Mohon tunggu...
Nailal Fahmi
Nailal Fahmi Mohon Tunggu... -

100 % Indonesian, 100% Moslem | Books: Mutiara (2017), Menulis Cinta dan Keyakinan (2015), Di Bawah Bendera Sarung (2014), Mencari Jalan Pulang (2014), Selangkah Menuju Surga (2013) Mata-mata (2012), Pintar Bahasa Inggris (2012), Badung Kesarung (2009)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ki Hadjar, Hakikat Pendidikan dan Merancang Jalan Kebahagiaan

18 Februari 2019   18:37 Diperbarui: 18 Februari 2019   18:45 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus juga dipahami bahwa mendidik adalah merancang masa depan, tentang menyiapkan generasi baru, maka tanggungjawab melakukan itu bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah. Itulah mengapa edukasi pendidikan kepada orang tua menjadi penting. Saya selalu menyarankan kepada kawan-kawan yang mengurusi sekolah untuk bisa memberikan edukasi pendidikan kepada orang tua murid. Sehingga kondisi guru dan orang tua murid menjadi selaras. 

Memang sulit mengubah paradigma pendidikan masa lalu yang usang. Prinsip dalam memberi hukuman contohnya, seringkali tidak menjadikan anak insaf. Saya pernah menemui beberapa guru dan orang tua yang melupakan prinsip dasarnya. Satu dari tiga syarat hukuman yang perlu dipegang adalah ia harus selaras dengan kesalahannya. 

Jika anak datang terlambat, maka hukumannya adalah pulang lebih lama. Bukan malah hukuman yang tidak ada kaitannya, seperti mempermalukan di depan siswa lain, membersihkan kelas (yang memang merupakan kewajibannya) atau menulis "aku tidak akan datang terlambat" sebanyak seribu kali. Itu siksaan yang mengakibatkan anak merasa tidak dicintai. 

Bahkan Ki Hadjar percaya bahwa dalam pendidikan modern, pendidikan yang merdeka, hukuman dan ganjaran harus dihilangkan atau sebisa mungkin dihindari. Agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan karena mengharap ganjaran atau takut pada hukuman ---sekali lagi saya menyarankan untuk membaca Ki Hadjar.

Hakikat pendidikan yang sebenarnya bukanlah membentuk, tapi menumbuhkan. Jika kita membayangkan anak-anak adalah benih tanaman, maka ketika masih menjadi benih tentu belum terlihat batang, akar, daun atau hal-hal lain yang bisa dilihat pada tanaman. Sehebat apapun biji, tidak akan memperlihatkan seluruh komponen tanaman. Nanti ketika sudah tumbuh berkembang barulah terlihat. Kadangkala kita melihat dan memperlakukan benih seperti kita melihat dan memperlakukan tanaman yang sudah besar. Kita menginginkan benih ini mempunya semuanya seperti tanaman. Kita ingin melihat anak-anak mempunyai hal-hal yang belum kelihatan.

Benih yang baik memerlukan lahan yang subur dan iklim yang sesuai. Rekayasa untuk membuat lingkungan baik untuk tumbuhnya anak didik itulah lahan pendidikan, baik di sekolah, di rumah dan lingkungan. Ki Hadjar mengibaratkan pendidik itu seperti petani, petani hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. 

Ia dapat mengemburkan dan membuat tanah subur untuk tanaman, namun walaupun begitu ia tidak dapat mengganti kodrat tanaman padi. Misalnya ia tidak bisa menjadikan padi tumbuh seperti jagung, ia juga tidak bisa memeliharanya seperti memelihara tanaman kedelai. 

Petani harus takluk pada kodrat padi. Ia dapat memperbaiki keadaannya, membuatnya menjadi tanaman yang lebih bagus daripada tanaman yang tidak dipelihara, tapi tetap tidak mengganti kodrat tanaman tersebut. Begitulah seharusnya pendidikan itu. 

Tentu kita tidak bisa semata-mata mencontoh Finlandia hanya dari segi sedikitnya jam belajar, menghilangkan PR dan Ujian Nasional. Ada hal yang lebih mendasar yang menjadikan sistem pendidikan di sana berhasil; kemandirian guru yang besar, proses belajar yang berbasis siswa dan sistem penilaian dengan tujuan mengembangkan kompetensi siswa. Jangan dilupakan juga bahwa kemandirian, saling percaya dan motivasi untuk mencapai kompetensi adalah budaya yang sudah mengakar di Finlandia, itulah fondasi yang menjadikan sistem pendidikan di sana sukses. Itulah juga yang dibahas oleh Ki Hadjar, keterkaitan sistem pendidikan dengan budaya dan karakteristik bangsa. 

Asas pendidikan yang mendasar seperti itu mesti dihayati oleh pendidik. Saya pribadi dan istri memilih homeschooling salah satunya karena kami melihat banyak prinsip-prinsip yang diusung oleh Ki Hadjar tidak dilakukan. Saya tidak menyalahkan sistem pendidikan yang ada, karena arah pendidikan di Indonesia menurut saya sudah tepat. Hanya dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk menuju ke ideal, dan kami merasa tidak punya waktu selama itu untuk menunggu. 

Pertanyaan selanjurnya adalah apakah dengan menjadi praktisi homeschooling, mengetahui beberapa teknik dan teori pendidikan, kami menjadi orang tua yang ideal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun