Garut selain terkenal dengan kebudayaannya, juga terkenal dengan pariwisatanya. Tapi terdapat juga pariwisata yang bernuansa budaya dan sejarah. Salah satunya, pemukiman Kampung Pulo di kecamatan Cangkuang.
Dikutip dari laman blog disparbud.Jabarpro "namaCangkuang sendiri berasal dari nama sebuah pohon yang bernama cangkuang (Pandanus Furcatus) yang banyak terdapat di sekitar makam Mbah Dalem Arif Muhammad." Konon menurut cerita masyarakat setempat, Mbah Dalem dan rombongannya membendung aerah ini sehingga terbentuklah sebuah Danau atau Situ yang dinamakan Situ Cangkuang.
Kampung Pulo ini kaya akan Sejarah. Berawal pada awal abad ke-17 Mbah Dalem Arif Muhammad yang utusan kerajaan Mataram untuk menyerang VOC di Batavia, tetapi gagal.
Karena malu, Mbah Dalem dan rombongan memutuskan menetap di kawasan Cangkuang yang masih memeluk kepercayaan animisme, dinamisme, dan Hindu.
Mereka beribadah dengan mengunjungi Candi Cangkuang yang berada di seberang, melewati danau atau yang disebut Situ dengan Rarakitan. Kini bentuk Rarakitan telah mengalami perubahan dengan aksen diatasnya terdapat bentuk rumah.
Mbah Dalem pun menikahi seorang gadis setempat dan menyebarkan Islam. Sehingga banyak masyarakatnya yang memeluk Islam, namun adat istiadat mereka tidak hilang semuanya.
Mbah Dalem mempunyai 6 orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Ia mewariskan 6 bangunan rumah untuk 6 anak perempuannya dan 1 Mushala untuk anak laki-laki.
Menurut Tatang (seorang ketua adat) "Ihwal jumlah bangunan berupa enam rumah dan satu Mushola merupakan aturan yang ditetapkan Arif Muhammad. Embah meninggalkan warisan berupa barang antik, khotbah Idul Fitri, naskah khotbah jum'at dari kulit kambing (1,76cm 23cm), Al-Qur'an dari kayu saih (33cm 24cm), serta kitab ilmu tauhid dan ilmu fikih. Sampai sekarang semua masih terawat meski ada yang lapuk dimakan usia."
Mushola sendiri Mbah Dalem jadikan titisan putranya yang meninggal. Di kampung Pulo sendiri terdapat pantangan-pantangan yang pamali jika dilanggar, seperti melakukan  kegiatan menerima tamu, ataupun berziarah. Karena hari rabu dianggap hari sial, sebab putra bungsu Mbah Dalem dan beberapa penduduk meninggal bertepatan hari pada hari rabu; tidak boleh menambuh Gong, ini juga masih berkaitan dengan putra bungsu Mbah dalem yang ketika hendak dikhitan di arak terdahulu mengelilingi kampung namun, terjadi tornado hingga jatuh dan meninggal; dan setiap 14 Maulud ada satu adat yang paling terkenal, yaitu memandikan benda pusaka yang dianggap akan mendatangkan berkah.
Ada juga beberapa kebiasaan yang telah berubah karena makin berkembangnya kemajuan Islam.
Larangan memelihara hewan berkaki empat yang disebabkan karena Mbah Dalem tidak menyukai hewan berkaki empat atau yang memakan dedaunan kecuali kucing; bentuk atap yang cenderung memanjang dan lonjong pun kini telah mengalami perubahan menjadi seperti halnya rumah biasa.