UNODC dan The World Customs Organization memperkirakan 75% produk palsu yang merambah di pasar dunia pada tahun 2010 dibuat di Asia Timur, umumnya di Tiongkok. Biaya tenaga kerja yang murah dan berlimpahnya pekerja ilegal membuat Tiongkok menjadi pilihan para produsen barang palsu.
Jika dulu kita bisa menemukan produk-produk ini di ritel dan pasar, maka di era digital produk palsu banyak didistribusikan melalui e-commerce dan kanal penjualan online lainnya. Salah satu e-commerce besar yang digadang-gadang banyak mendistribusikan barang palsu adalah Alibaba.
Tahun lalu Amerika Serikat memasukkan raksasa milik Jack Ma ini ke dalam daftar counterfeit goods watch list. Sejak saat itu Alibaba mengklaim bisnisnya mengambil langkah-langkah untuk memerangi pemalsuan di jaringan seller-nya. Salah satu caranya dengan menciptakan sebuah sistem buku besar digital yang dirancang untuk melacak produk makanan asli melalui rantai pasokan.
Pemalsuan memakan banyak korban
Seorang konsumen dapat dikatakan menjadi korban pemalsuan ketika mereka tak menyadari bahwa barang yang dibelinya adalah palsu. Tak hanya kerugian dari segi nominal saja, jika barang palsu yang mereka beli adalah obat-obatan atau minuman keras, tentu nyawa pun terancam melayang.
Ada pula konsumen yang dengan sadar membeli produk palsu. Mereka senang bisa mendapatkan barang yang mirip barang asli dengan harga murah, namun mereka mungkin tak menyadari bahwa industri barang palsu mendukung pelanggaran tenaga kerja manusia dan hak anak.Â
Dana Thomas, dalam bukunya yang berjudul Deluxe: How Luxury Lost Its Luster mengatakan bahwa ia menyaksikan bagaimana seorang anak mengalami kekerasan dan dipaksa bekerja merakit tas kulit palsu.
Daftar korban tak berhenti di situ. Dari sisi produsen dan merek, tentunya turut dirugikan. Bagi sebuah produk bermerek yang dipalsukan, beredarnya barang palsu tak akan mengambil pangsa pasar. Tetapi, permasalahannya adalah rusaknya nilai yang terkait dengan merek tersebut. Beredarnya produk bermerek palsu merusak eksklusifitas dan keunikan produk bermerek yang asli di mata para konsumennya.Â
Tak heran jika merek yang mendunia seperti Louis Vuitton rela mengalokasikan dana untuk upaya brand protection hingga 15 juta atau setara Rp 255 miliar setiap tahun.
Upaya brand protection