Seburuk-buruknya sangka pikirku
ialah sebaik-baiknya pitutur
yang lazimnya sebabkan
kerut hati bagai cucur
Meluruhnya tahta ini
datangnyalah dari tak mampunya kuasa diri
tiada lagi peduli
walau baiduri hati sudah dikebiri
Teruntuk aku
malam yang menanti mentari
Tidak lagi dirasa panasnya usai pagi
kelewat tiada sempat mengelap kilap
hanya semakin membirahi menunggu senja berdikari
mengampu desah bersepoi bawa kiat kilat jalannya matahari
Memangu lelap
walau tiada sempat badan bergaun
tetaplah tegap prasangkakan ayu nan anggun
Untukku
suguh lintang bakal berlalu
kelam malam makin terkukuh
Teruntukmu yang tak berhati
namun nyawa jelas kau punyai
terkhususnya salam dariku untukmu
kutau tuli bukan yang sedang menghinggapi pendengarmu
Lagi, teruntukmu
Berdikari aku ini yang berpemilik hati
tiadakah lagi dara penyampai rindu diri?
Punahkah merpati pemakan roti?
terlagi lumpuhkah celetuk beo yang tak berpemilik hobi
tak bisingkan diri?
Samar
Teruntukku yang tak berpemilik usut asa kala kemarin
Istirahatkan diri lalu berefleksi yang tergambar pada imajinasi
ingin sekali tak lagi penuhi benak hati
dengan tanya prasangka diri tentangmu yang tuli hati
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H