Arktik, atau kawasan Kutub Utara bumi, merupakan kawasan strategis yang memiliki potensi penting bagi seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Alam yang mulai berubah akibat dari perubahan iklim dunia telah mengakibatkan perkembangan geoekonomi dan geopolitik di kawasan Arktik yang dapat secara langsung dan tidak langsung berdampak terhadap Indonesia.
Namun, sampai saat ini, Arktik belum menjadi isu yang penting di Indonesia. Hal ini terlihat dari pemerintah Indonesia yang masih menganggap kawasan Arktik bukan merupakan kawasan strategis dalam kebijakan luar negeri nya.
Selain itu, sangat sedikit pula dokumen resmi dan studi yang membahas persoalan di kawasan Arktik di dalam bahasa Indonesia dan relevansinya terhadap kepentingan nasional Indonesia.Padahal, kawasan Arktik sebenarnya berpeluang besar untuk beragam kepentingan dalam negeri Indonesia, baik itu dalam isu lingkungan, perubahan iklim, perekonomian, hingga sosial dan budaya.
"Dari segi jarak memang jauh, namun arktik memiliki 13 persen cadangan minyak dunia dan 30 persen cadangan gas alam dunia," ujar Muhamad Ardhi, peneliti kawasan Arktik dan ASEAN di ASEAN Centre Moscow State Institute of International Relations (MGIMO) dalam diskusi umum yang digelar Pusat Kajian Eropa Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis (20/4).
Hal ini dapat menjadi pertimbangan oleh pemerintah Indonesia sebagai alternatif sumber importir gas dan minyak (energy security) yang selama ini bergantung pada kawasan Timur Tengah yang rentan terhadap konfilk kawasan sehingga mengakibatkan ketidakstabilan harga minyak pasaran dunia dan mempengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia.
Hal ini juga dapat menjadi potensi bagi PT Pertamina sebagai peluang kerjasama baik investasi maupun studi teknologi, dikarenakan Rusia sangat membuka kerjasama dalam eksplorasi energi di kawasan Arktik, seperti Shtokman field yang belum dilakukan eksplorasi.
Selain cadangan minyak yang melimpah, global warming telah membuat es mencair di kawasan Arktik.
Hal ini menjadi potensi pembukaan jalur pelayaran melalui Northern Sea Route (NSR) dan eksplorasi energi di Kawasan Kutub Utara yang menjadi isu relevan bagi Indonesia.
Jalur ini memiliki efesiensi waktu dan biaya yang sangat tinggi dibandingkan dengan jalur tradisional Asia ke Eropa melalui Terusan Suez yang membutuhkan waktu sekitar sebulan. Sedangkan, via NSR hanya butuh waktu 20 hari yang sangat menguntungkan perekonomian Indonesia dan sejalan dengan visi negara kemaritiman.
Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia, sejak tahun 2014, volume pelayaran komersial di Northern Sea Route (NSR) meningkat secara signifikan sebesar 3,982 (ribu ton) dan pada 2016 menigkat lebih dari dua kali lipatnya sebesar 7,226 (ribu ton) dan pada 2030 diperkirakan akan menjadi 51,100 (ribu ton).
Menurut Ardhi, jalur laut utara (Northern Sea Route - NSR) yang diinisiasi Rusia untuk membuat jarak pengiriman minyak dari Eropa sampai ke Asia berkurang hingga 11-14 hari perjalanan dan ongkos hingga 40%.
"Jalur ini juga sudah punya semua kantor, legal yang dibutuhkan. Bahkan sudah ada kapal-kapal yang melewati jalur ini sejak dibuka pada 2011," ujarnya.
Dengan demikian, Indonesia perlu mencermati perkembangan konflik dan kerja sama di kawasan tersebut.
Sangat amat disayangkan Indonesia belum melihat potensi yang bisa digali di kawasan ini. Padahal menurut Ardhi, Dewan Arktik telah berulang kali mengundang Indonesia untuk berpartisipasi di kawasan Arktik.
Seperti yang kita ketahui, Dewan Arktik (DA) merupakan organisasi tinggi antar pemerintah yang mempromosikan kerja sama, koordinasi, dan interaksi antar negara Arktik.
Dewan Arktik sendiri didirikan berdasarkan Deklarasi Ottawa 1996 dan beranggotakan delapan negara yaitu Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Denmark (Greenland & The Kepulauan Faroe), Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia.
Dengan menjadi 'permanent observer' (pengamat tetap), negara anggota dapat belajar tentang mitigasi perubahan dan mendapatkan data dari tangan pertama.
Terdapat lima negara Asia yang tergabung sebagai observer di Arctic Council yakni, China, India, Jepang, Korea Selatan dan Singapura.
Kehadiran negara Asia ini tidak hanya semata untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan saja, namun, mereka melihat potensi ekonomi yang besar dan membawa kepentingan nasional di kawasan Arktik yang akan menjadi pusat perhatian politik global.
Potensi ini terlihat dari produsen Liquefied Natural Gas (LNG) terbesar Rusia Novatek yang menjual 20% sahamnya pada April 2019 di Arctic LNG 2 kepada dua perusahaan China yaitu China National Oil and Gas Exploration and Development Company (CNODC) dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) yang akan menyuplai kebutuhan energi China.
Tentunya hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi Indonesia untuk mengajukan diri menjadi observer di Arctic Council untuk mempermudah akses ke kawasan Arktik demi kepentingan nasional di kawasan tersebut.
Di sisi lain, Singapura mengincar posisi tradisionalnya sebagai negara pelabuhan yang akan dilalui jalur NSR.
Singapura bahkan secara reguler menggelar penelitian terkait arktik untuk mendapatkan data terbaru tentang perubahan iklim yang akan digunakan untuk mencegah negaranya terkena dampak tersebut.
Pemerintah Indonesia harusnya turut memberi perhatian penuh terhadap NSR, jangan sampai potensi ini akan kembali dinikmati oleh beberapa negara Asia saja, terutama Singapura yang mengincar posisi tradisonalnya sebagai negara pelabuhan, padahal Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara transit dengan potensi ekonomi yang besar.
Melihat besarnya potensi di kawasan Arktik, Pemerintah Indonesia harus lebih menaruh perhatian dan mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan luar negerinya di kawasan Arktik menjadi lebih agresif dan menjadikan Arktik sebagai kawasan strategis untuk kepentingan nasional.
Seperti yang kita ketahui, kebijakan Indonesia terhadap kawasan Arktik saat ini dipengaruhi oleh hasil studi Kementrian Luar Negeri Indonesia yang bekerjasama dengan Universitas Indonesia pada tahun 2014 dengan judul “Peran Arctic Council dalam menciptakan Keamanan, Kemakmuran Ekonomi dan perdamaian dalam perspektif Indonesia”, dimana para peneliti menyimpulkan bahwa keterlibatan Indonesia menjadi observer di Arctic Council belum diperlukan hingga saat ini.
Padahal, sebagai negara yang sedang menggenjot investasi dan potensi maritim, Indonesia sebenarnya mampu menancapkan pengaruhnya di Arktik, melihat Indonesia telah diundang secara langsung oleh Presiden Islandia, Olafur Ragnar Grimsson, untuk mengirim delegasinya ke acara tahunan Arctic Circle di Islandia pada tahun 2014 silam, namun Indonesia tidak pernah menggubris undangan ini.
Kemudian, pada akhir Mei 2019 lalu, di sela KTT ASEAN, Pertemuan antara Presiden Jokowi dan Presiden Puttin sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk penyertaan peran Indonesia di Arktik, tapi tampaknya terlewatkan.
Padahal, kawasan Arktik sangatlah menjanjikan untuk masa depan Indonesia. Sebagai negara maritim besar, sudah saatnya Jakarta mengirim delegasinya ke Markas Besar Dewan Arktik di Tromso, Norwegia, serta menjalin hubungan dengan negara-negara Arktik.
Abad baru energi dan jalur perdagangan sudah di depan mata. Jika Indonesia tidak bersiap, lagi-lagi Indonesia akan kalah dan akhirnya hanya mengekor negara-negara Asia lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H