Menghambat Perkembangan Kesetaraan Gender di Indonesia
Apabila rancangan undang-undang ini disahkan, perempuan rentan mengalami konflik peran dengan dirinya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan oleh European Institute for Gender Equality bahwa perempuan memiliki tiga peran, yaitu reproduksi, produksi, dan pengelolaan komunitas.
Masyarakat kerap tidak memandang fungsi reproduksi perempuan sebagai sebuah “pekerjaan”. Hal tersebut tercermin dengan adanya rancangan undang-undang ini. Padahal, peran perempuan tidak terbatas mengurus pekerjaan rumah tangga saja, mereka memiliki hak atas dirinya sendiri untuk menentukan jalan hidupnya.
Konflik peran ganda sudah sering terjadi oleh seorang ibu yang berkarir, termasuk di Indonesia. Penulis mengambil satu contoh sebuah studi mengenai konflik peran ganda para ibu yang bekerja sebagai perawat di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra, Sumatera Selatan. Berdasarkan pernyataan para informan yang merupakan seorang ibu, mereka kerap kali kesulitan dalam membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangganya.
Akibatnya, mereka harus menerima konsekuensi melihat pekerjaan rumah tangga yang tidak terurus. Tidak hanya itu, informan perawat menyatakan mereka juga harus mampu mengurus anak dan pekerjaan secara bergantian.
Keberadaan RUU Ketahanan Keluarga berpotensi membatasi pergerakan perempuan di ruang publik. RUU ini justru dapat menghambat pengarusutamaan gender yang telah diatur dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000. Seperti yang tertulis dalam pasal 25, masyarakat menentang peraturan ini karena dinilai adanya domestikasi peran perempuan.
Kewajiban yang diatur dalam pasal ini dapat menghambat mereka berpartisipasi di ruang publik, termasuk partisipasi politik. Rancangan undang-undang ini seolah-olah menegaskan perempuan untuk fokus pada pekerjaan domestik saja. Dalam studi kasus beberapa negara menunjukkan bahwa perempuan tidak akan mengalami perubahan signifikan dalam politik. Kecuali masyarakat meringankan kewajiban perempuan dan meningkatkan kewajiban laki-laki dalam keluarga.
Perspektif Feminisme Liberal terhadap Fenomena
Fenomena ini kontroversi RUU Ketahanan Keluarga dapat dianalisis melalui konsep feminisme liberal. Konsep feminisme liberal yang digunakan merujuk pada yang ditulis dalam buku Rosemarie Tong dan Tina Fernandes Botts. Feminisme liberal pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada gelombang pertama feminist activity, tepatnya pada pertengahan abad ke-19 hingga awal tahun 1920-an. Sampai pada abad ke-21, perkembangan feminisme liberal telah memasuki gelombang kelima.
Feminisme liberal mengedepankan otonomi individu. Melalui konsep ini, manusia dipandang memiliki akal rasional sehingga mampu mencapai tujuan kehidupannya dengan menekankan nilai self-fulfillment. Selain itu, feminisme liberal juga mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencapai tujuannya, dalam catatan tidak mengganggu atau merugikan hak orang lain.
Selanjutnya, terkait dengan intervensi negara di lingkup privasi, para kaum liberal menyatakan bahwa negara sebaiknya seminim mungkin mencampuri urusan pribadi seperti keluarga atau rumah. Feminisme liberal menganut bahwa individu memiliki kontrol atas dirinya sendiri dalam menentukan apa yang baik bagi dirinya. Namun, lain hal ketika menyangkut persoalan publik.