Mohon tunggu...
Najdah Wildan
Najdah Wildan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Agama Islam, Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pro Dan Kontra Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

22 November 2021   19:52 Diperbarui: 22 November 2021   20:07 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi, negara sebagai pembuat produk hukum haruslah bisa menjawab kebutuhan masyarakat dari fenomena yang telah ada dengan mengeluarkan produk hukum yang mengatur, melarang, dan membatasi. Dalam hal ini PERMENDIKBUD ini telah menjawab salah satu urgensi permasalahan dalam dunia pendidikan maupun jaminan perlindungan atas rasa aman dalam institusi pendidikan. Dengan demikian, harapan publik akan langkah konkrit dari pemerintah untuk mendorong penciptaan ruang aman telah terpenuhi.

    4. Ketiadaan Regulasi dan Sistem Perlindungan dan Advokasi bagi Korban di dalam kampus

Tentu adanya PERMENDIKBUD ini menjadi langkah konkrit yang telah lama diharapkan hadir untuk mengisi dan membentuk kepastian hukum mengenai satuan tugas dan unit pelayanan terpadu dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual di kampus. Karena selama ini dengan ketiadaan instrumen hukum, maka mekanisme penanganan di kampus bisa berbeda-beda dan berubah-ubah. Hal tersebut tentu menyebabkan ketidakpastian hukum bagi korban. Berbagai fenomena tersebutlah yang telah mendorong munculnya PERMEN ini. Hal ini disebut dengan Konsiderans atau bagian "Menimbang" yang diletakkan di bagian paling awal dalam suatu  produk hukum.

Sumber foto : jdih.kemdikbud.go.id
Sumber foto : jdih.kemdikbud.go.id
Nah, jika sudah jelas pertimbangan-pertimbangannya yang cukup logis tersebut, mengapa menjadi kontroversi? Jelas yang dipermasalahkan adalah Frasa "Tanpa Persetujuan Korban" yang seolah-olah kalau di-a contrario- kan menjadi boleh. Padahal susunan norma di dalam Pasal 5 tersebut, bukanlah norma larangan, melainkan norma definisi eksplanatoris. 

Selain dari apatisnya penegak hukum, juga hukum acara pidana tidak mengakomodasikan pentingnya pengalaman korban ini untuk divalidasi apalagi dijadikan bahan pembuktian. Oleh karenanya, adanya frasa "Tanpa persetujuan korban" ini menjadi salah satu unsur pembuktian pidana (unsur objektif).

Cara membuktikannya bagaimana? dibantu dengan asesmen psikologis yang tentunya juga membutuhkan pengalaman korban, maka dengan ini pengalaman korban tidakkan lagi dimentahkan begitu saja. Maka apabila asesmen psikologisnya hasilnya positif telah terjadi kekerasan, maka unsur pembuktian dalam frasa tersebut telah terpenuhi. Frasa ini mengisi kekosongan pembuktian tindak pidana kekerasan seksual.

Sehingga sudah jelas, mengapa frasa tersebut penting untuk dimasukkan. Serta anggapan jikalau dengan persetujuan korban akan memperbolehkan terjadinya kekerasan adalah suatu kesesatan berpikir dan asumsi yang oversimplifikasi. Lantas, mengapa banyak argumentasi kontranya sampai menebar asumsi yang cenderung memfitnah pembuat kebijakan tersebut?

Dalam fenomena ini, Budaya hukum masyarakat kita cenderung tidak sadar akan hukum itu. Hal tersebut dipengaruhi oleh beragam faktor, sehingga menyebabkan masyarakat skeptis dan gampang terhasut oleh berita hoax tentang suatu produk hukum.

Dewasa ini, masyarakat hanya akan mendukung produk hukum apabila hukum tersebut menguntungkan dirinya. Jika tidak? maka mereka akan apatis atau menolak. Sehingga, terdapat kecenderungan untuk menilai hukum dengan perasaan atau emosi pribadi bukan dengan pertimbangan logis atas fenomena yang urgen untuk diatur.

Dalam fenomena penolakan PERMENDIKBUD ini, memang cukup miris argumentasi kontranya yang lebih didominasi oleh Perasaan Hukum, ketimbang kesadaran hukum. Seolah menutup mata rangkaian fenomena kekerasan seksual yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. menutup telinga atas semua pendapat hukum yang masuk. Namun, malah diam ketika melihat fenomena kekerasan seksual yang ada. Lantas bagaimana argumen kontra yang benar dan berkesadaran hukum?

Muhammadiyah menjadi contoh yang sangat baik dalam hal ini. Mereka mendukung latar belakang pertimbangan dikeluarkannya PERMEN ini, dalam arti mereka juga menganggap bahwa negara harus hadir dalam menyelesaikan permaslahan ini dan tidak menutup mata atas fenomena miris yang ada di depan mata. Namun di luar itu, Muhammadiyah mengkritik murni secara substansial, yakni mengenai permen ini yang dikhawatirkan akan ultra-vires atau melampaui kewenangannya dalam menindak kasus kekerasan seksual yang ada di kampus. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi kewenangan dari pihak perguruan tinggi itu sendiri.

Sumber foto : www.dpr.go.id
Sumber foto : www.dpr.go.id
Dilansir dari Cahaya Islam Berkemajuan, Muhammadiyah menolak Permendikbud 30 menurut karena:
  • Cacat formil. Kecacatan itu antara lain tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya sebagaimana diatur oleh Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Kedua, Permendikud 30 tidak tertib materi muatan.
  • Permendikbud 30 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi.
  • Muhammadiyah tidak bertoleransi terhadap segala tindakan pelecehan seksual. Penolakan Muhammadiyah terhadap Permendikbud 30 menurutnya tidak akan mengubah sikap Muhammadiyah terhadap aksi asusila di lingkungan pendidikan tinggi.

Dalam hal ini, Muhammadiyah sepakat bahwa PERMENDIKBUD tersebut menjadi reminder bagi pihak universitas untuk terus membenahi usaha-usaha ikhtiar untuk mencegah, mendidik mahasiswa, termasuk kalau terjadi menghukum pelakunya itu tidak ada kompromi di situ.Hal lain yang menjadi alasan penolakan aturan ini adalah adanya perasaan hukum. Yakni, sikap anti-intelektualisme. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun