Mohon tunggu...
Najmah Nuraini Zuansyah
Najmah Nuraini Zuansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Domisili Bogor

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku: Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono

4 Mei 2023   23:55 Diperbarui: 15 Mei 2023   17:22 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi

Judul Buku: Hujan Bulan Juni

Nama Pengarang: Sapardi Djoko Damono

Tahun Terbit: Juni 2015

Tahun Cetak: Kedua puluh dua, Juli 2021

Ketebalan Buku: 135 Halaman

ISBN: 978-602-03-1843-1

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Harga Buku: Rp58.000

Tentang Penulis

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Saat ini berprofesi sebagai guru besar pensiun Universitas Indonesia (sejak 2005) dan guru besar tetap pada Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (2009). Ia mengajar dan membimbing mahasiswa di Pascasarjana Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, dan Institut Seni Indonesia Solo.

Buku Puisinya antara lain Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Duka-Mu Abadi (1979), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2001), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), Kolam (2009), Namaku Sita (2012), dan Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012).

Buku fiksinya berjudul Pengarang Telah Mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003), Sup Gibran (2011), Pengarang Belum Mati (2011), Pada Suatu Hari Nanti / Malam Wabah (2013), Jalan Lurus (2014), Hujan Bulan Juni (2014), dan Arak-arakan (2014).

Sinopsis

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduanya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.

Dari puisi menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film, kini puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Darmono beralih wahana menjadi novel.

Novel "Hujan Bulan Juni" merupakan salah satu novel dari wahana puisi  "Hujan Bulan Juni" (1994). Hujan Bulan Juni merupakan salah satu karya dari maestro sastra Indonesia, yaitu Sapardi Djoko Damono yang pertamakali menerbitkan pada tahun 2015 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Sehingga buku ini telah dicetak ulang beberapa kali sampai cetakan kedua puluh dua.

Awalnya, novel “Hujan Bulan Juni” terinspirasi oleh kumpulan puisi dengan judul yang sama kemudian dikembangkan menjadi novel, lagu, hingga film.

Isi Buku

Novel “Hujan Bulan Juni” menceritakan tentang kisah asmara Sarwono, seorang keturunan Jawa asli sekaligus dosen Antropologi yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, pekerja keras, mandiri, dan romantis di Universitas Indonesia dan kekasihnya Pingkan seorang keturunan Jawa dan Manado juga sebagai dosen Sastra Jepang yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, dermawan, ceria di Universitas Indonesia. 

Kisah asmara Sarwono dan Pingkan menghadapi segala perbedaan latar belakang kehidupan dalam hal perbedaan agama, suku, adat, budaya, dan hubungan jarak jauh. Hubungan keduanya terjadi lika-liku untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.

Diceritakan bahwa Sarwono yang sudah mengenal Pingkan karena Pingkan merupakan adik dari temannya yaitu Toar. Saat di Solo, Sarwono dan Toar sudah berteman lama sejak duduk di bangku SMP. Pingkan adalah seorang campuran antara Jawa dan Manado. Ayah Pingkan orang Minahasa kemudian menikah dengan Ibu Hartini, orang Jawa.

Segala rintangan dihadapi oleh keduanya karena perbedaan dan pembawaan dalam cerita terkesan santai serta cerita percakapan antara keduanya yang ringan membuat hubungan antara Sarwono dan Pingkan menjadi lebih erat dan romantis.

Hubungan yang kaku antara Sarwono dengan keluarga Pingkan terjadi ketika Sarwono ditugaskan untuk melakukan rapat kerja di Universitas Sam Ratulangi (UNISRAT), Manado. Di sana ia mengajak Pingkan ikut dengannya untuk menemaninya dan di Manado juga Pingkan mengajak Sarwono untuk bertemu dengan keluarganya.

Saat Sarwono dan Pingkan mengunjungi Bibi Henny, tantenya Pingkan di Jawa. Permasalahan semakin rumit karena keluarga besar Pingkan tidak setuju apabila Pingkan menikah dengan Sarwono karena pertentangan antara suku Jawa dan Manado juga perbedaan agama. Keluarga Pingkan juga mendesak Pingkan agar mau dijodohkan dengan Tumbelaka, dosen muda yang telah kenal dengannya di Manado. Namun, Pingkan menolak juga saran dari Bibi Henny itu.

Selain karena pertentangan suku dan perbedaan agama, keluarga Pingkan tidak ingin Pingkan seperti orangtuanya yaitu bapaknya orang Manado dan ibunya orang Jawa dan berharap supaya Pingkan tinggal di Manado saja, bukan kembali ke Jakarta atau ikut Sarwono ke Solo.

Keberangkatan Pingkan  yang masih beberapa bulan lagi diajukan untuk segera berangkat ke Jepang, hal itu membuat Sarwono tidak dapat melepaskan Pingkan pergi darinya. Sebelum Pingkan berangkat, ibu Pingkan meminta Sarwono untuk bertemu dengan dirinya untuk membicarakan tentang keseriusan Sarwono untuk menikahi Pingkan. Namun tak disangka Ibu Pelenkahu, ibunya Pingkan lugas merestui hubungan mereka berdua.

Waktu berlalu, jarak yang telah memisahkan antara Sarwono dan Pingkan antara Indonesia dan Jepang. Sarwono melaksanakan kesibukannya dengan baik namun akhir-akhir ini ia merasa tidak sehat  dan masih terus menahan rasa kerinduannya terhadap Pingkan yang belum kembali ke Indonesia.

Ketika Pingkan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta untuk menjadi pemandu rombongan mahasiswa Jepang yang berkunjung ke Indonesia selama liburan musim panas dan ingin pula bertemu Sarwono secepatnya, ia mendapatkan kabar dari Toar mengenai kondisi Sarwono yang kritis dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pusat di Solo karena penyakit yang dideritanya yaitu paru-paru basah atau flek. Hal inilah yang membuat Pingkan segera menuju Solo.

Sesampainya di rumah sakit Pingkan dilarang oleh dokter untuk bertemu dengan Sarwono karena masih keadaan kritis sehingga hanya bertemu dengan Ibunya Sarwono, Bu Hadi. Saat bertemu dengan Bu Hadi, ia mengeluarkan lipatan koran titipan dari Sarwono agar segera diserahkan koran itu kepada Pingkan. Dalam koran itu tertulis “Tiga Sajak Kecil” karya Sarwono.

/1/

bayang-bayang hanya berhak setia

menyusur partitur ganjil

suaranya angin tumbang


agar bisa berpisah

tubuh ke tanah

jiwa ke angkasa

bayang-bayang ke sebermula


suaramu lorong kosong

sepanjang kenanganku

sepi itu, mata air itu


diammu ruang lapang

seluas angan-anganku

luka itu, muara itu

/ii/

di jantungku

sayup terdengar

debarmu hening


di langit-langit

tempurung kepalaku

terbit silau

cahayamu


dalam intiku

kau terbenam

/iii/

kita tak akan pernah bertemu:

aku dalam dirimu


tiadakah pilihan

kecuali di situ?

kau terpencil dalam diriku

(Hujan Bulan Juni, halaman 132-133)

Berikut adalah beberapa kutipan puisi pada novel “Hujan Bulan Juni”:

di atas pohon yang tinggi

dekat sebuah ladang sunyi

terdengar burung bernyanyi

memanggil-manggil pacarnya kembali

aduh sepi

malam memilin hati

(Hujan Bulan Juni, halaman 93)

aku akan datang malam mini

menjengukmu dalam mimpi—

tak seorang pun akan tahu

atau bertanya padaku

ingat, sayangku

jangan kau kunci pintumu

(Hujan Bulan Juni, Halaman 94)

katamu dulu kau takkan meninggalkanku—

omong kosong belaka!

sekarang yang masih tinggal

hanyalah bulan

yang bersinar juga malam itu

dan kini muncul kembali

(Hujan Bulan Juni halaman 94)

Kelebihan Buku

Novel Hujan Bulan Juni ini memiliki gaya bahasa yang indah karena dalam setiap kalimat yang disampaikan disertai sajak dan syair, penulis menyampaikan pesan tersirat mengenai toleransi beragama dalam suatu hubungan, memiliki konflik yang sederhana atas kisah asmara antara Sarwono dan Pingkan yaitu pertentangan perbedaan agama dan suku, banyak kata-kata yang puitis yang indah dalam kisah cinta novel ini.

Kekurangan Buku

Alur yang digunakan melompat-lompat atau maju mundur, sehingga cukup membingungkan pembaca, adanya kesulitan untuk memahami bacaan Bahasa Jawa yang kental karena saya sendiri bukan keturunan Jawa merasa sulit untuk memahami arti kalimat tersebut, dan hanya tercantum sedikit catatan kaki mengenai terjemahan Bahasa Jawa sehingga sulit untuk memahami kalimat Bahasa Jawa tersebut.

Saya merekomendasikan novel ini karena penyampaian cara penulisan yang berbeda membuat saya terpukau dalam alurnya ketika membaca yang disertai syair dan sajak disetiap kalimatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun