Oleh Najmah (20 Desember 2020)
Makna dari kebahagiaan pada diri setiap manusia tidaklah sama. Ada manusia yang beranggapan bahwasanya kebahagiaan itu terletak pada kekayaan yang menumpuk dan jabatan yang tinggi, ada juga manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu bisa terwujud manakala terpuaskannya seluruh hasrat atau keinginan-keinginan, ada manusia yang beranggapan bahwa letak kebahagiaan itu sesungguhnya ada pada hati dan jiwa, serta ada pula manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu terwujud manakala justru ia bisa membahagiakan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tentu saja diantara devinisi sederhana di atas masih menyisakan ruang dan rongga terhadap penafsiran dan makna dari kebahagiaan.
Bagi manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu ada pada kekayaan yang menumpuk dan jabatan yang terpandang, maka pasti dirinya akan memusatkan segala daya dan upaya untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan serta berupaya untuk meraih jabatan yang tinggi. Ia bisa menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya hanya untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan.
Dia juga bisa saja melakukan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan kedudukan atau jabatan yang tinggi di mata manusia lainnya. Manusia yang seperti ini akan dengan mudah menghabiskan masa hidupnya dan mengenyampingkan hal-hal di sekitarnya hanya demi mendapatkan apa yang dia inginkan sebagai konsekuensi apa yang dia yakini walaupun bisa saja dalam prosesnya bertentangan dengan norma dan agama.
Hal demikianlah yang mendasari adanya sebagian manusia yang begitu mendewakan kekayaan dan kedudukan, bahkan tidak sedikit pula manusia yang terjerumus ke dasar lumpur jurang yang penuh kesesatan. Sehingga pula bukan hal yang aneh ketika kita mendengar ada manusia yang sampai hati melakukan perbuatan yang tercela sampai terjerumus ke dalam penjara karena menhalalkan segala macam cara dalam menumpuk kekayaan ataupun mendapatkan jabatan.
Manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu bisa terwujud manakala terpuaskannya seluruh hasrat atau keinginan-keinginan, maka ia akan melakukan daya dan upayanya agar terpenuhi segala apa yang menjadi hasrat dan keinginannya. Dia bisa melakukan apapun yang ia inginkan walaupun hal tersebut berbahaya ataupun bertentangan dengan norma dan aturan. Baginya kepuasan adalah hal yang paling utama sebagai konsekuensi dari hasrat dan keinginan hatinya.
Untuk manusia yang beranggapan bahwa letak kebahagiaan itu sesungguhnya ada pada hati dan jiwa dia akan mencari segala macam kondisi yang akan membuat hatinya merasa tenang dan damai. Sering kali dirinya merasa abai terhadap realitas keduniaan yang berada di luar dirinya, oleh sebab itu dia juga bisa meninggalkan hiruk pikuk kehidupan.
Manusia yang berpandangan seperti ini lebih memilih mengasingkan diri hanya untuk mencari ketenteraman dan kedamaian jiwanya. Itulah yang menjadi penyebab bagi sebagian manusia yang menghabiskan masa hidupnya demi menempuh jalan sufi, tarekat, samsara, ataupun yang lainnya.
Sedangkan bagi manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu terwujud manakala justru ia bisa membahagiakan orang-orang yang ada di sekitarnya, maka dia akan senantiasa menjadikan dirinya sebagai kemanfaatan bagi orang-orang yanag ada di sekelilingnya.
Segala macam daya dan upaya akan dia kerahkan demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitarnya, dia bahkan tidak segan untuk mengorbankan kepentinganya dirinya demi mengutamakan kepentingan orang-orang yang ada di sekitarnya yang bisa saja merupakan keluarganya, sahabtanya, atau pula tetangga dan handai taulan.
Kebahagiaan (happiness/Assa'aadah) hakikatnya lebih merujuk pada kondisi batin atau jiwa seseorang yang diwujudkan menjadi kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, ataupun kegembiraan. Dalam keadaan-keadaan tertentu manusia bisa saja merasakan kesenangan ketika dia mendapatkan uanag yang banyak, diberikan kenaikan jabatan, makan hidangan yang lezat, bertemu atau berkumpul dengan orang-orang yang dicintai, bepergian ke tempat yang dipenuhi pemandangan dan suasana yang indah.
Dalam keadaan yang sebaliknya, manusia bisa saja memperoleh kebahagiaan ataupun kesenangan batin manakala ia berhasil mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, menjauhi keramaian dunia, atau bisa juga manusia memperoleh kebahagiaan dengan jalan memberikan kebahagiaan kepada manusia ataupun mahluk yang lainnya.
Menilik pada kedua keadaan di atas yang tampak kontradiktif, lantas bagaimanakah atau pada kondisi apakah kebahagiaan yang paling utama yang seharusnya didapatkan oleh manusia, terlebih di zaman sekarang ini yang penuh dengan dialektika kehidupan. Yang terkadang begitu menggiurkan tetapi penuh dengan tipuan yang mematikan, yang terkadang penuh dengan jebakan yang menjatuhkan, atau kadang pula terlihat begitu penuh kebaikan namun dipenuhi kejahatan yang selalu mengintai.
Sejalan dengan perjalanan peradaban manusia di dunia yang sudah melampaui ribuan tahun, kebahagiaan merupakan diksi yang paling banyak dijadikan sebagai tujuan hidup ummat manusia dari segala macam peradabannya. Manusia mangharapkan tahta raja yang paling tinggi dengan harapan akan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna, akan tetapi tidak sedikit pula raja-raja yang pada akhirnya berakhir dalam tragedi kebinasaan yang luar biasa.
Manusia begitu mendamba kekayaan yang melimpah dengan harapan setelah mendapatkannya ia akan mudah dalam memperoleh kebahagiaan, akan tetapi setelah dirinya memperoleh harta yang begitu banyak, dirinya seperti berada di jalan yang tidak berujung, semakin banyak harta yang sudah dimilikinya semakin berhasrat pula untuk menambah harta yang lain, seperti manusia yang merasa tidak cukup walaupun telah memiliki emas sebesar gunung kemudia semakin bernafsu untuk memiliki gunung emas yang lainnya.
Atau pula ada manusia yang beranggapan bahwa dengan memiliki banyak kekayaan maka akan semakin mudah untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan kepada manusia lain, akan tetapi setelah ia memiliki kekayaan banyak justru menjadikannya sebagai manusia yang kikir dan kejam terhadap manusia yang lainnya.
Sedangkan manusia yang mengasingkan diri dan mendamba ketenangan batin sebagai jalan menuju kebahagiaan, ia mengesankan hanya perduli pada dirinya saja dan melupakan keberadaan dunia di sekitarnya. Ia menganggap pengasingannya dari kehidupan dunia sebagai kebaikan, akan tetapi ia menutup ruang keperduliannya terhadap sesama manusia ataupun mahluk yang lainnya. Bahkan tidak sedikit pula mereka menelantarkan keadaan keluarganya dan orang-orang disekitarnya berasal.
Kenyataan dan kondisi kehidupan ummat manusia pada hari ini yang banyak terjebak dan tertipu oleh kefanaan terkadang membuatnya lupa terhadap nilai-nilai kebahagiaan yang hakiki. Kehidupan dunia dipenuhi oleh banalisme yang kejam yang terkadang tidak segan untuk saling memangsa antara satu dan yang lainnya.
Manusia hanya berfokus pada kesenangan atau kebahagiaan dirinya semata dan melupakan kebahagiaan lain yang berada di luar dirinya sehingga sering kali manusia dengan mudahnya merebut kebahagiaan atau pula melukai manusia yang lain demi mendapatkan apa yang disangkanya adalah kebahagiaan.
Terlebih lagi ketika kita melihat peradaban ummat manusia yang semakin maju dan mampu menciptakan berbagai macam teknologi yang canggih akan tetapi justru menjauhkan manusia dari melestarikan kehidupannya dan malah semakin mengantarkan manusia kepada jurang kehancuran peradabanya sendiri.
Teknologi yang seharusnya mempermudah manusia dalam merawat kelangsungan kehidupan di bumi justru semakin mempercepat malapetaka dan kehancuran. Manusia di sisi lain membangaun peradaban yang modern tetapi disisi lain membinasakan peradaban yang lain.
Manusia berupaya untuk menjadikan hidupnya lebih baik akan tetapi di sisi lain justru malah membinasakan yang lain. Itulah mengapa kita banyak melihat eksploitasi hutan yang tidak mempertimbangkan keberlangsungan dan kelestarian alam, atau bagaimana pula manusia mengeksploitasi dunia laut tanpa mempertimbangkan kelestarian ekosistem yang ada padanya.
Manusia dalam hal ini berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jalan membunuh kehidupan yang lain. Tentunya dengan melihat hal demikian ummat manusia bisa disimpulkan bahwa mereka hakikatnya dalam hal ini sedang menuju degradasi peradaban dan kehancuran bagi mereka sendiri.
Di era kekinian yang seperti sekarang ini kita juga akan dengan mudah menjumpai kehidupan manusia yang terkadang sarat dan penuh dengan kepalsuan serta kebohongan. Kebenaran yang sering kali ditutup-tutupi dan kemudian memenangkan kebohongan untuk disebarkan dan dikonsumsi oleh manusia yang lainnya.
Manusia seakan-akan lebih mudah dan gemar memainkan dramaturgi yang penuh ketidakjujuran untuk ditampilkan sehingga menutupi kebenaran yang sebenarnya. Manusia denagn entengnya saling berlomba untuk menyuguhkan dan memamerkan gambaran kebahagiaan yang hakikatnya sedang tidak ada
 Itulah sebabnya mengapa dengan mudahnya kita jumpai di media-media sosial sebagian manusia gemar menampilkan kepalsuan. Ia sering kali memperlihatkan hal-hal yang sebenarnya sedang tidak ada menjadi seolah-olah nampak ada, ia menampilkan sesuatu yang justru terkadang berkebalikan dari keadaan yang sebenarnya terjadi. Parahnya hal demikian dilakukan secara kolektif oleh semua lapisan masyarakat, dari hulu hingga ke hilir, dari lapisan masyarakat elit penguasa sampai kepada lapisan masyarakat biasa.
Dengan melihat fenomena-fenomena yang ada sekarang ini, hakikatnya manusia dituntut untuk melihat secara tajam dan jernih segenap persoalan dan tantangan yang tergelar di hadapannya agar kemudia bisa memilah dan mimilih persoalan dengan tanpa kekeliruan.
Manusia dituntut untuk melihat persoalan dengan tatapan jauh ke dalam dan melampaui wujud permukaan sehingga mampu menemukan keadaan atau gambaran yang sebenarnya. Manusia dituntut untuk melihat persoalan secara holistik agar kebenaran yang didapatnya tidak parsial atau sepotong-sepotong.
Demikian pula manusia dituntut untuk mampu memilah dan memilih seganap hal yang ada di hadapannya dengan hati-hati supaya tidak terjebak ataupun tergelincir ke dalam pilihan-pilihan yang terlihat indah dan mengiurkan tetapi pada hakikatnya merupakan tipuan dan kepalsuan yang menyesatkan yang pada akhirnya bisa membawa dirinya ke dalam kenestapaan dan justru semakin menjauhkan dirinya dari makna kebahagiaan yang sesunggguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H