Dalam keadaan yang sebaliknya, manusia bisa saja memperoleh kebahagiaan ataupun kesenangan batin manakala ia berhasil mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, menjauhi keramaian dunia, atau bisa juga manusia memperoleh kebahagiaan dengan jalan memberikan kebahagiaan kepada manusia ataupun mahluk yang lainnya.
Menilik pada kedua keadaan di atas yang tampak kontradiktif, lantas bagaimanakah atau pada kondisi apakah kebahagiaan yang paling utama yang seharusnya didapatkan oleh manusia, terlebih di zaman sekarang ini yang penuh dengan dialektika kehidupan. Yang terkadang begitu menggiurkan tetapi penuh dengan tipuan yang mematikan, yang terkadang penuh dengan jebakan yang menjatuhkan, atau kadang pula terlihat begitu penuh kebaikan namun dipenuhi kejahatan yang selalu mengintai.
Sejalan dengan perjalanan peradaban manusia di dunia yang sudah melampaui ribuan tahun, kebahagiaan merupakan diksi yang paling banyak dijadikan sebagai tujuan hidup ummat manusia dari segala macam peradabannya. Manusia mangharapkan tahta raja yang paling tinggi dengan harapan akan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna, akan tetapi tidak sedikit pula raja-raja yang pada akhirnya berakhir dalam tragedi kebinasaan yang luar biasa.
Manusia begitu mendamba kekayaan yang melimpah dengan harapan setelah mendapatkannya ia akan mudah dalam memperoleh kebahagiaan, akan tetapi setelah dirinya memperoleh harta yang begitu banyak, dirinya seperti berada di jalan yang tidak berujung, semakin banyak harta yang sudah dimilikinya semakin berhasrat pula untuk menambah harta yang lain, seperti manusia yang merasa tidak cukup walaupun telah memiliki emas sebesar gunung kemudia semakin bernafsu untuk memiliki gunung emas yang lainnya.
Atau pula ada manusia yang beranggapan bahwa dengan memiliki banyak kekayaan maka akan semakin mudah untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan kepada manusia lain, akan tetapi setelah ia memiliki kekayaan banyak justru menjadikannya sebagai manusia yang kikir dan kejam terhadap manusia yang lainnya.
Sedangkan manusia yang mengasingkan diri dan mendamba ketenangan batin sebagai jalan menuju kebahagiaan, ia mengesankan hanya perduli pada dirinya saja dan melupakan keberadaan dunia di sekitarnya. Ia menganggap pengasingannya dari kehidupan dunia sebagai kebaikan, akan tetapi ia menutup ruang keperduliannya terhadap sesama manusia ataupun mahluk yang lainnya. Bahkan tidak sedikit pula mereka menelantarkan keadaan keluarganya dan orang-orang disekitarnya berasal.
Kenyataan dan kondisi kehidupan ummat manusia pada hari ini yang banyak terjebak dan tertipu oleh kefanaan terkadang membuatnya lupa terhadap nilai-nilai kebahagiaan yang hakiki. Kehidupan dunia dipenuhi oleh banalisme yang kejam yang terkadang tidak segan untuk saling memangsa antara satu dan yang lainnya.
Manusia hanya berfokus pada kesenangan atau kebahagiaan dirinya semata dan melupakan kebahagiaan lain yang berada di luar dirinya sehingga sering kali manusia dengan mudahnya merebut kebahagiaan atau pula melukai manusia yang lain demi mendapatkan apa yang disangkanya adalah kebahagiaan.
Terlebih lagi ketika kita melihat peradaban ummat manusia yang semakin maju dan mampu menciptakan berbagai macam teknologi yang canggih akan tetapi justru menjauhkan manusia dari melestarikan kehidupannya dan malah semakin mengantarkan manusia kepada jurang kehancuran peradabanya sendiri.
Teknologi yang seharusnya mempermudah manusia dalam merawat kelangsungan kehidupan di bumi justru semakin mempercepat malapetaka dan kehancuran. Manusia di sisi lain membangaun peradaban yang modern tetapi disisi lain membinasakan peradaban yang lain.
Manusia berupaya untuk menjadikan hidupnya lebih baik akan tetapi di sisi lain justru malah membinasakan yang lain. Itulah mengapa kita banyak melihat eksploitasi hutan yang tidak mempertimbangkan keberlangsungan dan kelestarian alam, atau bagaimana pula manusia mengeksploitasi dunia laut tanpa mempertimbangkan kelestarian ekosistem yang ada padanya.