Mohon tunggu...
Rinta Nainggolan
Rinta Nainggolan Mohon Tunggu... Domestik Helper -

Lahir di indonesia merantau dan berjuang untuk kembali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Kartini RTC] Oppung Pardemban

20 April 2015   22:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Rinta Nurhayati/ No. 75

Oppungku adalah wanita yang termasuk cantik di usia mudanya dan kecantikannya masih terpancar hingga sekarang walaupun usianya sudah mencapai hampir 85 tahun, tetapi dia masuk kuat bekerja di ladang dan bertani. Pakaian yang dikenakannya adalah baju kebaya yang katanya itu adalah ciri khasnya perempuan desa dari dulunya, tapi saya menganggap bahwa dari dulu kebaya adalah pakaian yang sangat menyenangkan dan berharga di zamannya.

Nenekku memiliki dua anak tulang dan ibuku dan di usia muda nenekku sudah menjanda, tetapi walau pun janda nenekku sangat memperhatikan pendidikan tulang dan ibuku. Dalam keadaan yang sangat sulit ibuku harus mengalah agar tulangku bisa menyelesaikan sekolahnya,sehingga ibuku hanya bisa lulus setara SMP saat itu. Namun demikian nenekku terus berjuang agar kehidupan anak-anaknya bisa lebih baik.

Oppungku tidak mau berhenti berjuang apapun pasti ia kerjakan,bahkan kehidupan di daerah pegunungan dia jalani dengan keras,ia tidak perduli yang penting bisa memenuhi kehidupan sehari hari. Pagi pagi nenekku sudah pergi menderes getah karet, lalu sorenya ia mengumpulkannya.

Sekali seminggu ia menjualnya ke pembeli yang jauh ke kota, hingga tulangku pergi merantau untuk bisa meneruskan sekolahnya dan nyaris oppungku tidak tau dimana tulang berada,dan anaknya yang perempuan menikah dengan seorang polisi dan lahirlah aku, dan dari sanalah kehidupan oppungku berubah lebih baik.

Oppungku suka makan sirih seolah olah ia mengganti lipstiknya dengan racikan sirih dan kapur berwarna merah, setiap hari oppung mengunyah sirih, dan aku rajin mencarikan sirih untuk oppung. Sekali waktu aku menyembunyikan tasnya yang hitam yang selalu dibawa kemana saja, oppungku mencarinya sampai ke sudut ruang rumah, akhirnya aku tak tahan dan mengembalikannya.

Sekali waktu aku berkunjung ke rumah nenek yang di dekat pegunungan,di sana aku melihat banyak oppung berkumpul dan bibir mereka merah-merah, sambil menyuntil bakau di sudut bibirnya untuk mengusir nyamuk dan agas.

Mereka begitu asyik mengunyah sirih dan sambil menganyam pandan putih untuk dijadikan tikar dan tandok,hombal. Setiap aku berkunjung ke rumah oppung aku juga turut mengunyah sirih,dan bagiku sangat asyik bahkan terkadang bajuku kena air merah sirih dan tidak bisa lekang kalau dicuci.

Oppung pardemban aku sebut mereka semua, mereka adalah wanita-wanita yang kuat yang tak mengenal televisi bahkan radio jauh dari pendengaran mereka tapi oppungku dan pardemban lainnya tau bahwa anak-anaknya harus bersekolah.

Oppung pardemban ini jarang sakit dan gigi mereka kuat-kuat,dan aku juga tidak merasa mulut mereka bau, padahal mereka tidak menggunakan sikat gigi untuk membersihkan gigi dan mulut mereka.

Oppungku menyikat giginya,kalau saya bilang pakai oma-omaden,tapi gigi mereka terawat.

Kini usia oppungku udah mencapai hampir 85 tahun,giginya masih kuat dan tenaganya juga masih kuat,rambutnya pun sudah memutih ,tetapi oppungku dan oppung perdemban lainnya masih kuat mengayam tikar dan menderes karet,walau pun anak anak mereka sudah jadi sarjana di kota-kota besar.

Termasuk tulangku yang berhasil menjadi seorang guru, walau pun keterbatasan dana dari oppungku tetapi tulangku mampu memberi kebanggaan bagi oppung.bahkan oppung-oppung yang lain pun mereka berhasil menjadikan anak-anak mereka sarjana.

Sekalipun anak-anak mereka sudah berhasil,namun para oppung pardemban ini enggan ikut ke kota,karena di kota badan mereka menjadi sakit,sulit cari daun sirih,tidak bisa bercocok tanam,padahal gaji anak-anak mereka lebih dari cukup untuk memberi apa yang mereka mau.

Tapi itulah hebatnya oppung pardemban,yang terus bertahan di tengah arus moderenisani,sirih tak bisa digantikan oleh makanan lezat lainnya.

Bahkan gaya hidup mereka tidak tergantikan dengan kemewahan apapun, menganyam tidak bisa digantikan dengan tenunan sutra, mereka hidup dengan kebanggaannya, bersama demban dan suntil di bibirnya.

Kekuatan oppung pardemban tidak tergoyahkan oleh medsin-mesin modern,karena keberhasilahn yang mereka capai adalah hasil keringat yang benar-benar tulus.

Merekalah generasi yang melahirkan putra-putri yang berkualitas walau tak di kenal.

Hongkong, 20 april 2015

_ _ _ _

NB. Kisah ini terinspirasi dari kehidupan nenekku di salah satu desa terpencil di Tap-ut Hutabayon.

Oppung : dari bahasa batak artinya Nenek atau kakek

Tulang :  paman

Demban: racikan sirih.

Tandok.adalah berupa anyaman pandan yang berbentuk agak bulat dan tinggi biasa digunakan untuk pesta adat untuk diisi beras.

Hombal juga hampir sama tapi bentuknya gepeng dan dipadu padankan deng tikar pandan biasanya diisi dengan beras atau ketan dan lemang juga dipakai untuk pesta adat biasanya pernikahan orang batak.

Oma-omaden itu bahasa gaul kami dikampung adalah sejenis rumput manis,biasanya sapi atau kambing senang merumput jenis ini,dan di zaman saya dulu karena mahalnya sikat gigi dan pasta gigi kami mengambil rumput ini lalu kami pulas lalu menggosokkan ke gigi .

--------------

142954721675681957
142954721675681957

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun