Mohon tunggu...
Nailul Amal
Nailul Amal Mohon Tunggu... Penulis - Islamic Enthusiast

Nulis hanya sebatas moody

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fiqh dan Taqnin Sebuah Legislasi Hukum

18 Desember 2023   13:31 Diperbarui: 18 Desember 2023   13:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara etimologis, kata taqnin merupakan bentuk masdar dari qannana, yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara. Taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri') yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai peraturan atau undang-undang, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.

Dalam konteks sekarang, istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.

Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun. Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara' yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan pertentangan yang sengit antara kedua kubu.

Meskipun ulama klasik belum mengenal istilah taqnin karena ia merupakan suatu istilah baru. Akan tetapi, gejala serupa telah ada sejak lama. Alasannya, para hakim berkewajiban mengikuti sesuatu pendapat ketika memutuskan suatu perkara, yang tidak boleh dilanggarnya, sekalipun memiliki ijtihad sendiri. Suatu hukum yang diundang-undangkan akan mewajibkan para hakim untuk memegang ketetapan di dalamnya karena telah menjadi hukum syar'i yang positif dan tidak boleh dilanggar meski mereka memiliki ijtihad sendiri atas masalah yang diatur dalam perundang-undangan itu. Hal ini mengakibatkan para ulama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang membolehkan dan kelompok yang melarang.

Menurut Abu Hanifah, penguasa boleh mewajibkan para hakim untuk memutuskan suatu masalah menggunakan mazhab tertentu. Pendapat ini tidak disetujui oleh kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan. Abu Hanifah berargumentasi bahwa wewenang untuk mengadili dibatasi oleh tempat, waktu, dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim maka jabatan itu dibatasi pada waktu dan tempat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang-undang yang telah disahkan penguasa. Namun pandangan ini ditolak oleh ulama dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, termasuk dinatara Ibn Qudamah yang berpendapat bahwa pandangan itu sudah tidak diperselisihkan. Ibn Taimiyah juga berpendapat sama.

Ada benarnya jika alasan ulama yang tidak setuju dengan taqnin al-ahkam yaitu agar tidak mempersempit pilihan masyarakat dalam berijtihad atau memilih diantara banyak pendapat atas hukum dan syarat suatu perbuatan. Namun hemat penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam sebuah undang-undang tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip pluralisme. Adanya kepastian hukum merupakan sesuatu yang dituntut di era modern ini. Pemerintah berkewajiban menetapkan aturan, sedangkan di sisi lain rakyat wajib menaatinya. Taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan. Ketika hukum Islam dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia bisa ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa, sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain

Dalam berbagai kitab fiqh, kita melihat terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka tetap memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi. Jika memang ada pendapat yang salah, maka kewajiban ulama yang adalah meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara'. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.


KESIMPULAN

Perbedaan pandangan di antara ulama mengenai taqnin al-ahkam timbul karena konsep ini merupakan hal baru yang tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw., Sahabat, dan ulama salaf. Terdapat dua pendapat ulama tentang hal ini, yaitu yang membolehkan dan yang melarang. Kelompok ulama yang memperbolehkan taqnin al-ahkam berpendapat bahwa pembuatan hukum dalam sebuah undang-undang yang berlaku untuk semua individu di suatu wilayah kekuasaan negara adalah hal yang membawa manfaat. Sebagai contoh, keputusan yang dianggap bermanfaat oleh Usman ibn Affan ketika menyusun Al-Quran dalam satu bahasa dan kemudian memusnahkan mushaf yang lainnya. Taqnin al-ahkam menghasilkan kepastian hukum, meskipun pada kenyataannya, hal ini tidak menghentikan upaya ijtihad para hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Sementara itu, ulama yang tidak setuju dengan taqnin al-ahkam menganggapnya sebagai suatu keluaran yang tidak dapat diterima. Mereka berargumentasi bahwa para hakim harus mencari kebenaran dan keadilan melalui ijtihad berdasarkan sumber hukum, yaitu Al-Quran dan Hadis. Kebenaran dan keadilan tidak boleh hanya merujuk pada satu undang-undang karena hal tersebut merupakan hasil ijtihad yang membuka peluang perbedaan dalam penafsiran kebenaran menurut perspektif dan ijtihad ulama atau hakim. Dengan menetapkan suatu hukum fiqh dalam bentuk undang-undang, ini akan memaksa hakim untuk mematuhi aturan tersebut dan mengurangi kesempatan bagi rakyat untuk mengamalkan sesuatu menurut ijtihad mereka. Dalam konteks ini, taqnin al-ahkam dianggap tidak dapat diterima.

Namun, kedua pandangan ini dapat disatukan dengan cara mengevaluasi kelebihan dan kekurangan masing-masing, kemudian merumuskan suatu konsep utuh tentang taqnin al-ahkam. Konsep tersebut harus bisa berubah dan berkembang mengikuti dinamika ruang dan waktu. Proses pengundangan hukum harus melalui ijtihad yang menyeluruh, duduk bersama para ulama untuk mencapai kesepahaman dalam merumuskan kemaslahatan yang memiliki kepastian hukum. Fleksibilitas dalam interpretasi atau ijtihad oleh perumus undang-undang atau para hakim menjadi suatu keharusan untuk memastikan kebenaran dan keadilan yang harus diwujudkan melalui hukum, sebagaimana tujuan hukum itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun