Link Youtube Podcast Kelompok 8 - Mata Kuliah Psikologi Komunikasi Kelas G: https://youtu.be/SHpX2iYUT9o?si=HqeGD_eJYXDmc0b0
Artikel Ilmiah Populer ini ditulis oleh: Muhammad Ma'ruf Irsyad, Wisnu Ardiansyah, Safina Yasyifaa, Aisha Mikaila R., dan Naja Hasya
Dalam era digital ini, komunikasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi remaja. Menurut Fleishman-Hillard yang dikutip dari situs Pagoesdigital, komunikasi digital merujuk pada strategi komunikasi yang berkaitan dengan teknologi untuk menyampaikan pesan secara digital melalui berbagai medium seperti e-mail, video, text messaging, online advertising, dan media lainnya. Meskipun komunikasi digital memberikan kemudahan dalam berinteraksi melalui platform seperti media sosial, pesan instan, dan email, terdapat ancaman serius seperti cybercrime yang dapat merusak kehidupan remaja secara signifikan.
Satu contoh yang mencolok adalah insiden cybercrime yang melibatkan dua mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Pelaku membuat pengakuan palsu melalui pesan anonim (menfess) bahwa korban, seorang anggota BEM, melakukan pelecehan seksual. Akibatnya, korban menghadapi serangan cyber di berbagai platform, termasuk pengeditan foto yang tidak senonoh dan hujatan dari netizen. Hal ini menggambarkan bagaimana komunikasi digital dapat digunakan sebagai senjata untuk merusak reputasi dan kehidupan seseorang.
Ternyata, pelaku menyebarkan berita hoaks karena merasa tidak lolos di sebuah organisasi dan bertindak karena rasa dendam. Perilaku ini dapat dianalisis dari perspektif beberapa teori komunikasi seperti teori psikoanalisis dan teori agenda setting.
Teori psikoanalisis menunjukkan bahwa motivasi pelaku merupakan hasil dari dorongan batin yang kuat tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral. Sigmund Freud menjelaskan perilaku manusia sebagai hasil dari hubungan antara tiga subsistem kepribadian: ID, ego, dan superego. ID, yang mewakili hasrat tak terkendali berdasarkan prinsip kesenangan, dapat dikaitkan dengan dorongan batin yang kuat untuk mengatasi perasaan iri dan mencapai pencapaian serupa. Tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku dapat dilihat sebagai ekspresi dari dorongan ID yang tidak terkendali. Di sisi lain, ego memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi palsu, menunjukkan taktik egois untuk mencapai tujuan pribadi tanpa memperhitungkan implikasi moral.
Reaksi keras netizen terhadap pelaku juga dapat dianalisis melalui teori psikoanalisis, khususnya melalui superego. Reaksi masyarakat menunjukkan internalisasi standar moral dan sosial. Superego berperan sebagai penjaga prinsip etika dan keadilan, dan reaksi netizen dapat dianggap sebagai respons terhadap pelanggaran standar tersebut. Kesenjangan antara ID, ego, dan superego dalam kepribadian seseorang memunculkan dinamika kompleks dalam kasus ini. Tindakan pelaku dapat dipandang sebagai usaha mencapai kepuasan diri tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral dan etis, sehingga memicu reaksi keras dari masyarakat.
Di sisi lain, teori agenda setting menekankan bagaimana media massa dapat mengubah fokus perhatian publik dengan memindahkan isu-isu yang menjadi perhatian media massa ke dalam agenda masyarakat. Dalam kasus ini, pelaku berhasil mengubah persepsi publik tentang korban dengan mengarahkan perhatian kepada pesan yang disampaikannya melalui media sosial. Dengan menyebarkan informasi palsu dan mengedit foto, pelaku berhasil memanipulasi perhatian netizen, menjadikan konstruksi realitas yang dibuatnya sebagai subjek yang diterima secara luas oleh publik. Hal ini menunjukkan bagaimana agenda setting efektif mempengaruhi persepsi dan pendapat masyarakat terhadap suatu isu.
Sebuah kasus lain yang relevan dengan pembahasan ini adalah "Justice for Audrey" yang sempat viral pada 2019 silam. Kasus ini mencerminkan dampak besar hoaks dalam masyarakat. Audrey, seorang remaja, menjadi korban informasi palsu sebagai korban pembullyan. Netizen, terpengaruh oleh informasi tersebut, secara massal mendukungnya dengan aksi nyata seperti donasi dan kampanye sosial. Namun, setelah kebenaran terungkap bahwa itu adalah hoaks, hal tersebut menyadarkan kita akan potensi negatif dari informasi palsu yang tidak terverifikasi di ruang digital.
Kedua kasus ini menunjukkan bahwa remaja, dengan kurangnya literasi digital dan kecenderungan mudah percaya pada informasi, rentan terhadap pengaruh negatif komunikasi digital. Kesadaran akan risiko ini dan pendekatan yang lebih proaktif dalam mengajarkan literasi digital penting untuk meningkatkan sikap skeptis dan kritis terhadap informasi yang beredar.
Kesimpulannya, upaya bersama diperlukan untuk mengatasi dampak negatif komunikasi digital pada remaja. Edukasi yang lebih baik, pengawasan yang cermat, dan kepekaan terhadap isu-isu seperti hoaks dan cybercrime sangat penting. Dengan begitu, kita dapat melindungi mereka dari bahaya tak terduga di ruang digital. Kesadaran akan risiko dan kemampuan untuk menilai informasi secara kritis menjadi kunci untuk menjaga remaja dari ancaman di dunia digital.membantu melindungi remaja dari jebakan cybercrime dan hoaks yang dapat merusak kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ritonga, E. Y. (2018). Teori agenda setting dalam ilmu komunikasi. JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study (E-Journal), 4(1), 32-41.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H