Mohon tunggu...
Najlaa Kamilia
Najlaa Kamilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

An undergraduate student at Political Sciences, Universitas Indonesia. Have interest in gender-equality issues. Eager to learn new things!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga dan Pentingnya Gender Harmoni dalam Politik di Indonesia

17 Oktober 2024   18:00 Diperbarui: 17 Oktober 2024   18:05 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kontroversi Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga 2020

Pada tahun 2020, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga menjadi kontroversial terkait dengan isi aturannya. Sejumlah lembaga pemerintah hingga lembaga masyarakat memberikan pernyataan kontranya terhadap rancangan undang-undang ini. 

Secara keseluruhan, banyak masyarakat yang menilai bahwa RUU Ketahanan Keluarga melanggar privasi publik. Banyak pasal di dalam rancangan undang-undang ini berisikan kewajiban, tetapi tidak seharusnya negara ikut campur dalam urusan tersebut. 

Salah satu pasalnya yang kontroversial adalah pasal 25. Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga Pasal 25 menyerukan kewajiban yang ditujukan kepada pasangan suami-istri untuk memenuhi kewajibannya sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Kewajiban yang dimaksud dijelaskan lebih rinci masing-masing pada pasal 25 ayat (2) dan pasal 25 ayat (3). Ringkasnya, pasal ini membagi kewajiban suami sebagai kepala keluarga yang mengatur dan melindungi keluarga. Sementara kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga dan merawat suami serta anaknya dengan baik. 

Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga merupakan satu dari rancangan undang-undang lainnya yang memiliki pro dan kontra. Dalam perspektif kontra, berdasarkan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa beberapa isi RUU ini sebenarnya telah diatur dalam undang-undang nasional. 

Di samping itu, pasal 25 menjadi perhatian besar karena pembagian kewajiban suami-istri merupakan urusan privasi. Kesepakatan pembagian kewajiban ada di tangan suami-istri yang terlibat, sehingga negara tidak seharusnya campur tangan mengurusi persoalan pembagian kewajiban tersebut.

Selain itu, rancangan pasal 25 terutama ayat (3) justru dapat merugikan pihak istri, yang mana adalah seorang perempuan. Lebih detailnya, pasal 25 ayat (3) mengatur kewajiban istri, antara lain: 

  1. Mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

  2. Menjaga keutuhan keluarga;

  3. Memperlakukan suami dan anak dengan baik, serta memenuhi hak suami dan anak sesuai norma, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Menghambat Perkembangan Kesetaraan Gender di Indonesia

Apabila rancangan undang-undang ini disahkan, perempuan rentan mengalami konflik peran dengan dirinya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan oleh European Institute for Gender Equality bahwa perempuan memiliki tiga peran, yaitu reproduksi, produksi, dan pengelolaan komunitas.

Masyarakat kerap tidak memandang fungsi reproduksi perempuan sebagai sebuah “pekerjaan”. Hal tersebut tercermin dengan adanya rancangan undang-undang ini. Padahal, peran perempuan tidak terbatas mengurus pekerjaan rumah tangga saja, mereka memiliki hak atas dirinya sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. 

Konflik peran ganda sudah sering terjadi oleh seorang ibu yang berkarir, termasuk di Indonesia. Penulis mengambil satu contoh sebuah studi mengenai konflik peran ganda para ibu yang bekerja sebagai perawat di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra, Sumatera Selatan. Berdasarkan pernyataan para informan yang merupakan seorang ibu, mereka kerap kali kesulitan dalam membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangganya. 

Akibatnya, mereka harus menerima konsekuensi melihat pekerjaan rumah tangga yang tidak terurus. Tidak hanya itu, informan perawat menyatakan mereka juga harus mampu mengurus anak dan pekerjaan secara bergantian. 

Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga berpotensi membatasi pergerakan perempuan di ruang publik. RUU ini justru dapat menghambat pengarusutamaan gender yang telah diatur dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000. Seperti yang tertulis dalam pasal 25, masyarakat menentang peraturan ini karena dinilai adanya domestikasi peran perempuan. 

Kewajiban yang diatur dalam pasal ini dapat menghambat mereka berpartisipasi di ruang publik, termasuk partisipasi politik. Rancangan undang-undang ini seolah-olah menegaskan perempuan untuk fokus pada pekerjaan domestik saja. Dalam studi kasus beberapa negara menunjukkan bahwa perempuan tidak akan mengalami perubahan signifikan dalam politik. Kecuali masyarakat meringankan kewajiban perempuan dan meningkatkan kewajiban laki-laki dalam keluarga.

Perspektif Feminisme Liberal terhadap Fenomena 

Fenomena ini kontroversi RUU Ketahanan Keluarga dapat dianalisis melalui konsep feminisme liberal. Konsep feminisme liberal yang digunakan merujuk pada yang ditulis dalam buku Rosemarie Tong dan Tina Fernandes Botts. Feminisme liberal pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada gelombang pertama feminist activity, tepatnya pada pertengahan abad ke-19 hingga awal tahun 1920-an. Sampai pada abad ke-21, perkembangan feminisme liberal telah memasuki gelombang kelima. 

Feminisme liberal mengedepankan otonomi individu. Melalui konsep ini, manusia dipandang memiliki akal rasional sehingga mampu mencapai tujuan kehidupannya dengan menekankan nilai self-fulfillment. Selain itu, feminisme liberal juga mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencapai tujuannya, dalam catatan tidak mengganggu atau merugikan hak orang lain. 

Selanjutnya, terkait dengan intervensi negara di lingkup privasi, para kaum liberal menyatakan bahwa negara sebaiknya seminim mungkin mencampuri urusan pribadi seperti keluarga atau rumah. Feminisme liberal menganut bahwa individu memiliki kontrol atas dirinya sendiri dalam menentukan apa yang baik bagi dirinya. Namun, lain hal ketika menyangkut persoalan publik. 

Kaum liberal (egaliter) meyakini bahwa negara berperan dalam mengatur stabilitas ekonomi serta menjamin perlindungan kebebasan sipil. Di sisi lain, kaum liberal (klasik) percaya bahwa campur tangan negara harus dibatasi dalam hal yang bersangkutan dengan hak-hak dasar seperti beragama, berserikat, dan bersuara.

Dengan demikian, RUU Ketahanan Keluarga apabila dijelaskan dalam perspektif feminisme liberal menunjukkan bahwa negara telah melewati batas intervensi yang sewajarnya. Feminisme liberal sangat mengutamakan otonomi individu, di sisi lain keberadaan RUU Ketahanan Keluarga justru berusaha membatasi ruang gerak individu dengan menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat terutama sepasang suami-istri.

 Urusan pemenuhan tanggung jawab dalam rumah tangga seharusnya dapat diatur berdasarkan kesepakatan suami-istri itu sendiri. Laki-laki dapat bertugas menjaga anak sementara istri mencari nafkah.

Kehadiran Gender Harmony dalam Mendorong Kesetaraan Gender dalam Politik Indonesia

Hal tersebut berkaitan erat dengan konsep gender harmony. Dalam berumah tangga, konsep ini mengajak pihak istri maupun suami untuk berkomunikasi mengenai kesepakatan yang dijalankan dalam keluarga. Gender harmony menekankan pentingnya kesetaraan, dimana tidak ada pihak yang mendominasi satu sama lain. Dengan demikian, hal ini dapat memudahkan urusan suami maupun istri di luar urusan rumah tangga. 

Termasuk perihal partisipasi istri dalam lingkup publik. Dengan seimbangnya beban tanggung jawab istri dan suami dalam rumah tangga, hal ini mampu membuka kesempatan istri dalam berkontribusi pada masyarakat, termasuk pada bidang politik. Fokus istri tidak hanya pada urusan rumah tangga, hal seperti konflik peran ganda dapat diminimalisir. Dengan begitu istri mampu fokus pada fungsinya dalam pengelolaan komunitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun