Menorrhagia. Sebuah kata yang saya temukan saat googling dengan kata kunci 'haid berlebihan akibat kelebihan hormon'. Ya, saya pernah mengalaminya tahun lalu, dan tahun-tahun kemarinnya lagi.
Waktu itu bulan puasa, tahun 2011. Tiba-tiba saya merasa celana saya basah, saya lihat ternyata darah. Saya lupa apa yang saya lakukan setelahnya. Hingga beberapa hari, saya lebih sering mengganti pembalut. Tidak pernah tahan lama, selalu bocor.
Suatu kali, saya diminta menginap di rumah tante karena suaminya sedang tugas di luar dan kemungkinan baru datang saat sahur. Saya pun menginap. Saat sahur tante saya menyiapkan makanan di ruang tengah, ruangan dimana saya tidur, agar bisa sekalian nonton tv. Dan betapa terkejut tante saya melihat sprei di tempat saya tidur banyak darah.
Mendengar cerita dari tante, orangtua saya segera membawa saya ke bidan. Oleh bidan, saya disuntik, tidak tahu suntik apa. Juga diberi obat tambah darah (yang rasanya anyir luar biasa-menurut saya sih). Keluar dari praktek bidan, di pinggir jalan saya pingsan. Ayah saya langsung mengangkat dan membawa saya ke mobil, kemudian kami pulang. Besoknya, haid saya sudah normal kembali. Alhamdulillah.
Kamis, Mei 2012. Saya sudah merasa tidak beres sejak malam sebelumnya. Saya tahu itu terjadi lagi. Sebelum bulan puasa itu sebenarnya kejadian yang sama sudah saya alami beberapa kali, jadi saya tahu rasanya. Tapi, saya tetap berkeras ingin berangkat sekolah. Sudah siap, tinggal jalan. Tiba-tiba saya merasa lebih baik di rumah saja, tidak terbayang bagaimana repotnya berada di sekolah hampir 7 jam dengan keadaan seperti ini.
Saya tahu, ibu saya pasti khawatir lagi. Besok sorenya, saya dibawa ke bidan lagi. Ditensi, juga dites Hb. "Wah Hb-nya rendah, 7,5," kata bidan. Saya tanya normalnya berapa, dijawab: 12. Lagi-lagi diberi obat tambah darah, huekk. Di rumah saya dipaksa ibu dan tante untuk minum obat tambah darah itu. Jangankan masuk ke mulut, baru melihat saja saya sudah menjeluak. Oleh tante saya, obat itu ditaruh disendok, diberi air. Dipaksa lagi masuk ke mulut saya. Saya yang tidak tahan dengan anyirnya langsung menyemburkan obat itu. Akhirnya mereka menyerah.
Malamnya, (atau besok paginya ya?) saya dibawa ke rumah sakit. Kata ibu saya penanganannya sangat lambat. Dari UGD, saya diantar ke ruang bersalin (?). Kemudian diperiksa-periksa, macam-macam termasuk tes Hb. Ternyata Hb saya sudah turun jadi 4! Kata orang-orang sih saya pucat sekali waktu itu. Sempat ditanya perawat juga, sehari pakai berapa pembalut, saya katakan 10. Saya juga disuruh ke toilet unntuk buang air kecil, waktu mau berdiri, darahnya keluar terus. Kata bidan rumah sakit ya sudah, tidak usah, dipasang kateter saja. Apa kata mereka sajalah, saya sudah lemas.
Selesai pemeriksaan, saya ditempatkan di ruang perawatan kelas 3, tepat di depan pintu masuk. Ya, ruangan lain sudah penuh. Jadilah orang yang lewat jadi nanya-nanya sambil heran, mungkin karena saya kelihatan muda sekali, "habis melahirkan ya?", atau "suaminya mana?" aduh, saya cuma senyum-senyum, ibu saya yang jawab kalau saya itu sakit, bukan habis melahirkan.
Sakit yang saya derita itu menyebabkan 6 kantong darah orang harus masuk tubuh saya. Syukur itu hasil donor tetangga dan keluarga. Coba kalau harus nebus, katanya 1 kantong bisa dua ratus ribuan.
Oh iya, ibu saya menanyakan ke dokter apakah perlu di-USG. Kata dokter tidak perlu, ini hanya kelebihan hormon dan kemungkinan bisa terulang. Hormon apa? Saya tidak tahu.
Selasa. Saya sudah boleh pulang. Alhamdulillah. Hidup saya kembali seperti biasa. Bulan berikutnya haid saya juga normal.
Mei 2013. Jreng jreng. Saya merasa hampir gila demi menerima kenyataan bahwa apa yang dikatakan dokter setahun yang lalu: kemungkinan bisa terulang, memang benar. Hari itu hari Jum'at, saya pulang sekolah dengan rok basah. Tidak lama setelahnya saya muntah. Kemudian saya kembali masuk rumah sakit dengan kasus yang sama.
Tapi tampaknya kali ini saya lebih beruntung. Perasaan saya tidak selemas tahun kemarin. Saya tidak perlu pakai kateter, dan mendapat ruangan kelas 2 yang isinya hanya untuk dua orang. Saya satu ruangan dengan seorang ibu yang baru melahirkan, sebut saja ibu A. Ibu ini sebenarnya melahirkan di rumah, tapi dibawa ke rumah sakit karena mengalami pendarahan dan harus dikuret.
Datanglah suami istri untuk menjenguk ibu A. Si istri mengobrol dengan ibu A tentang persalinannya. Sampai si istri melihat saya dan menanyakan ada apa kepada ibu saya. Diceritakanlah bahwa saya mengalami haid yang tidak normal itu.
"Ini seperti anak saya," katanya. Dari kecerewetannya menanyakan ke dokter waktu anaknya sakit, diketahuilah bahwa ada makanan yang pantang dimakan yang kemudian diberitahu ke saya. Yaitu ceker dan sayap ayam, telur, mi instan, dan macam-macam bumbu penyedap. Agak kecewa juga, pantangan itu semuanya saya suka. Hehe. Saya boleh pulang setelah menyedot 5 kantong darah, yang lagi-lagi alhamdulillah, dapat donor dari orang-orang terdekat.
Beberapa waktu setelah pulang saya sama sekali tidak memakan apa yang dilarang. Ditambah dengan mengonsumsi sari kurma, jus jambu biji, serta sayuran hijau.
Sekarang saya mulai berani lagi makan mi instan. Tapi, dari yang biasa asal rebus, sekarang air rebusannya saya buang, diganti dengan yang baru. Dan maksimal sekali sehari. Begitu juga ayam, direbus dulu, baru dimasak sesuai selera. Bumbu-bumbu instan juga saya kurangi. Yah agak ribet sih. Tapi kalau ingat sakitnya ya lebih baik ribet-ribet dahulu, sehat-sehat kemudian. Wkwk
Belakangan saya jadi penasaran, penyakit itu apa namanya. Dapatlah kata Menorrhagia, disebabkan salah satunya oleh ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dengan kondisi endometrium. Mengerti? Saya tidak. Setidaknya saya tahulah namanya. Hehe..
Dan alhamdulillah sampai sekarang haid saya normal-normal saja. Mudah-mudahan sampai seterusnya normal. Amin..
Semoga bermanfaat ya ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H