Tradisi Kawin Paksa di Madura
Praktik nikah paksa di Madura masih terjaga karena umumnya masyarakat menikahkan anak perempuannya dalam usia muda atau dengan kerabat terdekatnya, sering kali dengan perbedaan usia yang signifikan antara mempelai perempuan dan laki-laki. Praktik ini sering dikaitkan dengan paksaan dari orang tua terhadap anak perempuan mereka, dengan alasan mempertahankan silaturahim keluarga yang erat. Anak perempuan sering kali dipulangkan dari pesantren di usia sekolah menengah pertama atau atas, tanpa mempertimbangkan kehendak atau pengetahuan anak perempuan tentang calon suaminya.
Menurut tradisi di Madura, perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dianggap sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan keharmonisan keluarga dan kelangsungan tradisi. Konsep ini sering kali bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang menekankan kebebasan individu dalam memilih pasangan hidupnya.
Nikah Paksa di Madura
Fenomena nikah paksa atau pernikahan pada usia muda, termasuk pernikahan antara kerabat di Madura, juga umum terjadi di kalangan mahasiswa atau siswa sekolah dasar untuk menjaga hubungan keluarga yang erat. Hal ini sering kali menjadi hasil dari paksaan orang tua mereka, di mana anak perempuan dipulangkan dari pesantren untuk dinikahkan dengan kerabat tanpa mempertimbangkan keinginan pribadi mereka.
Teori Sosiologi tentang Pernikahan Paksa: Menurut teori sosiologi, pernikahan paksa sering kali dipandang sebagai hasil dari struktur sosial yang kuat, di mana norma dan nilai-nilai budaya mendominasi keputusan individu. Dalam konteks Madura, faktor-faktor seperti penghargaan terhadap otoritas orang tua dan kebutuhan untuk menjaga solidaritas keluarga sering menjadi pendorong utama praktik perjodohan paksa. Teori ini menyoroti bahwa individu tidak selalu membuat keputusan secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh tekanan sosial dan budaya di sekitarnya.
Kasus Mahasiswa yang Dijodohkan
Sebagai contoh, seorang mahasiswa dipaksa menikah dengan calon yang dipilih oleh ayahnya untuk menjaga silaturahim keluarga yang erat dengan kerabat terdekat. Ayahnya, yang jarang berkomunikasi ( partisipasi) dengan putrinya, memaksakan pernikahan tanpa mempertimbangkan keinginan putrinya. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), hak mahasiswa tersebut telah dilanggar. Praktik perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya tidak dapat dibenarkan karena melanggar hak-hak dasar individu.
Menurut saya, setiap individu memiliki hak inheren untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Pemaksaan dalam pernikahan tidak hanya melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang diakui secara internasional, tetapi juga dapat mengakibatkan dampak psikologis yang serius bagi individu yang terlibat.
Dalam konteks budaya dan tradisi, memang ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi seperti silaturahim keluarga. Namun, nilai-nilai ini harus dipertimbangkan dengan mematuhi hak-hak individu sesuai dengan standar hak asasi manusia yang telah diakui secara global. Dalam Islam, sebagai contoh, pemilihan pasangan hidup seharusnya dilakukan dengan kesepakatan dan persetujuan bebas dari kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari pihak lain, termasuk dari orang tua.
Penting untuk mempromosikan pendekatan yang menghargai kebebasan individu dalam memilih pasangan hidupnya, sambil tetap menghormati nilai-nilai budaya dan agama yang ada. Ini akan membantu dalam menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan serta menghindari pelanggaran terhadap hak-hak individu.