Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling utama dan mendasar yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui bahasa, individu dapat saling berinteraksi, bertukar informasi, menyampaikan pikiran, serta mengekspresikan perasaan dan ide-ide yang dimiliki. Bahasa juga berfungsi sebagai simbol yang mencerminkan kebudayaan, tradisi, dan identitas suatu bangsa. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan yang sangat krusial dalam membentuk jati diri individu dan karakter kolektif suatu masyarakat, sekaligus menjadi sarana yang mempererat hubungan antarsesama warga negara. Di Indonesia, Bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa nasional yang memiliki posisi strategis sebagai pemersatu bangsa. Bahasa ini digunakan secara luas dalam berbagai konteks resmi, baik dalam dunia pendidikan, administrasi pemerintahan, kegiatan bisnis, hingga dalam ranah interaksi sosial antarwarga. Bahasa Indonesia juga menjadi sarana penting dalam menyebarkan pengetahuan, menjaga keutuhan bangsa, dan memperkuat identitas nasional di tengah keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi informasi, penggunaan Bahasa Indonesia mengalami berbagai dinamika. Salah satu pengaruh yang cukup signifikan datang dari kemunculan bahasa gaul atau ragam bahasa nonformal yang kerap digunakan di kalangan generasi muda. Bahasa gaul ini, yang biasanya muncul di media sosial atau dalam percakapan sehari-hari, sering kali mencampurkan kosakata dari berbagai bahasa atau bahkan menciptakan istilah-istilah baru. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kreativitas bahasa di kalangan anak muda, tetapi juga menandakan adanya perubahan pola komunikasi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan globalisasi.Â
 Bahasa gaul, yang sering kali terdiri dari kata-kata yang dipendekkan, slang, dan kata -kata yang dipengaruhi oleh bahasa asing (terutama bahasa Inggris), telah menjadi tren di kalangan generasi muda, Istilah-istilah seperti "kagak" untuk "tidak", "emang" untuk "memang", dan "temen" untuk "teman" adalah contoh nyata dari penggunaan bahasa gaul yang semakin berkembang. Pada awalnya, bahasa gaul ini digunakan untuk membedakan kelompok sosial tertentu, tetapi seiring waktu, penggunaannya meluas dan diterima oleh masyarakat umum. Bahkan, tidak jarang kita menemukan penggunaan bahasa gaul dalam percakapan formal, seperti dalam rapat atau diskusi di media massa. "Pengaruh bahasa gaul dalam bahasa Indonesia semakin terlihat jelas, hal ini akan berpengaruh terhadap tatanan bahasa Indonesia serta makna dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi pudar." (Nurhasanah, 2014).
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi maraknya penggunaan bahasa gaul adalah media sosial dan dunia digital. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi tempat utama bagi anak muda untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan mengekspresikan diri. Pada platform ini, bahasa gaul digunakan untuk menciptakan kedekatan antar pengguna dan mengekspresikan identitas diri, terutama dalam kalangan remaja. Dengan semakin banyaknya orang yang mengakses dan menggunakan bahasa gaul, fenomena ini pun menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. "Penggunaan bahasa gaul merupakan bahasa yang diambil dari kosakata bahasa baku dan sering digunakan siswa-siswa sekolah dasar dalam percakapan sehari-hari." (Menurut Jaidah et al., 2023).
Namun fenomena ini juga memberikan pengaruh yang besar terhadap Bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa gaul yang tidak teratur dapat menyebabkan penurunan pemahaman mengenai kaidah bahasa Indonesia yang tepat dan resmi. Misalnya, dalam lingkungan pendidikan, penggunaan bahasa gaul dalam karya ilmiah atau tugas akademis dapat mengurangi kualitas komunikasi yang diharapkan dalam konteks formal. mencatat, "Keberadaan bahasa gaul memang sangat mengganggu eksistensi bahasa Indonesia. Namun di sisi lain kita tidak bisa mencegahnya apalagi di kalangan anak-anak kelas rendah karena perkembangan psikologi menuntut mereka agar diakui di masyarakat dan salah satunya dengan mengikuti tren bahasa gaul itu sendiri." (Wahyuni, 2022)
Bahasa gaul, yang sering kali terdiri dari kata-kata yang dipendekkan, slang, dan kata-kata yang dipengaruhi oleh bahasa asing (terutama bahasa Inggris), telah menjadi tren di kalangan anak muda. Istilah-istilah seperti "kagak" untuk "tidak", "emang" untuk "memang", dan "temen" untuk "teman" adalah contoh nyata dari penggunaan bahasa gaul yang semakin berkembang. Pada awalnya, bahasa gaul ini digunakan untuk membedakan kelompok sosial tertentu, tetapi seiring waktu, penggunaannya meluas dan diterima oleh masyarakat umum. Bahkan, tidak jarang kita menemukan penggunaan bahasa gaul dalam percakapan formal, seperti dalam rapat atau diskusi di media massa.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi maraknya penggunaan bahasa gaul adalah media sosial dan dunia digital. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi tempat utama bagi anak muda untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan mengekspresikan diri. Pada platform ini, bahasa gaul digunakan untuk menciptakan kedekatan antar pengguna dan mengekspresikan identitas diri, terutama dalam kalangan remaja. Dengan semakin banyaknya orang yang mengakses dan menggunakan bahasa gaul, fenomena ini pun menyebar ke berbagai lapisan masyarakat.Â
Berbagai argumen dapat dikemukakan untuk memahami dampak bahasa gaul terhadap keberadaan Bahasa Indonesia. Pertama, bahasa gaul telah menjadi tren di kalangan remaja sebagai sarana mengekspresikan identitas sosial serta bentuk penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Remaja kerap menggunakan bahasa gaul untuk menunjukkan kebersamaan atau keanggotaan dalam kelompok atau komunitas tertentu. Selain itu, dalam banyak situasi, penggunaan bahasa gaul juga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri mereka karena merasa diterima dan diakui oleh teman sebaya.
Namun di sisi lain, pemakaian bahasa gaul yang terus mengalami perkembangan dapat mempengaruhi kualitas bahasa Indonesia. Bahasa gaul yang cenderung mengabaikan kaidah tata bahasa yang baku dapat mengakibatkan penurunan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Hal ini dapat berdampak negatif pada proses pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah atau universitas, di mana bahasa Indonesia yang formal dan baku seharusnya diajarkan untuk tujuan komunikasi yang jelas dan efektif. Selain itu, media massa yang sering menampilkan bahasa gaul dalam program acara atau iklan juga turut memperburuk keadaan, karena pesan yang disampaikan melalui media seharusnya dapat dipahami oleh semua kalangan, tanpa tergantung pada penggunaan bahasa gaul.
Pengaruh bahasa sehari-hari terhadap keberadaan Bahasa Indonesia memang tidak bisa dihindari, terutama di antara generasi muda. Fenomena ini menandakan adanya transformasi dalam metode komunikasi yang selaras dengan kemajuan zaman dan teknologi. Namun, meskipun bahasa gaul dapat mencerminkan kreativitas dan identitas sosial, penggunaan bahasa yang tidak baku dapat merusak kualitas komunikasi dan mengancam kelestarian Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
"Makin berkembangnya waktu, maka pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mulai bergeser digantikan dengan pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul. Anak remaja menganggap kalau tidak mengerti bahasa gaul berarti remaja tersebut tidak gaul. Bahasa gaul semakin merajai pergaulan remaja. Bahkan tak jarang banyak orang berpendidikan pun menggunakan bahasa gaul ini, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, baik dalam waktu formal maupun non-formal, yang mengakibatkan penggunaan bahasa menjadi tidak baik dan tidak benar." (Ngaziz, n.d.),
"Peran media juga disinyalir dapat menjadi faktor-faktor maraknya penggunaan bahasa gaul dan bahasa asing dikalangan anak muda. Seperti yang kita ketahui bahwa media menjadi wadah bagi anak-anak muda dapat mengembungkan potensi dan memperluas wawasannya. Namun disamping itu, media juga dapat menjadi sumber negative hagi para anak-anak muda. Misalnya percakapan ditelevisi yang menggunakan bahasa gaul atau menggunakan bahasa campuran antara bahasa inggris dengan bahasa Indonesia." (mi, A. M. N., Putri, C. D., Lubis, F., Lestari, N. I., Nababan, S. F., Saragih, S. H., & Sari, S. D. (2023),