Sejenak aku memandangi wajah syifa, tampak sebuah ketulusan yang ada dalam matanya, aku tersentuh melihatnya. Aku pun sendiri bingung ingin bercerita seperti apa dan dari mana pada syifa. Rasa khawatir, rasa kesal, rasa takut yang saat ini kualami sungguh membuatku dilema, hingga membuatku tak tahu harus bercerita bagaimana bahkan dengan sahabat karibku yang selalu menjadi tempat keluh kesahku.Â
Aku sendiri pun heran, mengapa saat ini lidahku terasa amat berat saat ingin curhat pada syifa tentang masalah ini.
" kamu rindu nggak sih, sama masa -- masa kecil kita? " tanyaku
" kalau dibilang rindu, pasti itu nai, cuma yang namanya hidup itu kan harus berjalan, kita harus bisa mengambil hikmah dari kenangan masa lalu tersebut, nih kamu minum dulu agar perasaanmu agak sedikit tenang " ucapnya sambil menyodorkan botol minumannya.
Aku pun mengangguk sambil mengambil minuman dari genggaman tangan syifa dan meminumnya. Agak sedikit lega perasaanku saat syifa datang dan menemaniku, disaat aku tengah sendirian duduk di bawah pohon sore -- sore.Â
Meskipun dia belum tau persis permasalahanku saat ini, tapi aku yakin syifa adalah obat dari semua rasa gelisahku, syifa selalu bisa menenangkan perasaanku, yang sesuai dengan arti namanya syifa " obat / penyembuh".
" aku cuman takut dan khawatir aja, menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang kita bayangkan dulu ya syif , nggak bisa sebebas dulu, nggak terlalu banyak yang dipikirin, semenyeramkan itu, aku jadi kangen masa -- masa kecil kita " dengan nada suara yang serak, aku mencoba untuk menguatkan diri sendiri  untuk curhat ke syifa.
" kaila, menjadi dewasa itu memanglah tidak mudah, tapi juga tidak semenyeramkan apa yang kamu pikir kok, waktu kan terus berputar, dan kamu juga harus mulai bisa menerimanya, dengan hati yang ikhlas, sambil berdoa kepada tuhan agar hatimu dilapangkan, bahunya juga dikuatkan, dan yang paling penting kuncinya adalah sabar dan ikhlas " jelasnya
Hingga tak sadar, air mataku jatuh dengan  sendirinya. Tak kuasa aku menahannya, sekuat apapun aku ingin membendungnya, air mata ini jatuh juga. Syifa yang sedari tadi duduk di sampingku tersadar bahwa aku telah menangis. Perasaan was -- was, takut, gelisah,  itu muncul kembali. Sejenak aku berpikir kapan aku bisa kuat dan keluar dari rasa ini, tapi di sisi lain aku juga yakin sambil berharap bahwa semua akan baik -- baik saja atas takdir tuhan.
" Nangis aja kai, kalau memang itu yang bisa membuatmu tenang, aku bakal tetap di sini sambil menemani kamu " ucapnya
" Aku cuma mau bilang ke kamu, makasih ya selalu ada di sampingku, selalu mengerti perasaan dan keadaanku, aku bersyukur banget punya sahabat sepertimu " ucapku sambil mengusap air mataku, mencoba kuat di depan syifa, agar dia juga tidak terlalu merasa khawatir.