Judul Buku: Hujan Bulan Juni
Nama Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Tahun Terbit: Juni 2015
Tahun Cetak: Kedua puluh dua, Juli 2021
Ketebalan Buku: 135 Halaman
ISBN: 978-602-03-1843-1
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga Buku: Rp58.000
Tentang Penulis
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Saat ini berprofesi sebagai guru besar pensiun Universitas Indonesia (sejak 2005) dan guru besar tetap pada Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (2009). Ia mengajar dan membimbing mahasiswa di Pascasarjana Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, dan Institut Seni Indonesia Solo.
Buku Puisinya antara lain Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Duka-Mu Abadi (1979), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2001), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), Kolam (2009), Namaku Sita (2012), dan Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012).
Buku fiksinya berjudul Pengarang Telah Mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003), Sup Gibran (2011), Pengarang Belum Mati (2011), Pada Suatu Hari Nanti / Malam Wabah (2013), Jalan Lurus (2014), Hujan Bulan Juni (2014), dan Arak-arakan (2014).
Sinopsis
Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduanya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.
Dari puisi menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film, kini puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Darmono beralih wahana menjadi novel.
Novel "Hujan Bulan Juni" merupakan salah satu novel dari wahana puisi "Hujan Bulan Juni" (1994). Hujan Bulan Juni merupakan salah satu karya dari maestro sastra Indonesia, yaitu Sapardi Djoko Damono yang pertamakali menerbitkan pada tahun 2015 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Sehingga buku ini telah dicetak ulang beberapa kali sampai cetakan kedua puluh dua.
Awalnya, novel “Hujan Bulan Juni” terinspirasi oleh kumpulan puisi dengan judul yang sama kemudian dikembangkan menjadi novel, lagu, hingga film.
Isi Buku
Novel “Hujan Bulan Juni” menceritakan tentang kisah asmara Sarwono, seorang keturunan Jawa asli sekaligus dosen Antropologi yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, pekerja keras, mandiri, dan romantis di Universitas Indonesia dan kekasihnya Pingkan seorang keturunan Jawa dan Manado juga sebagai dosen Sastra Jepang yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, dermawan, ceria di Universitas Indonesia.
Kisah asmara Sarwono dan Pingkan menghadapi segala perbedaan latar belakang kehidupan dalam hal perbedaan agama, suku, adat, budaya, dan hubungan jarak jauh. Hubungan keduanya terjadi lika-liku untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Diceritakan bahwa Sarwono yang sudah mengenal Pingkan karena Pingkan merupakan adik dari temannya yaitu Toar. Saat di Solo, Sarwono dan Toar sudah berteman lama sejak duduk di bangku SMP. Pingkan adalah seorang campuran antara Jawa dan Manado. Ayah Pingkan orang Minahasa kemudian menikah dengan Ibu Hartini, orang Jawa.
Segala rintangan dihadapi oleh keduanya karena perbedaan dan pembawaan dalam cerita terkesan santai serta cerita percakapan antara keduanya yang ringan membuat hubungan antara Sarwono dan Pingkan menjadi lebih erat dan romantis.
Hubungan yang kaku antara Sarwono dengan keluarga Pingkan terjadi ketika Sarwono ditugaskan untuk melakukan rapat kerja di Universitas Sam Ratulangi (UNISRAT), Manado. Di sana ia mengajak Pingkan ikut dengannya untuk menemaninya dan di Manado juga Pingkan mengajak Sarwono untuk bertemu dengan keluarganya.
Saat Sarwono dan Pingkan mengunjungi Bibi Henny, tantenya Pingkan di Jawa. Permasalahan semakin rumit karena keluarga besar Pingkan tidak setuju apabila Pingkan menikah dengan Sarwono karena pertentangan antara suku Jawa dan Manado juga perbedaan agama. Keluarga Pingkan juga mendesak Pingkan agar mau dijodohkan dengan Tumbelaka, dosen muda yang telah kenal dengannya di Manado. Namun, Pingkan menolak juga saran dari Bibi Henny itu.
Selain karena pertentangan suku dan perbedaan agama, keluarga Pingkan tidak ingin Pingkan seperti orangtuanya yaitu bapaknya orang Manado dan ibunya orang Jawa dan berharap supaya Pingkan tinggal di Manado saja, bukan kembali ke Jakarta atau ikut Sarwono ke Solo.
Keberangkatan Pingkan yang masih beberapa bulan lagi diajukan untuk segera berangkat ke Jepang, hal itu membuat Sarwono tidak dapat melepaskan Pingkan pergi darinya. Sebelum Pingkan berangkat, ibu Pingkan meminta Sarwono untuk bertemu dengan dirinya untuk membicarakan tentang keseriusan Sarwono untuk menikahi Pingkan. Namun tak disangka Ibu Pelenkahu, ibunya Pingkan lugas merestui hubungan mereka berdua.
Waktu berlalu, jarak yang telah memisahkan antara Sarwono dan Pingkan antara Indonesia dan Jepang. Sarwono melaksanakan kesibukannya dengan baik namun akhir-akhir ini ia merasa tidak sehat dan masih terus menahan rasa kerinduannya terhadap Pingkan yang belum kembali ke Indonesia.
Ketika Pingkan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta untuk menjadi pemandu rombongan mahasiswa Jepang yang berkunjung ke Indonesia selama liburan musim panas dan ingin pula bertemu Sarwono secepatnya, ia mendapatkan kabar dari Toar mengenai kondisi Sarwono yang kritis dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pusat di Solo karena penyakit yang dideritanya yaitu paru-paru basah atau flek. Hal inilah yang membuat Pingkan segera menuju Solo.
Sesampainya di rumah sakit Pingkan dilarang oleh dokter untuk bertemu dengan Sarwono karena masih keadaan kritis sehingga hanya bertemu dengan Ibunya Sarwono, Bu Hadi. Saat bertemu dengan Bu Hadi, ia mengeluarkan lipatan koran titipan dari Sarwono agar segera diserahkan koran itu kepada Pingkan. Dalam koran itu tertulis “Tiga Sajak Kecil” karya Sarwono.
/1/
bayang-bayang hanya berhak setia
menyusur partitur ganjil
suaranya angin tumbang
agar bisa berpisah
tubuh ke tanah
jiwa ke angkasa
bayang-bayang ke sebermula
suaramu lorong kosong
sepanjang kenanganku
sepi itu, mata air itu
diammu ruang lapang
seluas angan-anganku
luka itu, muara itu
/ii/
di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening
di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu
dalam intiku
kau terbenam
/iii/
kita tak akan pernah bertemu:
aku dalam dirimu
tiadakah pilihan
kecuali di situ?
kau terpencil dalam diriku
(Hujan Bulan Juni, halaman 132-133)
Berikut adalah beberapa kutipan puisi pada novel “Hujan Bulan Juni”:
di atas pohon yang tinggi
dekat sebuah ladang sunyi
terdengar burung bernyanyi
memanggil-manggil pacarnya kembali
aduh sepi
malam memilin hati
(Hujan Bulan Juni, halaman 93)
aku akan datang malam mini
menjengukmu dalam mimpi—
tak seorang pun akan tahu
atau bertanya padaku
ingat, sayangku
jangan kau kunci pintumu
(Hujan Bulan Juni, Halaman 94)
katamu dulu kau takkan meninggalkanku—
omong kosong belaka!
sekarang yang masih tinggal
hanyalah bulan
yang bersinar juga malam itu
dan kini muncul kembali
(Hujan Bulan Juni halaman 94)
Kelebihan Buku
Novel Hujan Bulan Juni ini memiliki gaya bahasa yang indah karena dalam setiap kalimat yang disampaikan disertai sajak dan syair, penulis menyampaikan pesan tersirat mengenai toleransi beragama dalam suatu hubungan, memiliki konflik yang sederhana atas kisah asmara antara Sarwono dan Pingkan yaitu pertentangan perbedaan agama dan suku, banyak kata-kata yang puitis yang indah dalam kisah cinta novel ini.
Kekurangan Buku
Alur yang digunakan melompat-lompat atau maju mundur, sehingga cukup membingungkan pembaca, adanya kesulitan untuk memahami bacaan Bahasa Jawa yang kental karena saya sendiri bukan keturunan Jawa merasa sulit untuk memahami arti kalimat tersebut, dan hanya tercantum sedikit catatan kaki mengenai terjemahan Bahasa Jawa sehingga sulit untuk memahami kalimat Bahasa Jawa tersebut.
Saya merekomendasikan novel ini karena penyampaian cara penulisan yang berbeda membuat saya terpukau dalam alurnya ketika membaca yang disertai syair dan sajak disetiap kalimatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI