Mohon tunggu...
Nailul Amal
Nailul Amal Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Enthusiast

Nulis hanya sebatas moody

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fiqh dan Taqnin Sebuah Legislasi Hukum

18 Desember 2023   13:31 Diperbarui: 18 Desember 2023   13:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fiqih Sebagai Produk Hukum Islam

Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, sebab agama Islam itu sendiri merupakan kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam, para ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti bidang akidah, ibadah, dan mua'amalah. Semua bidang ini pada masa Rasulullah diterangkan di dalam Quran sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh Rasulullah dalam sunnahnya. Hukum yang ditetapkan dalam Quran atau sunnah kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadinya suatu kasus atau merupakan keputusan dari Rasulullah ketika memutuskan suatu masalah.

Sejarah eksistensi fiqih melewati berbagai era dan tantangannya sendiri. Ini dimulai di fase Nabi SAW diangkat sebagai utusan terakhir. Era ini dianggap sebagai masa terpenting dalam perkembangan Fiqh karena ini adalah era wahyu. Hukum sebagaimana diturunkan oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya diselesaikan selama masa hidup Nabi. Landasan Fiqh sepanjang sejarah selalu dan akan selalu berkiblat pada teks teks wahyu, yang terdiri dari Quran dan Sunnah. Hanya ada dua sumber hukum atau perundang-undangan; Quran dan Sunnah. Sifat hukum wahyu di Makkah sangat berbeda dengan hukum wahyu di Madinah. Selama periode Makkah, wahyu difokuskan terutama pada prinsip prinsip dan fundamental agama (Ushuluddin) nbaik itu seputar topik tauhid, nubuwwah dan berita hari akhir termasuk surga dan neraka. Ini juga mencakup moral, nilai, dan karakter.

Sifat wahyu berubah setelah Hijrah. Wahyu era Madinah sangat menitikberatkan pada hukum rinci perbuatan manusia. banyak ayat-ayat yang turut mengungkap tentang perkara amaliyah dan muamalah, termasuk seputar topik hukum dan sosial seperti pernikahan juga turun pasca hijrah. Selama fase ini, Nabi juga menjalankan ijtihadnya namun ijtihad Nabi masih dipandang sebagai sebuah wahyu karena segala tindakan nabi dalam hal keyakinan dan agama menjadi tasyri' bagi umatnya.

Kondisi berbeda terjadi pasca wafat Nabi dan era keislaman dipangku oleh khulafaurrasyidin. Selama era ini dua sumber baru Hukum Islam secara alamiah berkembang dan berkembang. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat Muslim, para sahabat menghadapi situasi dan masalah yang tidak mereka hadapi selama masa Nabi saw dan penting bagi mereka untuk menentukan aturan hukum bagi mereka. Para ahli hukum (fuqaha) di antara para sahabat mengambil tanggung jawab untuk menentukan putusan dari masalah dan kejadian baru ini, menggunakan keterampilan nalar mereka dalam terang Al-Qur'an dan Sunnah.

Di era abad ke 2 H, masyarakat semakin maju dan berkembang sehingga menimbulkan banyak persoalan dan kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya yang membutuhkan putusan hukum. Sehingga di fase ini, ada banyak sahabat yang faqih (menguasai hukum) yang dikirim ke berbagai daerah untuk menjadi hakim disana. meningkatnya ruang fiqih dan meluasnya problematika umat mendorong para faqih untuk terus berkompentensi dalam metodelogi ilmu, hingga memicu lahirnya paradigma tradisionalis (ahlul hadits) dan rasionalis (ahlul ra'yi). Ada perbedaan di antara mereka mengenai metodologi sumber dan masalah hukum kasus. Kedua mazhab ini berawal dari pendekatan para sahabat, namun pada masa inilah perbedaan mereka dalam masalah fikih menjadi jelas. Perlahan-lahan, masyarakat mulai mengelompokkan diri atas dasar perbedaan mereka dalam memperoleh aturan hukum dari sumbernya

fase ini mendorong fase selanjutnya dimana krmunculan mazhab fiqih menjadi sebuah realitas di tengah umat. Era ini berlangsung hingga sekitar pertengahan abad ke 4 H. Selama periode ini Fiqh sebagai suatu disiplin mengalami pertumbuhan dan pemurnian yang terbuka dan terus berkembang menjadi disiplin independen. Ini adalah era ahli hukum, para mujtahid kibar yang meletakkan dasar mazhab pemikiran mereka masing-masing. Setiap aliran pemikiran pada kenyataannya adalah metodologi untuk mendekati Al-Quran dan Sunnah dan mengekstraksi aturan darinya. dan fiqih berkembang hingga dewasa ini dan menjadi disiplin ilmu yang independen dan otoritatif.

Dewasa ini fiqih dipahami sebagai sebagai ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Imam Al Ghazali mandang bahwa secara literal bahwa fikih bermakna al- 'ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). Taqiyyuddin al-Nabhani juga menyebut fikih bermakna pemahaman (al-fahm). Ulama lain juga mendefinisikan fikih sebagai berikut: Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis ('amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshili). Maka jelaslah Fikih itu sebagai satu pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan.

kendati bermuara dari syariat, ternyata ada banyak sekali perbedaan antara fiqih dan syariat, sebagaimana berikut :
1) Fiqih merupakan produk pikiran manusia sementara Syariat merupakan produk wahyu yang lansung diturunkan oleh Allah SWT tanpa ada sedikitpun campur tangan manusia.
2) Fiqh itu dinamis dan fleksibel, entitasnya tidak baku dan mungkin berubah ubah sesuai dengan kondisi dan situasi (parsial dan kasuistik) sementara Syariat entitasnya itu mutlak sepanjang zaman (universal)
3) Fiqih membuka ruang perdebatan (debateble) sementara Syariat itu konkrit
4) Fiqih itu berlaku domestik sementara Syariat berlaku hingga akhir zaman
5) Fiqih itu berkembang, artinya perbedaan konteks zaman memungkinkan fiqih untuk berkembang atau berubah sementara Syariat itu stagnan dimana teks wahyu akan selalu sama sepanjang zaman dan tidak mengalami perubahan.

berkaca pada perbedaaan diatas, maka jelaslah antara fikih dan syariat merupakan dua entitas yang sangat jauh berbeda kendati keduanya memiliki keterikatan hubungan dimana fikih merupakan produk ijtihad terhadap syariat atau bagaimana butir butir syariat itu dipahami, maka itu tertuang ke dalam fiqih. Dengan mengetahui ilmu fiqih seorang mukallaf akan dapat mengetahui mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan mana pula yang dilarang untuk mengerjakannya. Dan mana yang haram mana yang halal, mana yang sah mana yang batal, dan mana pula yang fasid. Adapun hasil pembahasan tersebut atau mahmul-nya adalah salah satu dari hukum lima, seperti "perbuatan ini wajib". Kelima hukum tersebut yang dimaksud adalah hukum taklifi berikut; Ijab (wajib), nadb (sunah), tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).

Taqnin Al Ahkam sebagai Penlegislasian Fiqih

Secara etimologis, kata taqnin merupakan bentuk masdar dari qannana, yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara. Taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri') yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai peraturan atau undang-undang, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.

Dalam konteks sekarang, istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.

Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun. Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara' yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan pertentangan yang sengit antara kedua kubu.

Meskipun ulama klasik belum mengenal istilah taqnin karena ia merupakan suatu istilah baru. Akan tetapi, gejala serupa telah ada sejak lama. Alasannya, para hakim berkewajiban mengikuti sesuatu pendapat ketika memutuskan suatu perkara, yang tidak boleh dilanggarnya, sekalipun memiliki ijtihad sendiri. Suatu hukum yang diundang-undangkan akan mewajibkan para hakim untuk memegang ketetapan di dalamnya karena telah menjadi hukum syar'i yang positif dan tidak boleh dilanggar meski mereka memiliki ijtihad sendiri atas masalah yang diatur dalam perundang-undangan itu. Hal ini mengakibatkan para ulama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang membolehkan dan kelompok yang melarang.

Menurut Abu Hanifah, penguasa boleh mewajibkan para hakim untuk memutuskan suatu masalah menggunakan mazhab tertentu. Pendapat ini tidak disetujui oleh kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan. Abu Hanifah berargumentasi bahwa wewenang untuk mengadili dibatasi oleh tempat, waktu, dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim maka jabatan itu dibatasi pada waktu dan tempat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang-undang yang telah disahkan penguasa. Namun pandangan ini ditolak oleh ulama dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, termasuk dinatara Ibn Qudamah yang berpendapat bahwa pandangan itu sudah tidak diperselisihkan. Ibn Taimiyah juga berpendapat sama.

Ada benarnya jika alasan ulama yang tidak setuju dengan taqnin al-ahkam yaitu agar tidak mempersempit pilihan masyarakat dalam berijtihad atau memilih diantara banyak pendapat atas hukum dan syarat suatu perbuatan. Namun hemat penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam sebuah undang-undang tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip pluralisme. Adanya kepastian hukum merupakan sesuatu yang dituntut di era modern ini. Pemerintah berkewajiban menetapkan aturan, sedangkan di sisi lain rakyat wajib menaatinya. Taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan. Ketika hukum Islam dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia bisa ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa, sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain

Dalam berbagai kitab fiqh, kita melihat terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka tetap memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi. Jika memang ada pendapat yang salah, maka kewajiban ulama yang adalah meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara'. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.


KESIMPULAN

Perbedaan pandangan di antara ulama mengenai taqnin al-ahkam timbul karena konsep ini merupakan hal baru yang tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw., Sahabat, dan ulama salaf. Terdapat dua pendapat ulama tentang hal ini, yaitu yang membolehkan dan yang melarang. Kelompok ulama yang memperbolehkan taqnin al-ahkam berpendapat bahwa pembuatan hukum dalam sebuah undang-undang yang berlaku untuk semua individu di suatu wilayah kekuasaan negara adalah hal yang membawa manfaat. Sebagai contoh, keputusan yang dianggap bermanfaat oleh Usman ibn Affan ketika menyusun Al-Quran dalam satu bahasa dan kemudian memusnahkan mushaf yang lainnya. Taqnin al-ahkam menghasilkan kepastian hukum, meskipun pada kenyataannya, hal ini tidak menghentikan upaya ijtihad para hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Sementara itu, ulama yang tidak setuju dengan taqnin al-ahkam menganggapnya sebagai suatu keluaran yang tidak dapat diterima. Mereka berargumentasi bahwa para hakim harus mencari kebenaran dan keadilan melalui ijtihad berdasarkan sumber hukum, yaitu Al-Quran dan Hadis. Kebenaran dan keadilan tidak boleh hanya merujuk pada satu undang-undang karena hal tersebut merupakan hasil ijtihad yang membuka peluang perbedaan dalam penafsiran kebenaran menurut perspektif dan ijtihad ulama atau hakim. Dengan menetapkan suatu hukum fiqh dalam bentuk undang-undang, ini akan memaksa hakim untuk mematuhi aturan tersebut dan mengurangi kesempatan bagi rakyat untuk mengamalkan sesuatu menurut ijtihad mereka. Dalam konteks ini, taqnin al-ahkam dianggap tidak dapat diterima.

Namun, kedua pandangan ini dapat disatukan dengan cara mengevaluasi kelebihan dan kekurangan masing-masing, kemudian merumuskan suatu konsep utuh tentang taqnin al-ahkam. Konsep tersebut harus bisa berubah dan berkembang mengikuti dinamika ruang dan waktu. Proses pengundangan hukum harus melalui ijtihad yang menyeluruh, duduk bersama para ulama untuk mencapai kesepahaman dalam merumuskan kemaslahatan yang memiliki kepastian hukum. Fleksibilitas dalam interpretasi atau ijtihad oleh perumus undang-undang atau para hakim menjadi suatu keharusan untuk memastikan kebenaran dan keadilan yang harus diwujudkan melalui hukum, sebagaimana tujuan hukum itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun