Dalam konteks ini, akhirat dipahami sebagai kehidupan yang kekal, di mana setiap tindakan manusia di dunia akan mempengaruhi nasibnya di kehidupan yang abadi tersebut. Oleh karena itu, pemahaman tentang akhirat sangat penting dalam membentuk tindakan sehari-hari umat Muslim. Tetapi apakah akhirat hanya berkaitan dengan kehidupan rohani, atau juga menyangkut aspek fisik? Bagaimana Allah SWT menerangkan hal tersebut?
Berikut ayat Al-Quran yang mendeskripsikan bagaimana keadaan manusia setelah kematian:
Al-Qiyamah [75]: 3-4 "Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna."
Ayat tersebut menunjukkan aspek jasmani dengan menggambarkan siksaan maupun kenikmatan fisik yang akan dirasakan oleh manusia di alam akhirat nanti.
Tetapi terkait "jasmani" manusia yang akan dibangkitkan kembali dimaksudkan secara eksplisit dalam bentuk fisik yang sesungguhnya sebagaimana fisik manusia di dunia, atau sejatinya dalam bentuk "rohani" manusia saja. Karena alam akhirat masih merupakan alam ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh manusia melalui apapun. Para filsuf Muslim telah lama mendiskusikan sifat kehidupan di akhirat, khususnya apakah kehidupan tersebut bersifat jasmani, rohani, atau gabungan dari keduanya. Pemikiran ini menyoroti berbagai sudut pandang filosofis yang berkembang dalam tradisi Islam mengenai hakikat keberadaan manusia setelah kematian. Berikut beberapa pandangan filsuf Muslim terkait sifat kehidupan di akhirat:
Ibn Rusyd (Averroes): Kehidupan Akhirat sebagai Dimensi Rohani
Ibn Rusyd, atau dikenal di dunia Barat sebagai Averroes, adalah seorang filsuf Muslim dari Andalusia yang terkenal dengan pendekatan rasionalisnya terhadap ajaran agama. Salah satu isu penting yang dia kaji adalah sifat kehidupan di akhirat. Dalam diskursus tentang eskatologi, Ibn Rusyd membagi pandangan menjadi tiga kelompok besar:
1.Golongan pertama: Mereka yang percaya bahwa kehidupan di akhirat sepenuhnya bersifat jasmani, dengan kenikmatan dan kesenangan yang serupa dengan kehidupan dunia, hanya saja lebih abadi.
2.Golongan kedua: Mereka yang meyakini bahwa kehidupan di akhirat hanya bersifat rohani, tanpa keterlibatan unsur jasmani.
3.Golongan ketiga: Mereka yang percaya bahwa kehidupan di akhirat bersifat jasmani dan rohani, namun ada perbedaan mendasar dalam hal kekekalan di antara keduanya.
Ibn Rusyd sependapat dengan golongan kedua yang berargumen bahwa kehidupan di akhirat adalah pengalaman rohani semata. Menurutnya, setelah kematian, unsur jasmani manusia hancur, dan yang tersisa adalah roh atau jiwa. Ia mendasarkan pendapatnya pada akal dan logika, menyatakan bahwa karena alam akhirat bersifat ghaib dan non-material, maka lebih masuk akal untuk memahami akhirat sebagai kehidupan rohani yang tidak terikat pada dimensi fisik. Dengan pandangan ini, Ibn Rusyd berusaha menyelaraskan antara nalar kritis dan ajaran agama mengenai akhirat.
Al-Ghazali: Keseimbangan Jasmani dan Rohani
Berbeda dengan Ibn Rusyd, seorang filsuf Muslim dari Persia, yakni Al-Ghazali menekankan pentingnya memahami kehidupan di akhirat sebagai perpaduan antara jasmani dan rohani. Dalam karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, Al-Ghazali berargumen bahwa Al-Qur'an dan hadits secara eksplisit menggambarkan bahwa manusia akan dibangkitkan dalam bentuk fisik pada hari kiamat. Menurutnya, jasad-jasad manusia akan disatukan kembali dengan jiwa mereka, dan mereka akan merasakan kenikmatan surga atau azab neraka baik secara jasmani maupun rohani.
Al-Ghazali menentang keras interpretasi yang hanya mengakui kehidupan rohani di akhirat. Baginya, kebangkitan jasad adalah bagian dari keajaiban yang dijanjikan oleh Allah, dan menolak hal ini sama saja dengan mengingkari ajaran fundamental Al-Qur'an. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman tentang kebangkitan jasad harus dipahami secara literal, bukan metaforis. Jadi, menurut Al-Ghazali, kehidupan di akhirat adalah pengalaman utuh yang melibatkan dimensi fisik dan spiritual.
Ibn Sina (Avicenna): Jiwa yang Kekal
Ibn Sina, atau Avicenna, seorang filsuf dan ilmuwan Muslim dari Uzbekistan yang sangat berpengaruh, memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang hakikat jiwa dan tubuh. Menurutnya, jiwa manusia adalah kekal dan tidak tergantung pada tubuh fisik. Dalam konsepnya, setelah kematian, jiwa akan terus hidup tanpa memerlukan keberadaan jasmani. Kehidupan di akhirat, dalam pandangan Ibn Sina, lebih bersifat rohani karena jiwa manusia bersifat abadi dan tidak terpengaruh oleh kematian fisik.