Secara sederhana dan dalam pemahaman awam, suatu harga melonjak tinggi karena adanya permintaan (demand) yang meningkat, sementara itu persediaan (supply) terbatas jumlahnya.Â
Hukum klasik ekonomi inilah yang secara rutin selalu saja terjadi setiap tahun sejalan dengan dilangsungkannya ritual suci agama, dengan sedemikian cermat, pihak pedagang maupun produsen sengaja menerapkan taktik tertentu untuk merangsang masyarakat agar selalu melakukan pembelian.Â
Lihatlah bagaimana pesta pemotongan harga seakanakan sengaja digelar untuk menyembuhkan dahaga masyarakat yang sedemikian tinggi untuk terus membeli dan memborong barang tanpa henti.
Masyarakat akan mudah terpesona dengan iming-iming yang ditawarkan pedagang yang seolah-olah berbaik hati dengan menjalankan praktik diskon harga. Padahal, kalau dilihat lihat, itu semua tidak lebih sebagai strategi untuk menggiring konsumen terkuras uangnya, apalagi menjelang pembagian uang THR (Tunjangan Hari Raya).
Lebih tegas lagi, di mana pun tempatnya dan apa pun motifnya, dunia perdagangan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, dan ternyata konsumsi yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya sebatas dilakukan pada jenis- jenis barang yang habis sekali pakai, seperti berbagai jenis makanan dan minuman.Â
Masyarakat juga ingin mengonsumsi dua entitas pasar sekaligus, yaitu mengonsumsi produk yang menawarkan rasa kenyang, nikmat, dan penampilan menarik.Â
Di sinilah terjadi kepuasan tubuh secara simultan melalui praktik berbelanja. Lebih tepatnya dapat diungkapkan bahwa tubuh juga menjadi arena perjuangan berkembangnya perdagangan komoditas (tubuh merupakan tempat pertarungan komoditas). Jadi, begitulah asal-usul dari THR, kalau kalian sudah dapat THR belum???.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H