Mohon tunggu...
Najdah Wildan
Najdah Wildan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Agama Islam, Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pro Dan Kontra Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

22 November 2021   19:52 Diperbarui: 22 November 2021   20:07 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : matabandung.pikiran-rakyat.com

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek RI) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menimbulkan pro dan kontra.Persoalan pokok yang menuai polemik bersumber dari frasa 'tanpa persetujuan korban' sebagaimana yang tercantum pada beberapa pasal dalam Permendikbudristek Nomor 30 tersebut.

picture-2-619b857806310e6189603b42.png
picture-2-619b857806310e6189603b42.png
picture-3-619b85aa75ead65d6874d812.png
picture-3-619b85aa75ead65d6874d812.png
Sumber foto : jdih.kemdikbud.go.id
Sumber foto : jdih.kemdikbud.go.id
Kelompok penolak Permendikbud melabeli frasa 'tanpa persetujuan korban' sebagai aturan yang melegalkan perzinahan hingga perilaku seks bebas di dalam kampus, maupun hubungan seksual di luar pernikahan. Dalam menanggapi latar belakang dikeluarkannya PERMEN ini, saya memetik kalimat suatu postulat hukum yang bunyinya:

'Het recht hinkt achter de feiten aan,'

yang artinya: "Hukum itu berjalan terseok-seok mengikuti fakta"

Hukum sebenarnya ada di belakang fakta, dalam arti kenyataan itulah yang menginspirasi munculnya hukum. Sehingga, tidak mungkin ada produk hukum yang dikeluarkan apabila tidak ada fakta/fenomena yang melatar belakanginya. Hal ini sering kita sebut sebagai "Urgensi" atau derajat penting tidaknya suatu aturan harus dibuat atau diberlakukan.

Lantas apa latar belakang yang mengurgensikan terbitnya PERMEN ini?

  1. Fenomena kekerasan seksual, khususnya di institusi pendidikan yang kian mengkhawatirkan
  • Berdasarkan Survey dari KEMENDIKBUD sendiri pada tahun 2020, disebutkan bahwa ada sekitar 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
  • Survei daring pada 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene serta difasilitasi oleh The  world's platform for change Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.
  • Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis hasil survei nasional yang menyebut satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.
  • Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat dari tahun lalu sebesar 14 persen.                                                                                                  

      2. Amanat konstitusi

Sumber foto : www.dpr.go.id
Sumber foto : www.dpr.go.id

Hak atas rasa aman serta jaminan perlindungan diri pribadi telah dikonstitusionalisasikan dalam UUD NRI 1945. Oleh karenanya, menjadi tanggung jawab negara dalam menjamin hak-hak rakyatnya, yakni dengan menciptakan ruang aman bagi semua masyarakat dari potensi-potensi kekerasan yang mengancam. Hal ini diwujudkan dengan pembuatan produk hukum, pengawasan jalannya peraturan, serta akses informasi, pengaduan, dan advokasi, baik secara litigasi maupun non-litigasi.

     3. Tanggung jawab negara untuk hadir dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

memenuhi kebutuhan masyarakat Dalam teori hukum responsif, hukum harus dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan paradigma hukum tersebut haruslah dibuat dengan perspektif korban/konsumen agar memungkinkan untuk memberikan perlindungan maupun pemulihan secara maksimal.

Jadi, negara sebagai pembuat produk hukum haruslah bisa menjawab kebutuhan masyarakat dari fenomena yang telah ada dengan mengeluarkan produk hukum yang mengatur, melarang, dan membatasi. Dalam hal ini PERMENDIKBUD ini telah menjawab salah satu urgensi permasalahan dalam dunia pendidikan maupun jaminan perlindungan atas rasa aman dalam institusi pendidikan. Dengan demikian, harapan publik akan langkah konkrit dari pemerintah untuk mendorong penciptaan ruang aman telah terpenuhi.

    4. Ketiadaan Regulasi dan Sistem Perlindungan dan Advokasi bagi Korban di dalam kampus

Tentu adanya PERMENDIKBUD ini menjadi langkah konkrit yang telah lama diharapkan hadir untuk mengisi dan membentuk kepastian hukum mengenai satuan tugas dan unit pelayanan terpadu dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual di kampus. Karena selama ini dengan ketiadaan instrumen hukum, maka mekanisme penanganan di kampus bisa berbeda-beda dan berubah-ubah. Hal tersebut tentu menyebabkan ketidakpastian hukum bagi korban. Berbagai fenomena tersebutlah yang telah mendorong munculnya PERMEN ini. Hal ini disebut dengan Konsiderans atau bagian "Menimbang" yang diletakkan di bagian paling awal dalam suatu  produk hukum.

Sumber foto : jdih.kemdikbud.go.id
Sumber foto : jdih.kemdikbud.go.id
Nah, jika sudah jelas pertimbangan-pertimbangannya yang cukup logis tersebut, mengapa menjadi kontroversi? Jelas yang dipermasalahkan adalah Frasa "Tanpa Persetujuan Korban" yang seolah-olah kalau di-a contrario- kan menjadi boleh. Padahal susunan norma di dalam Pasal 5 tersebut, bukanlah norma larangan, melainkan norma definisi eksplanatoris. 

Selain dari apatisnya penegak hukum, juga hukum acara pidana tidak mengakomodasikan pentingnya pengalaman korban ini untuk divalidasi apalagi dijadikan bahan pembuktian. Oleh karenanya, adanya frasa "Tanpa persetujuan korban" ini menjadi salah satu unsur pembuktian pidana (unsur objektif).

Cara membuktikannya bagaimana? dibantu dengan asesmen psikologis yang tentunya juga membutuhkan pengalaman korban, maka dengan ini pengalaman korban tidakkan lagi dimentahkan begitu saja. Maka apabila asesmen psikologisnya hasilnya positif telah terjadi kekerasan, maka unsur pembuktian dalam frasa tersebut telah terpenuhi. Frasa ini mengisi kekosongan pembuktian tindak pidana kekerasan seksual.

Sehingga sudah jelas, mengapa frasa tersebut penting untuk dimasukkan. Serta anggapan jikalau dengan persetujuan korban akan memperbolehkan terjadinya kekerasan adalah suatu kesesatan berpikir dan asumsi yang oversimplifikasi. Lantas, mengapa banyak argumentasi kontranya sampai menebar asumsi yang cenderung memfitnah pembuat kebijakan tersebut?

Dalam fenomena ini, Budaya hukum masyarakat kita cenderung tidak sadar akan hukum itu. Hal tersebut dipengaruhi oleh beragam faktor, sehingga menyebabkan masyarakat skeptis dan gampang terhasut oleh berita hoax tentang suatu produk hukum.

Dewasa ini, masyarakat hanya akan mendukung produk hukum apabila hukum tersebut menguntungkan dirinya. Jika tidak? maka mereka akan apatis atau menolak. Sehingga, terdapat kecenderungan untuk menilai hukum dengan perasaan atau emosi pribadi bukan dengan pertimbangan logis atas fenomena yang urgen untuk diatur.

Dalam fenomena penolakan PERMENDIKBUD ini, memang cukup miris argumentasi kontranya yang lebih didominasi oleh Perasaan Hukum, ketimbang kesadaran hukum. Seolah menutup mata rangkaian fenomena kekerasan seksual yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. menutup telinga atas semua pendapat hukum yang masuk. Namun, malah diam ketika melihat fenomena kekerasan seksual yang ada. Lantas bagaimana argumen kontra yang benar dan berkesadaran hukum?

Muhammadiyah menjadi contoh yang sangat baik dalam hal ini. Mereka mendukung latar belakang pertimbangan dikeluarkannya PERMEN ini, dalam arti mereka juga menganggap bahwa negara harus hadir dalam menyelesaikan permaslahan ini dan tidak menutup mata atas fenomena miris yang ada di depan mata. Namun di luar itu, Muhammadiyah mengkritik murni secara substansial, yakni mengenai permen ini yang dikhawatirkan akan ultra-vires atau melampaui kewenangannya dalam menindak kasus kekerasan seksual yang ada di kampus. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi kewenangan dari pihak perguruan tinggi itu sendiri.

Sumber foto : www.dpr.go.id
Sumber foto : www.dpr.go.id
Dilansir dari Cahaya Islam Berkemajuan, Muhammadiyah menolak Permendikbud 30 menurut karena:
  • Cacat formil. Kecacatan itu antara lain tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya sebagaimana diatur oleh Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Kedua, Permendikud 30 tidak tertib materi muatan.
  • Permendikbud 30 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi.
  • Muhammadiyah tidak bertoleransi terhadap segala tindakan pelecehan seksual. Penolakan Muhammadiyah terhadap Permendikbud 30 menurutnya tidak akan mengubah sikap Muhammadiyah terhadap aksi asusila di lingkungan pendidikan tinggi.

Dalam hal ini, Muhammadiyah sepakat bahwa PERMENDIKBUD tersebut menjadi reminder bagi pihak universitas untuk terus membenahi usaha-usaha ikhtiar untuk mencegah, mendidik mahasiswa, termasuk kalau terjadi menghukum pelakunya itu tidak ada kompromi di situ.Hal lain yang menjadi alasan penolakan aturan ini adalah adanya perasaan hukum. Yakni, sikap anti-intelektualisme. 

Di mana masyarakat cenderung mementahkan dan meremehkan, serta memarginalisasikan adanya data, fakta ilmiah, argumentasi dan logika yang saintifik. Maka dengan adanya sikap tersebut telah semakin meligitimasi betapa sakitnya budaya hukum kita. Fase berikutnya yg harus dihadapi Kemendikbud adalah implementasi di lapangan dari peraturan tersebut. Ini jauh lebih susah daripada membuat aturan. Pastikan semua pihak yang terlibat di dalamnya berfungsi dengan baik. Percayalah, hal itu jauh lebih sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun