(Repost Koleksi puisi pribadi, 15 Tahun lalu. Tahun 2008)
Harus kemana lagi ku cari celah-celah bayangmu?
Satu-satu rinduku berguguran
Bagai dedaunan kering di musim gugur
Namun hasratku terbuai tuk memungutinya
Dan merekatkannya kembali
Di atas dahan pohon keabadian
Aku tak tahu apa yang terjadi padaku
Selama ini jiwaku tak tersentuh oleh alam sadarku
Detakan jantungku selalu menjerit-jeritkan namamu
Merasakanmu di setiap lipatan waktu
Mengetuk-ngetuk gerbang istanaku
Wahai engkau dengan segala betapa, ketahuilah!
Saat ini, ku tengah berkarib senyap...
Namun sepi merapuh luruh
Setiap kali terngiang dentingan simphoni klasikmu,
Membelai lembut singgasanaku
Turut membisik,
Mengayun maut.
Sedari sinar mengintip malu-malu
Hingga gelap merayap menerjang malam..
Tak bosan ku larut dalam alam mayapada biru
Bersama nafasmu yang menjejak-jejak
Sisakan lara bermanis madu,
Tiada sesal menghinggap
Ketika masa itu berlalu
Yang ku tahu
Ku tak rela
Jika bayangmu lusuh mengusut
Terarak-arak tak pasti
Terurai sia
Hancur luluh lantak
Layaknya serpihan Hiroshima,
Meski ku tahu bahwa bayangmu hanya fatamorgana
Alunkan gemericik air, yang enggan terjamah olehku
Meski ku sadar, bayangmu hanya sketsa bias siluet senja
Terlukis indah namun sekejap mata
Meski ku mengerti, bayangmu hanya temaram cahaya
Yang kian redup oleh desiran angin kesepian
Akupun tahu bahwa aku tak kan pernah bisa menjadi "Tisbi"mu
Dan kau takkan pernah menjadi "Piramus"ku
Karna adegan romansa itu hanya berlaku di panggung teater asmara.
Sebatas timangan malam, tanpa realita.
Namun, andai saja kau tahu...
Aku begitu menikmati untaian kasih
Yang kurajut bersama sisa wangimu yang tertinggal