Pemerintah telah menetapkan bahwa terdapat 6 vaksin Covid-19 yang akan digunakan di Indonesia. Keputusan tersebut ditekankan oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Kamis (3/12/2020). Hal ini juga tertulis dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 9.860 Tahun 2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corono Virus Disease 2019 (Covid-19).
Berikut merupakan keenam jenis vaksin tersebut:
Vaksin Merah Putih
Menristekdikti mendefinisikan vaksin Merah Putih sebagai vaksin berbasis virus yang bersirkulasi atau bertransmisi di Indonesia. Lalu, bibit vaksinnya juga dihasilkan oleh peneliti Indonesia sendiri. Nama Vaksin Merah Putih sebenarnya tidak merujuk pada satu jenis vaksin saja, melainkan sekelompok kandidat vaksin yang dikembangkan oleh konsorium riset dibawah naungan Kemenristek/BRIN. Di dalam konsorium ini, terdapat 7 lembaga yang turut mengembangkan vaksin Merah Putih, masing-masing dengan platfform yang berbeda. Dari 7 lembaga tersebut, 5 diantara berada di bawah perguruan tinggi. Ketujuh lembaga tersebut antara lain: Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair), Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Produksi vaksin Merah Putih dibutuhkan dalam jumlah besar. Sebab, jika menggunakan rumus herd immunity, maka ada sekitar 180 juta penduduk yang mesti divaksin. Lalu, karena setiap orang membutuhkan dua kali vaksinasi, maka totalnya dibutuhkan minimal 360 juta dosis. Jumlah tersebut akan membesar bila dihadapkan dengan rencana memvaksin seluruh penduduk Indonesia. Setidaknya 540 juta dosis vaksin dibutuhkan pemerintah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Biofarma telah ditunjuk menjadi produsen vaksin. Tetapi, karena dibutuhkan vaksin dalam jumlah besar, Biofarma akan bekerja sama dengan beberapa perusahaan farmasi swasta di Indonesia.
Vaksin AstraZeneca adalah vaksin Covid-19 yang dikembangan oleh perusahaan farmasi asal swedia bernama AstraZeneca, bersama-sama dengan Universitas Oxford. Vaksin AstraZeneca menggunakan pendekatan yang berbeda dengan Pfizer dan Moderna. Vaksin asal Inggris tersebut memakai virus flu biasa yang telah dimodifikasi secara genetik dengan memasukkan gen Virus SARS-CoV-2 — penyebab COVID-19. Di samping itu, harga vaksin AstraZeneca juga dijanjikan akan jauh lebih murah daripada 2 kandidat vaksin virus corona lainnya. Pada saat sekarang ini, vaksin ini sedang dilanda isu-isu tak menyenangkan, diantaranya adalah gangguan produksi, pembekuan darah, dan yang sedang ramai di Indonesia adalah status halal dari vaksin tersebut.Walaupun begitu, vaksin AstraZeneca memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi, yaitu berada di angka diatas 70 persen. Vaksin ini juga dianggap mudah didistribusikan karena tidak perlu disimpan pada suhu yang sangat dingin.
China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm)
Vaksin Sinopharm merupakan vaksin dengan platform inactivated dan butuh dua kali suntikan. Pemberian dosis vaksin Sinopharm memiliki jarak waktu 21 hari dari pemberian dosis pertama. Institut penelitian Sinopharm di Wuhan, China, menyebut vaksinnya memiliki nilai efikasi sampai 72,51 persen dalam uji klinis fase tiga. Pengujian dilakukan di berbagai negara, salah satunya di Uni Emirat Arab sejak tanggal 16 Juli 2020 silam.
Laporan di jurnal JAMA pada 13 Agustus 2020 menyebut efek samping vaksin COVID-19 Sinopharm bersifat ringan. Hal ini diketahui berdasarkan analisis data interim uji klinis fase dua.
"Efek samping yang paling umum adalah nyeri di lokasi penyuntikan, diikuti dengan demam ringan yang sembuh sendiri. Tidak ada efek samping serius yang ditemukan," tulis peneliti seperti dikutip dari jurnal.
Dikutip dari Global Times, Sinopharm diketahui memasang harga 200 yuan untuk satu dosis vaksinnya pada pemerintah China. Ini artinya satu dosis vaksin COVID-19 Sinopharm bisa berharga sekitar 441.000 rupiah.
Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir, mengatakan bahwa Vaksin Sinopharm sedang mengajukan rolling submission ke pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Moderna
Dikutip dari CNN, vaksin yang dikembangkan Moderna memiliki nama resmi mRNA-1273. Produk ini dibuat oleh perusahaan bioteknologi Moderna asal Cambridge, Massachusetts. Pengembangan Moderna dibantu oleh National Institute of Allergy and Infectious Disease. Sedangkan bantuan produksi ditopang oleh Biomedical Advance Research and Development Authority (BARDA), Amerika Serikat.
mRNA-1273 adalah vaksin mRNA untuk pengobatan SARS-CoV-2 yang mengkode stabilisasi perfusi protein Spike (S). Juan Andres (Moderna’s chief technical operations and quality officer) mengatakan “upaya luar biasa” dari semua yang terlibat dimana batch klinis pertama dikirim untuk pengujian dengan “kecepatan” hanya 42 hari setelah urutan genetik virus pertama kali diidentifikasi. Tak lama setelah itu, FDA menerima pengajuan IND (investigational new drug) untuk mRNA-1273 dan NIH (National Institutes of Health) mengumumkan sukarelawan pertama telah diberi dosis dengan kandidat vaksin dalam studi klinis Fase I pada 16 Maret 2020. Berdasarkan uji klinisnya, Moderna disebut memiliki tingkat efektivitas hingga 94,1 persen, dalam waktu minimal 14 hari setelah penyuntikan dosis ke-2.
Pfizer Inc and BioNTech
Vaksin Pfizer dikembangkan oleh perusahaan Amerika Serikat yang bekerjasama dengan perusahaan Jerman, BioNTech. Vaksin pfizer menggunakan teknologi rekayasa genetika yang bertujuan melihat genom RNA virus. Vaksin Pfizer dinamakan BNT162b2 dan berbasis teknologi messenger RNA (nRNA). Vaksin ini Menggunakan gen sintetis yang lebih mudah diciptakan, sehingga bisa diproduksi lebih cepat dibanding teknologi biasa. Virus yang tidak aktif ini tidak menyebabkan sakit tetapi mengajari sistem imun untuk memberikan respons perlawanan. Selain itu, dengan mRNA, tubuh tidak disuntik virus mati maupun dilemahkan, melainkan disuntik kode genetik dari virus tersebut. Hasilnya, tubuh akan memproduksi protein yang merangsang respons imun.
Perlindungan atau antibodi yang didapat tercapai setelah 28 hari dimulainya vaksinasi dan 7 hari usai menerima dosis kedua. Saat studi berlanjut persentase kemanjuran vaksin akhir bisa bervariasi, seperti dilansir situs resmi Pfizer. Namun dikutip dari Businessinsider, analisis ini belum menguji apakah vaksin tersebut juga mencegah infeksi asimtomatis atau tanpa gejala. Partisipan dites hanya ketika bergejala. Rencananya Pfizer akan meminta izin penggunaan vaksin darurat vaksin COVID-19 yang dikembangkannya pada Badan Pengawas Obat dan Makanan AS. Permohonan itu akan dilakukan segera, setelah sukarelawan vaksinasi COVID-19 dipantau selama dua bulan dari penyuntikan dosis kedua vaksin tersebut.
Sinovac Biotech Ltd
Vaksin Sinovac adalah vaksin berjenis inactivated vaccine atau virus mati. Secara singkat inactivated vaccine adalah vaksin menggunakan versi lemah atau inaktivasi dari virus untuk memancing respons imun. Vaksin inactivated memerlukan beberapa dosis dari waktu ke waktu untuk mendapatkan imunitas berkelanjutan terhadap penyakit. Materi yang digunakan dalam vaksin Sinovac adalah virus SARS-COV2 yang sudah dinonaktifkan. Pembuatan vaksinasi dari virus yang telah dinonaktifkan, telah digunakan selama lebih dari satu abad. Jonas Salk menggunakannya untuk membuat vaksin polio di tahun 1950-an dan materi ini juga menjadi dasar untuk pembuatan vaksin lain seperti rabies dan hepatitis A.
Secara umum, vaksin bekerja dengan merangsang pembentukan kekebalan tubuh. Manfaatnya, apabila terpapar, seseorang akan bisa terhindar dari penularan ataupun sakit berat akibat penyakit tersebut. Karena virus SARS-COV2 pada vaksin Sinovac sudah mati, vaksin bisa disuntikkan ke manusia tanpa menyebabkan COVID-19. Begitu masuk ke dalam tubuh, virus yang tidak aktif tersebut akan ‘dicerna’ oleh antigen. Antigen adalah zat yang dapat merangsang sistem imunitas tubuh untuk menghasilkan antibodi sebagai bentuk perlawanan. Protein virus kemudian memicu aktivasi sel T pembantu, yang kemudian mengarahkan sel imun lainnya untuk membentuk antibodi. Jadi, ketika ada virus Corona yang masuk ke tubuh, tubuh sudah siap melawannya.
Efikasi vaksin Sinovac adalah 65 persen yang memiliki dua pengertian. Pertama, vaksin Sinovac dapat mengurangi risiko sebesar 65 persen untuk terjadinya COVID-19 bergejala pada orang yang sudah divaksin Sinovac, dibandingkan dengan orang yang belum divaksin. Kedua, vaksin ini juga dapat menurunkan kasus COVID-19 bergejala sebesar 65 persen dari jumlah kasus yang diperkirakan akan terjadi bila tidak diberikan vaksin Sinovac. Efikasi vaksin 65 persen juga berarti orang yang divaksin memiliki risiko 2,86 kali lebih rendah untuk mengalami COVID-19 bergejala dibandingkan yang tidak divaksin.
Setelah melalui tiga tahap pengujian klinis, vaksin Sinovac diketahui aman digunakan. Meski demikian, efek samping yang ringan bisa dirasakan, seperti nyeri pada bekas suntikan. Efek samping seperti demam dan nyeri otot juga bisa terjadi, namun pada umumnya ringan dan bersifat sementara. Efek samping juga tidak berarti akan muncul pada setiap orang, karena kondisi tubuh setiap orang berbeda. Melalui tahapan pengembangan dan pengujian vaksin yang lengkap, efek samping yang berat dapat terlebih dahulu terdeteksi sehingga dapat dievaluasi lebih lanjut. Namun perlu diingat, manfaat vaksin jauh lebih besar dibandingkan risiko sakit karena terinfeksi bila tidak divaksin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H