b) Tertekan (Stress)
Karantina merupakan bagian dari upaya untuk memutus rantai Covid-19. Namun, tindakan karantina juga dapat menjadi sebab adanya perubahan mental individu, baik yang terinfeksi maupun tidak. Sebuah studi di Spanyol menemukan bahwa ada hubungan yang spesifik antara karantina terhadap kekhawatiran tentang infeksi virus Covid-19 dengan gejala depresi selama karantina (Garre-Olmo, dkk, 2020). Seluruh pasien yang terinfeksi Covid-19 mengalami beban mental dan pikiran serta tertekan. Belum lagi, akibat dari proses karantina yang cukup lama yang menyebabkan pasien tidak bisa kemana-mana, tidak bisa bekerja, memikirkan kondisi badannya sendiri, serta kondisi keluarganya dirumah. Pandemi Covid-19 dan tindakan karantina telah memberikan keresahan terhadap psikologis individu. Salah satu gejala yang ditemukan yaitu stress yang dinilai sebagai gangguan kesehatan mental yang keparahannya berada diurutan ketiga setelah keinginan bunuh diri dan kesusahan. Kemudian disusul oleh depresi dan kecemasan yang ditemukan diantara populasi mahasiswa di Prancis (Wathelet, dkk, 2020). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ulva & Yanti (2021) diperoleh hasil sebagai berikut:
c) Insomnia
Insomnia cenderung dialami oleh pasien yang terinfeksi Covid-19 ketika menjalami karantina mandiri hingga perawatan di Rumah Sakit karena banyak pikiran. Seseorang yang terinfeksi Covid-19 lebih rentan mengalami penurunan kesehatan mental dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi. Sebuah penelitian di China memaparkan bahwa orang yang terinfeksi Covid-19 dua kali lebih beresiko mengalami gejala kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, insomnia, dan stress. Gejala ini muncul salah satunya dikaitkan dengan adanya tindakan isolasi/karantina yang menyebabkan gangguan tidur dengan presentase 29,2% dari seluruh gejala kesehatan mental yang ditemukan dalam penelitian tersebut (LeShi, dkk, 2020).
d) Peningkatan Motivasi
Peningkatan motivasi yang dirasakan oleh pasien dipicu oleh beberapa hal, yaitu pendekatan diri dengan Allah, optimis untuk sembuh, dukungan keluarga dan teman, dan adanya layanan konsultasi psikologi yang disediakan di Rumah Sakit. Dengan menggunakan teknologi sebagai alternatif untuk komunikasi antara pihak medis dengan pasien selama pandemi, memungkinkan untuk melakukan pendidikan pada pasien dengan tujuan untuk memberi solusi dari keterbatasan tatap muka. Pasien tetap dapat mengkomunikasikan apa saja keluhan mereka (Walker & Bukhari, 2020).
- Tahap 3 : Kondisi setelah Sembuh
a) Merasa Asing dengan Kondisi Sekitar
Menjadi orang yang pernah dinyatakan terinfeksi Covid-19 serta membutuhkan waktu lama untuk pulih, membuat pasien merasa asing ketika kembali ke lingkungan masyarakat seperti semula. Belum lagi, adanya pandangan masyarakat yang tidak semuanya memberi respon positif, membuat pasien merasa semakin tidak percaya diri untuk berbaur dimasyarakat seperti sebelumnya dan memerlukan adaptasi kembali.
b) Trauma
Seluruh pasien mengtakan bahwa mereka mengalami trauma setelah terinfeksi Covid-19 dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat beraktifitas seperti biasanya. Masa trauma yang dialami oleh pasien cenderung berbeda-beda, tergantung bagaimana kondisi mentalnya saat itu. Ada yang kondisi mentalnya dapat pulih dalam hitungan minggu bahkan bulan. Dengan melihat berita mengenai perkembangan kasus Covid-19 di televisi, melihat para tenaga medis menggunakan APD, dan mendengar suara ambulance juga dapat menyebabkan rasa trauma bagi pasien, rasa takut sebagaimana saat pasien divonis terinfeksi Covid-19 kembali dengan begitu saja. Peristiwa traumatis memang suatu hal yang normal bagi mereka yang terdampak Covid-19 untuk mengingat dan menghidupkan kembali peristiwa yang telah terjadi. Bahkan, tidak jarang ingatan itu terus muncul tanpa disengaja hingga memicu timbulnya stress. Bebetapa ciri utama dari gangguan stress pasca trauma adalah ketika ingatan trauma menjadi tidak sadar, mengganggu, dan berkelanjutan (Shanafelt, Ripp, & Trockel, 2020).
2. Perubahan Perilaku Sosial
Covid-19 telah mengubah secara signifikan kehidupan manusia hanya dalam hitungan bulan saja. Perilaku sosial manusia pun berubah secara drastis karena adanya penyesuaian terhadap pandemi Covid-19. Perubahan tersebut, tidak hanya terjadi pada level individu, tetapi juga kelompok, organisasi, dan perusahaan. Hampir semua aspek kehidupan terkena dampaknya, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, dan agama. Perubahan itulah yang akhirnya menimbulkan ketidak nyamanan dan gejolak sosial di masyarakat.
Berdasarkan pengamatan dilapangan dan media online di beberapa wilayah di Indonesia, terdapat perubahan perilaku masyarakat akibat Covid-19. Perubahan itu berasal dari inisiatif sendiri maupun himbauan atau perintah dari otoritas yang berwenang, seperti jaga jarak sosial ketika berinteraksi dan peningkatan solidaritas masyarakat dalam bentuk kepedulian dan perilaku prososial di masa pandemi Covid-19 ini. Pandemi Covid-19 juga dapat menyebabkan perubahan perilaku yang berdampak pada gejolak sosial ditengah masyarakat, misalnya penolakan jenazah pasien Covid-19 dibeberapa daerah. Salah satu yang menjadi masalah pada situasi pandemi Covid-19 adalah stigma (Taylor, 2019)
Stigma adalah suatu keyakinan negative dari individu atau kelompok mengenai sesuatu. Stigma dapat berkaitan dengan seuatu yang tampak ataupun yang tak-tampak, kontrol ataupun tidak terkontrol, penampilan, perilaku, dan kelompok. Stigma dibentuk sebagai hasil konstruksi oleh masyarakat dan budaya pada suatu konteks tertentu (Major & O'Brien, 2005). Stigma, memiliki dampak yang signifikan terhadap individu dan sosial (Forst, 2011). Stigma juga dapat merusak kesehatan mental serta fisik seseorang yang menderita suatu penyakit, karena stigma dapat berupa penolakan sosial, gosip, kekerasan fisik, dan penolakan layanan. Inilah, yang akhirnya menyebabkan seseorang yang mengalami stigma dari orang lain, tingkat gejala depresi dan stressnya akan semakin tinggi (Earnshaw, 2020). Ketika seseorang terinfeksi Covid-19, maka orang lain akan cenderung memberi stigma negative pada pasien tersebut. Bahayanya, pasien akan menginternalisasi stigma dari orang lain bahwa dirinya adalah orang yang buruk, orang yang salah karena terinfeksi [enyakit, dan sebaginya (Forst, 2011). Secara tidak langsung, itu semua akan memperburuk kondisi psikologis pasien.
Secara sosial, stigma dapat mengakibatkan pasien dan keluarga pasien mengalami isolasi, penolakan, dan bulliying dari orang sekitar melalui offline ataupun online (media sosial). Stigma juga dapat berdampak pada perilaku diskriminatif dari orang lain (Link & Phelan, 2001). Sebagai contoh, ada kasus pasien suspect Covid-19 yang meninggal dan data pribadinya tersebar secara luas dimedia online. Dampaknya, keluarga pasien mengalami intimidasi dan bulliying. Pengalaman stigma ini, dapat menimbulkan dampak terhadap individu yang mengalaminya, seperti kecewa dan stress (Forst, 2011). Bahkan, ketika pasien yang terinfeksi Covid-19 telah meninggal, pasien masih mengalami diskriminasi dalam bentuk penolakan jenazahnya. Stigma telah menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran yang berlebih pada masyarakat karena tidak ingin tertular Covid-19. Padahal, pemakaman jenazah Covid-19 dilakukan sesuai dengan standar Covid-19. Ketidaktahuan dan pengaruh sosial (provokasi) menjadi salah satu faktor kenapa ini terjadi di masyarakat.
Stigma negative mengenai penyakit Covid-19 membuat orang cenderung melakukan perbuatan yang melanggar norma, yaitu kebohongan atau tidak jujur ketika ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Covid-19. Beberapa kasus yang diteliti oleh Ivan Muhammad Agung (2020), menunjukkan bahwa pasien cenderung tidak jujur ketika berobat ke dokter mengenai riwayat perjalanannya. Akhirnya, beberapa dokter justru terkena Covid-19 bahkan sampai meninggal. Perilaku tersebut sungguh mengkhawatirkan, ditengah situasi pandemi ini, seseorang rela membahayakan orang lain demi menjaga nama baik, harga diri, dan menghindari stigma negative untuk dirinya sendiri. Pandemi Covid-19 telah mengubah pandangan individu terhadap suatu penyakit dan dirinya dalam konteks sosial.