Mohon tunggu...
Najmeena Sholeha
Najmeena Sholeha Mohon Tunggu... -

pewarta warga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Majelis Umat : Penyalur Aspirasi dan Muhasabah dalam Islam

14 Maret 2015   20:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:39 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orang-orang Islam sering mensejajarkan antara parlemen dan majelis umat. Mereka bahkan menggunakan istilah ‘ahlul halli wal ‘aqdi’ .Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, ahlul halli wal ‘aqdi adalah orang-orang yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan kesepakatan dalam lingkungan pemerintahan, mereka semacam representasi rakyat: “kalau dalam konteks Indonesia sekarang ya, DPR”. Pada bagian lain, mengutip pendapat Jimli Ash-Shidiqie, disebutkan bahwa para sahabat yang duduk dalam keanggotaan lembaga ini (ahlul halli wal ‘aqdi), tak ubahnya seperti lembaga perwakilan dewasa ini (Koran Republika, edisi: 29 januari 2012). Mereka menyebutkan bahwa dunia parlemen bukan hanya milik era pemerintahan modern, tetapi pada masa-masa awal sejarah Islam yang telah diperkenalkan oleh para khalifah.

Pandangan ini tentu mengaburkan pemahaman tentang konsep pemerintahan Islam yang utuh. Mereka melegitimasi sistem demokrasi agar sesuai dengan konsep pemikiran politik Islam. Tujuannya agar orang Islam di Indonesia yang syu’ur Islam nya masih bagus, bersedia memilih/tidak golput pada pemilu 2014 mendatang.

Benarkah parlemen dalam demokrasi adalah wujud representasi aspirasi rakyat sebagaimana konsep majelis umat dalam sistem Islam? Lalu bagaimana mekanisme penyaluran aspirasi dan muhasabah dalm Islam?

Aspirasi rakyat dalam demokrasi adalah fiktif

Keanggotaan wakil rakyat di parlemen adalah untuk mewakili partai-partai politik yang dianggap merepresentasikan rakyat. Mereka dipilih dalam pemilu untuk menjadi wakil rakyat dan mengimplementasikan aspirasi rakyat dalam perundangan, serta fungsi-fungsi lainnya sesuai dengan tugas mereka. Namun, realitas menunjukkan bahwa yang dibawa oleh wakil rakyat adalah kepentingan partainya dan pihak-pihak yang menyeponsori kampanyenya. Adanya draft UU migas dan sumber daya air ternyata ‘diimpor’ dari lembaga internasional untuk menjamin kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Ternyata untuk negara-negara ‘berkembang’ (bahasa halus untuk menyebut objek penjajahan) adanya parlemen menjadi jalan masuk dan menguatnya cengkeraman negara asing melalui undang-undang.

Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim otoritarian baru, yakni pemilik modal. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga lembaga negara demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Fungsi ketiganya pun lumpuh di bawah pemilik modal. Lahirlah negara korporasi; penguasa pun ‘berselingkuh’ dengan pengusaha. Penguasa lebih tunduk dan berpihak kepada pengusaha yang mendanai penguasa terpilih. Maklum,  untuk bisa terpilih, seorang penguasa butuh dana yang besar. Adapun yudikatif tutup mata terhadap pelanggaran eksekutif, pasalnya yudikatif juga mudah disuap.

Fakta ini menunjukkan bahwa penyampaian aspirasi rakyat yang digembor-gemborkan pun nyaris fiktif. Bagaimana tidak? Lebih mudah bagi wakil rakyat untuk mengakomodasi kepentingannya sendiri dan pihak-pihak yang mensponsori kampanyenya daripada mendengarkan keinginan rakyat secara sungguh-sungguh. Sepanjang perjalanannya, rakyat hanya bisa berteriak karena lapar dan kedzaliman penguasa di jalanan tanpa penyelesaian masalah yang berpihak pada mereka, kecuali hanya janji-janji yang diberikan.

Konsep Islam dalam Penyaluran Aspirasi Rakyat

Dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (khalifah) yang menyimpang karena khalifah adalah manusia biasa. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya (HR Abu Dawud).

Abdul Kareem Newell dalam buku Akuntabilitas Negara Khilafah mengatakan bahwa ada pengimbang kekuatan eksekutif Khalifah di dalam negara Khilafah, yaitu majelis umat dan mahkamah mazhalim. Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat. Di sisi lain, individu warga negara maupun keberadaan partai politik yang melakukan koreksi terhadap penguasa bukan hanya boleh, tetapi wajib (QS Ali Imran [3]: 103). Inilah jaminan penyaluran aspirasi rakyat dalam Negara Khilafah.

Majelis Umat Penyalur Aspirasi Rakyat dan Muhasabah

Majelis umat merupakan sebuah majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana halnya lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi. Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Majelis umat melakukan fungsi utamanya dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan kontrol/muhasabah. Terdapat perbedaan antara syura dan muhâsabah. Syura adalah meminta pendapat atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan, sedangkan muhâsabah adalah melakukan penentangan setelah keputusan diambil atau setelah kebijakan diterapkan. Perlu ditekankan juga bahwa majelis umat bukan bagian dari struktur pemerintahan, karena itulah anggotanya pun bisa saja dipilih dari kaum wanita.

Ada beberapa hal yang menjadi wewenang majelis ummat, dimana pendapat majelis dapat bersifat mengikat khalifah atau tidak mengikat. Wewenang tersebut adalah sebagai berikut:

1.Dimintai masukan dan memberikan masukan kepada khalifah terkait urusan politik dalam negeri dan politik luar negeri. Dalam hal ini, jika aktifitas tersebut memerlukan pengkajiaan dan analisis yang mendalam, maka pendapat majelis ummat tidak bersifat mengikat, bahkan khalifah tidak harus merujuk kepada majelis ummat. Namun, jika aktifitas tersebut tidak membutuhkan pengkajian dan analisis yang mendalam, pendapat majelis ummat dalam hal ini bersifat mengikat, misalnya: permintaan rakyat atas perbaikan kota-kota dan penjagaan keamanan, dll.

2.Memberikan masukan terhadap penetapan hukum, tapi tidak melakukan adopsi hukum, dan pendapat majelis ummat dalam hal ini tidak mengikat.

3.Mengoreksi khalifah atas semua aktifitas praktis daulah. Pendapat majelis dalam hal ini bersifat mengikat kecuali yang berkaitan dengan aspek syariah yang telah sempurna dilaksanakan, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada makhamah madzalim.

4.Berhak untuk menampakkan ketidakrelaan terhadap para mu’awin, wali maupun amil. Pendapat mayoritas majelis dalam hal ini bersifat mengikat, kecuali jika pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat majelis wilayah di wilayah tersebut.

5.Membatasi calon-calon khalifah yang sudah ditetapkan mahkamah madzalim. Pendapat majelis dalam hal ini bersifat mengikat.

Berikut bagan perbandingan antara Parlemen dengan Majelis Ummat:

Perbandingan

Parlemen dalam Demokrasi

Majelis Ummat dalam Khilafah

Fungsi utama (wewenang)

Legislasi, penganggaran dan pengawasan. Dengan fungsi yang sangat besar ini wajar sering terjadi tarik ulur kepentingan individu atau kelompok dalam parlemen

Syura dan muhasabah (secara aktif maupun pasif). Khalifah pada dasarnya bisa terus jalan tanpa harus selalu menunggu pendapat Mejalis Ummat

Sifat pendapat yang diberikan (terhadap penguasa)

Mutlak selalu harus bersama-sama dengan presiden (jika salah satu pihak tidak sepakat maka tidak bisa disahkan)

Memang ada pendapat Mejalis yang tidak mengikat khalifah tapi ada pendapat Majelis yang mengikat khalifah (tergantung jenis perkaranya) sehingga untuk perkara yang mengikat maka khalifah wajib mengambilnya

Jika terjadi perselisihan pendapat dengan penguasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun