Kaum liberal (egaliter) meyakini bahwa negara berperan dalam mengatur stabilitas ekonomi serta menjamin perlindungan kebebasan sipil. Di sisi lain, kaum liberal (klasik) percaya bahwa campur tangan negara harus dibatasi dalam hal yang bersangkutan dengan hak-hak dasar seperti beragama, berserikat, dan bersuara.
Dengan demikian, RUU Ketahanan Keluarga apabila dijelaskan dalam perspektif feminisme liberal menunjukkan bahwa negara telah melewati batas intervensi yang sewajarnya. Feminisme liberal sangat mengutamakan otonomi individu, di sisi lain keberadaan RUU Ketahanan Keluarga justru berusaha membatasi ruang gerak individu dengan menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat terutama sepasang suami-istri.
 Urusan pemenuhan tanggung jawab dalam rumah tangga seharusnya dapat diatur berdasarkan kesepakatan suami-istri itu sendiri. Laki-laki dapat bertugas menjaga anak sementara istri mencari nafkah.
Kehadiran Gender Harmony dalam Mendorong Kesetaraan Gender dalam Politik Indonesia
Hal tersebut berkaitan erat dengan konsep gender harmony. Dalam berumah tangga, konsep ini mengajak pihak istri maupun suami untuk berkomunikasi mengenai kesepakatan yang dijalankan dalam keluarga. Gender harmony menekankan pentingnya kesetaraan, dimana tidak ada pihak yang mendominasi satu sama lain. Dengan demikian, hal ini dapat memudahkan urusan suami maupun istri di luar urusan rumah tangga.Â
Termasuk perihal partisipasi istri dalam lingkup publik. Dengan seimbangnya beban tanggung jawab istri dan suami dalam rumah tangga, hal ini mampu membuka kesempatan istri dalam berkontribusi pada masyarakat, termasuk pada bidang politik. Fokus istri tidak hanya pada urusan rumah tangga, hal seperti konflik peran ganda dapat diminimalisir. Dengan begitu istri mampu fokus pada fungsinya dalam pengelolaan komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H