Norma Perlindungan Konsumen: Norma hukum positif di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, melindungi hak konsumen untuk mendapat informasi yang benar, jujur, dan tidak menyesatkan. Dalam kasus investasi palsu, norma ini dilanggar karena konsumen atau investor diberikan informasi yang salah atau menipu.
Terkait dengan kasus investasi syariah yang menipu publik dengan skema Ponzi, beberapa aturan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar penanganan kasus ini di Indonesia mencakup:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Aturan ini melindungi hak konsumen atas informasi yang benar, jujur, dan tidak menyesatkan. Pelaku investasi GTI Syariah bisa dikenai sanksi karena melakukan manipulasi informasi yang menipu konsumen untuk ikut berinvestasi dengan janji keuntungan palsu.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah
Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah wajib mematuhi prinsip-prinsip syariah yang melarang riba, gharar, dan manipulasi. Pengelola investasi GTI yang mengklaim syariah namun ternyata menjalankan praktik terlarang dapat dikenai sanksi hukum di bawah undang-undang ini karena bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
OJK memiliki wewenang untuk mengawasi seluruh kegiatan jasa keuangan, termasuk investasi dan layanan keuangan berbasis syariah. Setiap praktik ilegal yang terindikasi sebagai penipuan investasi bisa menjadi dasar bagi OJK untuk menghentikan operasi dan memberi sanksi kepada lembaga tersebut, yang dalam hal ini GTI Syariah.KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 378 tentang Penipuan**
Pasal ini memberikan sanksi pidana terhadap penipuan. Pelaku yang mengelabui masyarakat dengan janji keuntungan palsu bisa dikenai pasal ini. Mengingat banyak korban dari skema investasi GTI, pasal penipuan dalam KUHP bisa diterapkan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.
Pendapat Hukum (Legal Opinion)
Dari perspektif hukum, kasus GTI Syariah dapat dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap perlindungan konsumen, kepercayaan publik, dan prinsip-prinsip syariah. Skema Ponzi yang mereka jalankan melibatkan unsur penipuan, yaitu menjanjikan keuntungan tetap yang tidak berasal dari kegiatan bisnis yang riil, melainkan dari dana investor baru. Ini merupakan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen, di mana hak konsumen untuk menerima informasi yang benar telah dilanggar. Selain itu, penggunaan label "syariah" pada investasi yang tidak sesuai syariah merusak reputasi dan integritas sistem keuangan syariah, serta mencederai norma hukum Islam yang melarang gharar dan riba.
Menurut saya, OJK seharusnya lebih aktif dalam mengawasi dan mengedukasi masyarakat tentang ciri-ciri investasi ilegal, terutama yang menggunakan istilah syariah. Sanksi pidana bagi pengelola GTI bisa menjadi langkah tegas untuk memberikan efek jera serta memperingatkan publik agar berhati-hati.
Penjelasan singkat mengenai istilah-istilah living law, utilitarianisme, positivisme, yuridis normatif, dan yuridis empiris dalam konteks hukum dan filsafat hukum:
Living Law
Konsep living law (hukum yang hidup) pertama kali dikemukakan oleh Eugen Ehrlich. Istilah ini merujuk pada hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat, yaitu aturan atau norma yang dianut dan dipatuhi oleh masyarakat sehari-hari, meskipun aturan tersebut tidak tertulis dalam hukum formal. Menurut konsep ini, hukum bukan hanya apa yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga yang ada dalam kebiasaan atau praktik sosial masyarakat. Living law sering dianggap lebih adaptif terhadap perubahan sosial dibandingkan hukum formal.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!