Pada November 2023 lalu, melalui program yang dibuat oleh UKM Jamaah Cinema Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, aku mendapatkan kesempatan untuk berlatih menjadi crew pada produksi film pendek. Kesempatan pertama itu ku gunakan untuk mencoba dan berlatih menjadi asisten sutradara. Dengan crew sejumlah 28 orang, kami memproduksi film kami selama 2 hari 1 malam.Â
Kemudian, berangkat dari pengalaman pertama tadi, pada Mei 2024 kemarin aku kembali berkesempatan untuk belajar lagi menjadi asisten sutradara, dengan crew yang lebih sedikit, yaitu 9 orang. Perbedaan jumlahnya sangat jauh bukan? Keterbatasan ini membuat kami harus rangkap memegang dua hingga tiga tugas dalam produksi tersebut.
Pengalaman 2 kali menjadi asisten sutradara (atau kerap disingkat menjadi astrada) di dua kelompok yang berbeda jumlah, berbeda motivasi, berbeda pengalaman, dan berbeda tujuan, tentu saja memiliki dinamika yang berbeda pula. Dari perbedaan tersebut, dari pengalaman kecil tersebut, ada banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan. Di laman ini, aku ingin membagikan pelajaran-pelajaran itu dengan teman-teman kompasianer.
Dinamika kelompok yang berbeda pastinya membutuhkan penyesuaian yang berbeda. Tak harus berbeda jumlah, setiap kelompok bahkan dengan jumlah yang sama namun dengan anggota crew yang berbeda pasti akan berbeda pula cara berkomunikasinya.Â
Pada kelompok pertama, mayoritas anggotanya adalah laki-laki dengan jumlah 20 orang dan Perempuan berjumlah 8. Aku sebenarnya adalah orang yang cukup kaku dan canggung ketika harus berhadapan dengan laki-laki, terlebih pada saat sma aku menjalaninya di pesantren, yang interaksi dengan lawan jenisnya sangat dibatasi.
Tantangan ini sangat terasa, sebagai asisten sutradara yang mengharuskan untuk bersikap tegas, namun crewnya mayoritas belum dikenal, dan merupakan hal yang tidak biasa bagiku.
Pada pengalaman pertama ini, aku lebih banyak mempelajari karakter dari anggota crew, menghabiskan setengah waktu produksi untuk menyesuaikan diri, berkenalan, berani menegur, dan hal itu sangat menguras energi.Â
Berbeda dengan pengalaman kedua, anggotanya lebih sedikit, tujuan yang ingin kita raih juga tidak sebesar pada pengalaman pertama. Jika pada pengalaman pertama yang dikejar adalah kualitas dalam waktu yang singkat, pada pengalaman kedua kami lebih memprioritaskan untuk selesai sebelum tenggat waktu yang diberikan, dengan skill seadanya yang kami miliki.
Perbedaan itu menghasilkan sikap yang berbeda. Pada pengalaman pertama aku mengamati bahwa anggota crew adalah orang-orang yang tidak terlalu senang jika ditegur dengan menggunakan nada maupun volume yang tinggi. Sehingga pada pengalaman pertama, aku mencoba untuk tetap tegas namun lebih santai, karena suasana hati crew sangat penting untuk dijaga ketika produksi sedang berlangsung.Â
Sedangkan pada pengalaman produksi yang kedua, karena latar yang kami gunakanan kebanyakan adalah fasilitas umum, dengan anggota yang lebih sedikit sehingga setiap ingin bersikap tegas masalah waktu, aku lebih banyak bersabar karena menyadari kurangnya sumber daya manusia yang ada.
Dan di situlah tantangan sebenarnya, terkadang aku masih kesulitan untuk dapat bersikap tegas karena terlalu memikirkan hubungan baik dengan anggota crew. Hal itu sebenarnya tidaklah salah, namun jika terlalu memikirkan hubungan antarpersonal, mengesampingkan tujuan bersama yang memang mengharuskan untuk bersikap tegas, jika tujuan tidak tercapai justru situasi akan semakin sulit.Â
Maka hal yang ku pelajari adalah, bagaimanapun tegas sangat diperlukan, apalagi dengan posisi sebagai asisten sutradara, jika kita terlalu santai, pasti akan ada banyak hal yang tidak tercapai. Tidak perlu takut hubungan menjadi buruk, karena kita hanya mencoba untuk bersikap professional, namun tetap jaga kalimat agar tidak menyakiti dan mengacaukan suasana.
Kemudian, pentingnya meng crosscheck. Asisten sutradara adalah crew yang bertugas mengatur dan memanajemen waktu di lapangan. Salah perhitungan dan perkiraan bisa berakibat cukup besar. Meski terkadang kita memang bisa saja salah memperkirakan, atau terjadi beberapa kendala eksternal seperti lokasinya digunakan oleh orang lain, dan sebagainya.Â
Pada produksi pertama, karena kurangnya koordinasi, ada lokasi yang ketika akan kami gunakan, ternyata akan digunakan juga oleh kelompok lain, pun alat" yang seharusnya menjadi properti ternyata masih digunakan untuk keperluan lain.Â
Maka kesalahanku adalah kurang mengoordinasi hal-hal tersebut pada crew yang lain, membuat jadwal kami molor cukup lama dan alhasil syuting yang seharusnya selesai pukul 10 malam baru dapat kami selesaikan pukul 3 dini hari. Kesalahanku ini membuat waktu istirahat dari para crew menjadi kurang, sehingga waktu untuk mengisi tenaga juga menjadi lebih sedikit.
Pada produksi kedua, aku membuat jadwal yang mungkin terlalu singkat, padahal dengan jumlah crew yang lebih sedikit, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan pasti akan lebih lama.Â
Jika sudah begini, kemampuan pemecahan masalah kita diuji. Bagaimana agar syuting tetap bisa selesai tepat waktu meski ada beberapa kesalahan yang terjadi. Inilah beberapa hal yang ku pelajari dari dua kali menjadi asisten sutradara, masih banyak sekali kekurangan yang harus diperbaiki.Â
Semoga dapat menjadi referensi dan pelajaran untuk teman-teman kompasianer yang juga akan menjadi asisten sutradara atau berminat untuk mempelajarinya. Terimakasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H