Karena waktu masih mengizinkan saya dan salah satu teman saya untuk menyolatkannya, akhirnya kami pun menjalankannya. 4 takbir yang saya coba lantukan dalam sholat tersebut semoga bisa menjadi salam perpisahan terindah yang bisa saya berikan sebagai seorang teman. Tak lupa saya sematkan doa yang diajarkan oleh Nabi saya;
      "Allahumma anzil rahmata wa maghfirata lihadhihil maytati. Allahumma taj'al qabraha roudatan mina jannah, wala taj'alhu laha khifrotan minan niran".
Setelah prosesi pemberangkatan jenazah usai, kami mengirinya sampai ke pemakaman. Setidaknya inilah yang bisa kami lakukan untuk melepasnya. Disini pun saya tersadarkan satu spot yang pernah dia posting ketika ia sedang berziarah. "Apakah tempat ini ya yang dulu pernah dia posting?" batinku dalam hati. Karena di salah satu postingannya di Tik-Tok ia tampak berziarah dan batu nisan-batu nisan yang mengelilinya tampak sama. Setelah melihat prosesi pemakaman dan kami rasa cukup. Kami pun pulang.
Sampai di Asrama, tubuhku cukup berat untuk beraktivitas. Akhirnya saya pun memutuskan untuk tidur. Satu jam kemudian saya terbangun. Entah kenapa saya sebagai laki-laki cukup perasa sekali. Kenapa saya belum bisa menerima kenyataan kalau dia sudah tidak ada? Beberapa kali saya mencoba menepuk-nepuk pipi saya untuk membuktikan ini alam nyata atau mimpi. Berkali-kali saya coba, hasilnya ini benar bukan alam mimpi, ini kenyataan.
Entah kenapa perasaan saya menjadi tidak enak. Habis tidur bukanya fresh tapi malah seakan diserang oleh perasaan sendiri. Perasaan untuk menyangkal apa yang terjadi. Penyangkalan untuk menerima bahwa dia sudah tidak ada.Â
Beberapa kali saya masih teringat potongan-potongan perbuatan dia yang membuatku cukup khawatir. Dia bilang tidak apa-apa tapi sebenarnya dia butuh sekali untuk dibantu. "Jib, gak apa-apa kalau gak mau nganter, insya allah saya tahu jalan pulang" pernah pas reunian dia bilang seperti itu pada saya. "Jib, nggak usah cemas sama motorku ya, gak apa-apa nanti saya tak ke bengkel sendiri" tuturnya pas motornya harus turun mesin karena telat ganti oli  semasa KKN.Â
Saya khawatir, kabar dia meninggal ini seperti kabar diatas. Yang mana ketika potongan-potongan itu disatukan, akan membentuk kesimpulan yang sebaliknya. Dia bilang gak mau diantar,sebenarnya pengen diantar.. Dia bilang gak gak usah cemas, saya bisa sendiri ke bengkel. Sebenarnya dia pengen bilang, "saya tolong diantar ya ke bengkel!". Dan kabar kematian ini pun sama, sebenarnya dia tidak meninggal, dia hanya sembunyi saja.
Pikiran seperti ini cukup menguras tenaga saya. Saya jadi tidak bergairah untuk beraktivitas seperti biasanya. Masih sama, beberapa potongan dirinya berkelebat dalam pikiranku. Ditambah saya belum sepenuhnya 'menerima' kalau dia sudah tidak ada. Akhirnya, saya memutuskan untuk izin meninggalkan pesantren dan pulang ke rumah.
Jujur, saya butuh sosok yang bisa ikut memeluk perasaan saya. Mohon maaf, kalau disini maskulinitas saya tergadaikan. Tapi begitulah diri saya yang cukup perasa. Saya butuh sosok yang benar-benar mampu memahami cerita dan apa yang saya rasakan. Dan pilihan saya jatuh pada, rumah.
Selama dalam perjalanan dari pesantren ke rumah dengan kecepatan motor yang hanya 30 km/jam, saya mencoba berbicara dengan diri sendiri. Mencoba menghibur diri. Tapi tetap saja, terasa buntu. Di rumah saya benar-benar mendapatkan apa yang saya cari. Bapak dan Ibu mendengarkan cerita saya dengan seksama. Sesekali Ibu menanggapi, sesekali Bapak menanggapi. Seakan disini saya menemukan tempat untuk bercurah tentang keluh kesah.
Karena saya sampai rumah tepat waktu maghrib, akhirnya kami pun shalat berjamaah. Hangatnya nuansa agamis ini cukup membuat saya kuat untuk meraba-raba kembali diri saya yang seharusnya. Setidaknya kalau benar-benar belum sepenuhnya saya merasa lebih baik, saya sudah menemukan titik ketenangan itu.