Sebagian besar masyarakat Islam Indonesia khususnya di Pulau Jawa merayakan tradisi syawalan yang dikenal dengan istilah "Kupatan". Kupatan umumnya dilaksanakan pada 8 Syawal dalam satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi tersebut berawal dari salah satu tokoh Wali Songo yaitu Sunan Kalijaga atau Raden Mas Sahid. Kupatan ini dijadikan sebagai media untuk menyiarkan ajaran agama Islam di Jawa yang meyakini kesakralan ketupat pada waktu itu.
  Dalam bahasa Jawa, arti ketupat atau kupat merupakan kepanjangan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku Lepat mempunyai makna mengakui kesalahan. Ngaku Lepat dapat diwujudkan dengan prosesi sungkeman yang berupa memohon ampunan dihadapan orang tua. Ngaku Lepat juga dapat diimplementasikan dengan permintaan maaf kepada kerabat atau tetangga, serta saling mengakui kesalahan satu sama lain.
  Sedangkan Laku Papat memiliki arti empat tindakan, diantarannya: lebaran, luberan, leburan, laburan. Pertama lebaran, artinya menandakan  kita telah menyelesaikan puasa selama satu bulan penuh. Kedua luberan, artinya meluap atau melimpahkan rezeki untuk saling berbagi  kepada yang berhak menerima. Ketiga leburan, artinya melebur dosa dan saling maaf dan memberi maaf. Keempat laburan, artinya bersih atau suci dengan begitu diharapkan agar manusia selalu menjaga perilaku serta tidak mengotori hatinya. Â
   Kupat berbentuk segi empat yang melambangkan empat jenis nafsu duniawi, yaitu al amarah (nafsu emosional), al lawwamah (nafsu untuk memuaskan rasa lapar), supiah (nafsu untuk mempunyai sesuatu yang indah), dan mutmainah (keinginan untuk memaksa diri). Sementara itu, ketupat memiliki berbagai filosofi tersendiri, di mulai dari anyaman ketupat, isi ketupat, hingga lauk.
  Anyaman ketupat mempunyai bentuk yang sangat rumit, begitu pun dengan lika liku kehidupan manusia yang tidak lepas dari kesalahan. Kemudian ketupat berisi beras lalu dikemas menggunakan janur atau daun kelapa muda lentur sebagai tolak bala (tolak bahaya) yang melambangkan kebersamaan dan kemakmuran. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menggantungkan kupat di depan rumahnya sebagai tawasul untuk menghindari mara bahaya. Ketupat biasanya dipadukan dengan bahan yang berupa santan, seperti opor ayam, gulai, dan rendang.
  Ketupat bagi masyarakat Jawa melambangkan ampunan apabila ketika seseorang mengunjungi sanak saudara, mereka mempersembahkan ketupat dan meminta untuk dimakan. Ketika ketupat dimakan, otomatis pintu ampunan terbuka dan segala kesalahan serta kekeliruan terhapus. Makanan tidak hanya untuk mengenyangkan perut dalam sebuah budaya. Tetapi terdapat beberapa filosofi di balik makanan yang sangat bermakna. Ketupat juga memiliki filosofi yang menyimbolkan budaya dan tradisi Nusantara.
  Ketupat juga terdapat di negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Sementara itu, Filipina juga memiliki makanan yang hampir sama dengan ketupat, namun dengan bentuk anyaman yang tidak sama. Cara mengonsumsi ketupat di  Indonesia tergolong unik, karena terdiri dari berbagai suku dan budaya yang mempengaruhi kebiasaan makan dari semua wilayah negara Indonesia.
  Kupatan diperingati sebagai ungkapan rasa syukur bagi umat Islam, yang telah melaksanakan puasa Syawal setelah puasa Ramadhan. Selain itu, tujuan kupatan dapat diartikan sebagai simbol kebersamaan dan kasih sayang. Tradisi kupatan mempunyai nilai filosofi yang diwariskan pada masa penyebaran Islam Nusantara di Pulau Jawa. Untuk mengingat keakraban masyarakat Muslim di Indonesia melalui tradisi kupatan, kearifan lokal ini juga penting untuk dilestarikan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
  Salah satu cara melestarikannya adalah dengan terus melakukan kupatan untuk menanamkan nilai -- nilai filosofi bagi generasi muda. Dengan dilaksanakannya tradisi kupatan, diharapkan agar dikenal tidak hanya sekedar perayaan belaka, namun juga sebagai Warisan Islam Indonesia yang penuh makna dan nilai yang mendalam.
  Selain ketupat, hidangan khas lebaran lain juga terdapat beberapa filosofi, antara lain sebagai berikut: