Salah satu kasus hukum ekonomi syariah yang sedang ramai dibicarakan di Indonesia melibatkan perusahaan GTI Syariah, yang diduga menjalankan skema Ponzi dengan berkedok investasi emas syariah. Perusahaan ini menawarkan keuntungan tetap kepada investor, yang ternyata bukan berasal dari keuntungan bisnis yang sah, melainkan dari dana investor baru. Modus ini akhirnya menimbulkan kerugian besar, dilaporkan hingga mencapai Rp 10 triliun. GTI Syariah menggunakan label syariah untuk menarik investor Muslim, menjanjikan keuntungan sesuai prinsip syariah, tetapi praktik ini bertentangan dengan nilai syariah, khususnya terkait larangan riba dan gharar (ketidakpastian).
Kasus ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya berhati-hati dalam memilih investasi, bahkan jika mereka berlabel syariah, karena skema Ponzi kerap menyamar dengan berbagai nama untuk menghindari deteksi dini.Â
Dalam kasus investasi berkedok syariah seperti GTI, terdapat beberapa kaidah hukum Islam dan hukum positif yang relevan:
Kaidah Larangan Riba: Riba adalah keuntungan tambahan yang diambil tanpa transaksi atau usaha nyata. Dalam skema Ponzi, dana investor baru digunakan untuk membayar keuntungan investor lama, yang dalam hukum Islam dianggap riba. Hal ini bertentangan dengan prinsip syariah karena keuntungan tidak dihasilkan dari aktivitas bisnis yang nyata atau produktif.
Larangan Gharar (Ketidakpastian): Gharar merujuk pada ketidakpastian atau spekulasi yang tidak jelas dalam suatu transaksi. Skema Ponzi seperti GTI sering kali melibatkan janji keuntungan yang tidak jelas asalnya dan tidak transparan, yang dikategorikan sebagai gharar dalam hukum Islam. Ini menyebabkan investor tidak memahami risiko sebenarnya dari "investasi" yang mereka lakukan.
Kaidah Amanah dan Transparansi: Dalam hukum Islam, pengelola dana harus jujur, transparan, dan bertanggung jawab (amanah) terhadap dana investor. Dalam kasus GTI, adanya penipuan dan informasi yang tidak transparan melanggar prinsip amanah. Pengelolaan dana yang tidak sesuai dengan klaim syariah ini bisa dianggap sebagai penipuan atau kecurangan (taghrir) yang tidak diperbolehkan.
Undang-Undang Hukum Positif tentang Penipuan dan Investasi Ilegal: Di Indonesia, investasi ilegal yang menggunakan skema Ponzi melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang Pasar Modal. Pelaku dapat dikenakan sanksi pidana atas tindakan penipuan, karena telah menyesatkan masyarakat dengan skema investasi palsu.
Beberapa norma yang relevan dalam kasus investasi syariah dengan skema Ponzi seperti GTI meliputi:
Norma Kejujuran: Kejujuran dalam transaksi ekonomi sangat ditekankan dalam hukum Islam, di mana pelaku usaha diharuskan menyampaikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan kepada konsumen atau investor. Dalam kasus GTI, kurangnya transparansi dalam sumber keuntungan dan penggunaan dana melanggar norma ini, karena investor disesatkan oleh klaim keuntungan yang tidak nyata.
Norma Keadilan: Islam dan hukum positif Indonesia menekankan pentingnya keadilan dalam semua transaksi, termasuk distribusi keuntungan yang adil dan tidak merugikan satu pihak. Pada skema Ponzi, investor awal mendapat keuntungan dari dana investor baru, sehingga terdapat ketidakadilan karena dana yang masuk tidak diinvestasikan secara produktif dan justru digunakan untuk menutupi kerugian investasi lama.
Norma Perlindungan terhadap Ketidakpastian (Gharar): Norma ini melarang transaksi yang mengandung spekulasi tinggi atau ketidakpastian yang berlebihan. Dalam kasus ini, janji keuntungan yang tidak jelas asalnya dan bersifat spekulatif melanggar norma ini. Hukum syariah dan hukum Indonesia sama-sama melarang investasi yang menjebak masyarakat dalam ketidakpastian atau risiko yang tidak transparan.
Norma Perlindungan Konsumen: Norma hukum positif di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, melindungi hak konsumen untuk mendapat informasi yang benar, jujur, dan tidak menyesatkan. Dalam kasus investasi palsu, norma ini dilanggar karena konsumen atau investor diberikan informasi yang salah atau menipu.
Terkait dengan kasus investasi syariah yang menipu publik dengan skema Ponzi, beberapa aturan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar penanganan kasus ini di Indonesia mencakup:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Aturan ini melindungi hak konsumen atas informasi yang benar, jujur, dan tidak menyesatkan. Pelaku investasi GTI Syariah bisa dikenai sanksi karena melakukan manipulasi informasi yang menipu konsumen untuk ikut berinvestasi dengan janji keuntungan palsu.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah
Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah wajib mematuhi prinsip-prinsip syariah yang melarang riba, gharar, dan manipulasi. Pengelola investasi GTI yang mengklaim syariah namun ternyata menjalankan praktik terlarang dapat dikenai sanksi hukum di bawah undang-undang ini karena bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
OJK memiliki wewenang untuk mengawasi seluruh kegiatan jasa keuangan, termasuk investasi dan layanan keuangan berbasis syariah. Setiap praktik ilegal yang terindikasi sebagai penipuan investasi bisa menjadi dasar bagi OJK untuk menghentikan operasi dan memberi sanksi kepada lembaga tersebut, yang dalam hal ini GTI Syariah.KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 378 tentang Penipuan**
Pasal ini memberikan sanksi pidana terhadap penipuan. Pelaku yang mengelabui masyarakat dengan janji keuntungan palsu bisa dikenai pasal ini. Mengingat banyak korban dari skema investasi GTI, pasal penipuan dalam KUHP bisa diterapkan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.
Pendapat Hukum (Legal Opinion)
Dari perspektif hukum, kasus GTI Syariah dapat dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap perlindungan konsumen, kepercayaan publik, dan prinsip-prinsip syariah. Skema Ponzi yang mereka jalankan melibatkan unsur penipuan, yaitu menjanjikan keuntungan tetap yang tidak berasal dari kegiatan bisnis yang riil, melainkan dari dana investor baru. Ini merupakan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, di mana hak konsumen untuk menerima informasi yang benar telah dilanggar. Selain itu, penggunaan label "syariah" pada investasi yang tidak sesuai syariah merusak reputasi dan integritas sistem keuangan syariah, serta mencederai norma hukum Islam yang melarang gharar dan riba.
Menurut saya, OJK seharusnya lebih aktif dalam mengawasi dan mengedukasi masyarakat tentang ciri-ciri investasi ilegal, terutama yang menggunakan istilah syariah. Sanksi pidana bagi pengelola GTI bisa menjadi langkah tegas untuk memberikan efek jera serta memperingatkan publik agar berhati-hati.
Penjelasan singkat mengenai istilah-istilah living law, utilitarianisme, positivisme, yuridis normatif, dan yuridis empiris dalam konteks hukum dan filsafat hukum:
Living Law
Konsep living law (hukum yang hidup) pertama kali dikemukakan oleh Eugen Ehrlich. Istilah ini merujuk pada hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat, yaitu aturan atau norma yang dianut dan dipatuhi oleh masyarakat sehari-hari, meskipun aturan tersebut tidak tertulis dalam hukum formal. Menurut konsep ini, hukum bukan hanya apa yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga yang ada dalam kebiasaan atau praktik sosial masyarakat. Living law sering dianggap lebih adaptif terhadap perubahan sosial dibandingkan hukum formal.Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah teori etika yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Dalam konteks hukum, utilitarianisme menilai keadilan hukum berdasarkan hasil atau konsekuensi dari penerapannya: aturan atau kebijakan yang dianggap baik adalah yang memberikan manfaat atau kebahagiaan terbesar bagi sebagian besar orang. Dalam teori hukum, pendekatan ini sering digunakan untuk mengevaluasi dampak hukum dan kebijakan publik pada kesejahteraan sosial.Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah aliran filsafat hukum yang berpendapat bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah (seperti pemerintah) dan harus diterima secara terpisah dari moralitas. Tokoh utama positivisme adalah John Austin dan H.L.A. Hart. Menurut mereka, hukum adalah sistem aturan yang terbentuk dari keputusan atau perintah otoritas yang sah, dan tidak perlu mengacu pada moralitas atau keadilan. Positivisme hukum ini menekankan pentingnya ketaatan pada hukum yang dibuat negara, terlepas dari nilai moral yang terkandung di dalamnya.Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif adalah metode penelitian yang fokus pada norma atau aturan hukum tertulis yang berlaku. Penelitian ini biasanya dilakukan dengan menganalisis peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, atau literatur hukum. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami, menafsirkan, atau mengevaluasi hukum berdasarkan norma yang berlaku tanpa melihat praktik di lapangan atau penerapannya.Yuridis Empiris
Berbeda dari pendekatan normatif, yuridis empiris mengacu pada penelitian hukum yang berfokus pada praktik atau penerapan hukum dalam masyarakat. Penelitian ini melihat bagaimana hukum benar-benar diterapkan di lapangan, termasuk bagaimana masyarakat mematuhi atau merespons hukum tersebut. Pendekatan ini sering menggunakan metode kualitatif atau kuantitatif untuk memahami efek sosial dari hukum dan mencerminkan perspektif sosiologis dalam studi hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H