Kini usia oppungku udah mencapai hampir 85 tahun,giginya masih kuat dan tenaganya juga masih kuat,rambutnya pun sudah memutih ,tetapi oppungku dan oppung perdemban lainnya masih kuat mengayam tikar dan menderes karet,walau pun anak anak mereka sudah jadi sarjana di kota-kota besar.
Termasuk tulangku yang berhasil menjadi seorang guru, walau pun keterbatasan dana dari oppungku tetapi tulangku mampu memberi kebanggaan bagi oppung.bahkan oppung-oppung yang lain pun mereka berhasil menjadikan anak-anak mereka sarjana.
Sekalipun anak-anak mereka sudah berhasil,namun para oppung pardemban ini enggan ikut ke kota,karena di kota badan mereka menjadi sakit,sulit cari daun sirih,tidak bisa bercocok tanam,padahal gaji anak-anak mereka lebih dari cukup untuk memberi apa yang mereka mau.
Tapi itulah hebatnya oppung pardemban,yang terus bertahan di tengah arus moderenisani,sirih tak bisa digantikan oleh makanan lezat lainnya.
Bahkan gaya hidup mereka tidak tergantikan dengan kemewahan apapun, menganyam tidak bisa digantikan dengan tenunan sutra, mereka hidup dengan kebanggaannya, bersama demban dan suntil di bibirnya.
Kekuatan oppung pardemban tidak tergoyahkan oleh medsin-mesin modern,karena keberhasilahn yang mereka capai adalah hasil keringat yang benar-benar tulus.
Merekalah generasi yang melahirkan putra-putri yang berkualitas walau tak di kenal.
Hongkong, 20 april 2015
_ _ _ _
NB. Kisah ini terinspirasi dari kehidupan nenekku di salah satu desa terpencil di Tap-ut Hutabayon.
Oppung : dari bahasa batak artinya Nenek atau kakek