Mohon tunggu...
Najib Nugroho
Najib Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Tenaga pengajar di PP. Nurul Ummah Kotagede DIY

Seorang Blogger dan admin www.sajakaksara.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Selamat Tinggal Oktober Kelabu

31 Oktober 2022   21:19 Diperbarui: 31 Oktober 2022   21:37 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini masih mengenai cerita lanjutan dari postingan sebelumnya. Jadi bagi pembaca yang belum membaca sekuel sebelumnya, silahkan untuk membaca terlebih dahulu agar cerita selanjutnya ini bisa lebih dinikmati.

Baca dulu : The Youth Pledge Day, Nothing is Eternal

Kali ini penulis lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Karena bagi penulis, bahasa ini lebih bisa mewakili perasaan penulis, terlebih bahasa in adalah bahasa Ibu penulis.

29 Oktober 2022

Kami serombongan anggota KKN kelompok 18 (saya masih ingat 3 tahun yang lalu, kelompok KKN kami adalah kelompok 18 dimana angkatan KKN-nya adalah angkatan ke-99) ta'ziyah ke tempatnya almarhumah di daerah Gombong Cawas Klaten. Dalam perjalanan, saya masih belum percaya kalau dia sudah tiada. Hanya masuk angin, lalu tiduran di kamar dan bablas tidur selamanya. Masa iya, dengan hanya masuk angin meninggal?

Potongan-potongan senyumannya, cara dia memanggil saya ketika masih KKN atau kala berjumpa di warung makan sekedar reunian masih cukup terlihat jelas sekali dalam kelebat pikiran saya. Dia juga seorang yang cukup aktif memposting status di WA dan mungkin di Tik-Tok dan Facebook (karena hamba tidak begitu sering online di kedua hal terakhir). Beberapa postingannya di WA seringkali saya tanggapi. Ya, hanya untuk sekadar say hello saja.

Dalam 'say hello' terakhir yang saya lakukan dengan almarhumah, di akhir sesi saling candaan, dia share lokasi tempat tinggalnya. "Main kesini Jib, kamu belum pernah kesini to?". Saya tanggapi dengan menscreenshot Google Maps jarak yang harus ditempuh  kalau benar mau ke rumahnya. "Oh, jauh ya" saya tambah caption seperti itu setelah mengirimkan SS jarak tempuh tersebut. Dia hanya menanggapi dengan emot tertawa.

Tepat 3 minggu setelah dia mengirimkan lokasi rumahnya, saya benar-benar menggunakan link yang ia kirim untuk berkunjung ke rumahnya. Bukan sebagai seorang yang hadir di acara pernikahannya, bukan sebagai seorang yang datang karena main ke daerah sana untuk menghabiskan weekend lalu mampir ke rumahnya, tapi datang untuk menghadiri pemakamannya.

Perjalanan untuk sampai ke rumahnya sekitar 2 jam. Kami sampai sana tepat satu jam sebelum pemakaman. Masih saja pikiran dan hati saya berkelebat tidak percaya kalau dia sudah tiada. Tapi kerumunan orang yang melayat, nama dia yang diukir dalam sebuah papan kayu untuk menandai kuburannya dan jenazahnya yang ditutupi dengan kain hijau yang bertuliskan kalam istirja' yang merendanya membuatku harus percaya kalau dia memang sudah tiada.

Beberapa saya masyhur dengan wajah-wajah yang melayat karena saya pernah melihat orang-orang tersebut dalam foto status yang pernah almarhumah posting. Beberapa kerabat,sahabat, teman, kelompok organisasi, guru-gurunya mengiringi doa dan prosesi sebelum pemakaman. Lantunan doa dan iringan acara perpisahan dengan almarhumah pun terasa khidmat.

Beberapa kali saya lihat bapaknya almarhumah begitu memaksakan diri untuk kuat menerima kenyataan ini. Tidak ada air mata yang menetes di sana. Hanya saja dari kerut wajahnya, gestur tubuhnya dan beberapa kali saya lihat cara beliau mengibas rasa sedih dengan menjabat erat para pelayat sesekali memeluknya, sangat terbaca sekali betapa terpukulnya beliau.

Karena waktu masih mengizinkan saya dan salah satu teman saya untuk menyolatkannya, akhirnya kami pun menjalankannya. 4 takbir yang saya coba lantukan dalam sholat tersebut semoga bisa menjadi salam perpisahan terindah yang bisa saya berikan sebagai seorang teman. Tak lupa saya sematkan doa yang diajarkan oleh Nabi saya;

            "Allahumma anzil rahmata wa maghfirata lihadhihil maytati. Allahumma taj'al qabraha roudatan mina jannah, wala taj'alhu laha khifrotan minan niran".

Setelah prosesi pemberangkatan jenazah usai, kami mengirinya sampai ke pemakaman. Setidaknya inilah yang bisa kami lakukan untuk melepasnya. Disini pun saya tersadarkan satu spot yang pernah dia posting ketika ia sedang berziarah. "Apakah tempat ini ya yang dulu pernah dia posting?" batinku dalam hati. Karena di salah satu postingannya di Tik-Tok ia tampak berziarah dan batu nisan-batu nisan yang mengelilinya tampak sama. Setelah melihat prosesi pemakaman dan kami rasa cukup. Kami pun pulang.

Sampai di Asrama, tubuhku cukup berat untuk beraktivitas. Akhirnya saya pun memutuskan untuk tidur. Satu jam kemudian saya terbangun. Entah kenapa saya sebagai laki-laki cukup perasa sekali. Kenapa saya belum bisa menerima kenyataan kalau dia sudah tidak ada? Beberapa kali saya mencoba menepuk-nepuk pipi saya untuk membuktikan ini alam nyata atau mimpi. Berkali-kali saya coba, hasilnya ini benar bukan alam mimpi, ini kenyataan.

Entah kenapa perasaan saya menjadi tidak enak. Habis tidur bukanya fresh tapi malah seakan diserang oleh perasaan sendiri. Perasaan untuk menyangkal apa yang terjadi. Penyangkalan untuk menerima bahwa dia sudah tidak ada. 

Beberapa kali saya masih teringat potongan-potongan perbuatan dia yang membuatku cukup khawatir. Dia bilang tidak apa-apa tapi sebenarnya dia butuh sekali untuk dibantu. "Jib, gak apa-apa kalau gak mau nganter, insya allah saya tahu jalan pulang" pernah pas reunian dia bilang seperti itu pada saya. "Jib, nggak usah cemas sama motorku ya, gak apa-apa nanti saya tak ke bengkel sendiri" tuturnya pas motornya harus turun mesin karena telat ganti oli  semasa KKN. 

Saya khawatir, kabar dia meninggal ini seperti kabar diatas. Yang mana ketika potongan-potongan itu disatukan, akan membentuk kesimpulan yang sebaliknya. Dia bilang gak mau diantar,sebenarnya pengen diantar.. Dia bilang gak gak usah cemas, saya bisa sendiri ke bengkel. Sebenarnya dia pengen bilang, "saya tolong diantar ya ke bengkel!". Dan kabar kematian ini pun sama, sebenarnya dia tidak meninggal, dia hanya sembunyi saja.

Pikiran seperti ini cukup menguras tenaga saya. Saya jadi tidak bergairah untuk beraktivitas seperti biasanya. Masih sama, beberapa potongan dirinya berkelebat dalam pikiranku. Ditambah saya belum sepenuhnya 'menerima' kalau dia sudah tidak ada. Akhirnya, saya memutuskan untuk izin meninggalkan pesantren dan pulang ke rumah.

Jujur, saya butuh sosok yang bisa ikut memeluk perasaan saya. Mohon maaf, kalau disini maskulinitas saya tergadaikan. Tapi begitulah diri saya yang cukup perasa. Saya butuh sosok yang benar-benar mampu memahami cerita dan apa yang saya rasakan. Dan pilihan saya jatuh pada, rumah.

Selama dalam perjalanan dari pesantren ke rumah dengan kecepatan motor yang hanya 30 km/jam, saya mencoba berbicara dengan diri sendiri. Mencoba menghibur diri. Tapi tetap saja, terasa buntu. Di rumah saya benar-benar mendapatkan apa yang saya cari. Bapak dan Ibu mendengarkan cerita saya dengan seksama. Sesekali Ibu menanggapi, sesekali Bapak menanggapi. Seakan disini saya menemukan tempat untuk bercurah tentang keluh kesah.

Karena saya sampai rumah tepat waktu maghrib, akhirnya kami pun shalat berjamaah. Hangatnya nuansa agamis ini cukup membuat saya kuat untuk meraba-raba kembali diri saya yang seharusnya. Setidaknya kalau benar-benar belum sepenuhnya saya merasa lebih baik, saya sudah menemukan titik ketenangan itu.

Habis shalat maghrib, biasanya kalau saya di rumah, saya sempatkan untuk memijat Bapak semampu saya. Dengan cara ini biasanya Bapak lebih terbuka cerita ini itu. Dan itu sedikit banyak menghibur saya. Kami bisa saling tukar cerita, beberapa kali kami tertawa bersama. Dengan hal ini saya merasa keadaan saya menjadi lebih baik.

Setelah memijat Bapak, adzan Isya' pun berkumandang. Kami pun shalat jamaah lagi. Setelah itu saya pamit mau ziarah ke makam kyai saya. Seringkali banyak hal positif yang saya rasakan ketika ziarah ke makam beliau. Saya bisa curhat apapun ke beliau ketika selesai ziarah. Seakan semua masalah kehidupan yang sedang merenggut saya bisa saya lalui dengan baik. Dalam perjalanan pulang dari ziarah, saya menaiki sepeda motor saya dengan kecepatan 30 km/jam. saya pun mencoba mengajak berbicara diri saya. Terlebih terkait pikiran saya yang belum bisa sepenuhnya 'melepas' kalau almarhumah memang benar-benar sudah tiada.

Beberapa ayat al quran meyakinkan saya;

Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), 

Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh.

Pada akhirnya, kalimat istirja' itu benar adanya. Bahwa, "Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali." Dari sini, saya mulai bisa menerima kepergiannya. Mungkin belum bisa sepenuhnya, tapi biarkan waktu yang menjadi obat atas segala rasa kehilangan ini. 

Untuk menutup tulisan kali ini, saya akan mencantumkan kalimat di salah satu statusnya.

"Kalau memang datangmu hanya untuk pergi, izinkanlah saya untuk menyuguhkan kopi daripada hati"

~ Denis

Selamat Jalan, Denis. Semoga di surga sana, kamu bisa menemukan seseorang sebagai tempatmu untuk berlabuh dan kamu benar-benar bisa menyuguhkan hatimu untuk seseorang yang benar-benar mencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun