitu pasangan AHY-Sylviana, Basuki-Djarot dan juga Anies-Sandi. Kekalahan AHY-Sylvi memaksa Basuki-Djarot dan Anies-Sandi bertarung dua putaran. Seperti yang kita ketahui bersama pilkada DKI selalu diidentikan dengan barometer untuk pilpres kedepannya. Tak heran jika pilkada DKI menjadi sorotan dan menguras energi yang begitu besar.
Residu politik nampak masih menyisakan bekas hingga pilkada DKI Jakarta. Di putaran kedua, aroma pilkada semakin memanas. Munculnya isu sara, minoritas, dan juga politisasi agama massif dilakukan. Bahkan puncaknya Basuki Purnama tersandung kasus penistaan agama. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Terjerat kasus penistaan agama dan tersingkir dari pilkada. Akhirnya pilkada DKI dimenangkan oleh pasangan Anies-Sandi.
Partai berlambang kepala banteng tersebut selalu terbayang-bayang dari Basuki Tjahaya Purnama yang tersandung kasus penistaan agama. Hal tersebut membuat nama PDI P menjadi sedikit tercoreng khususnya di ibu kota. Bahkan lawan politiknya tak segan-segan memberi label partai pendukung penista agama.