Mohon tunggu...
Naila AkyasaFR
Naila AkyasaFR Mohon Tunggu... Lainnya - Bismillah

hai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampung Pulo Pariwisata Bernuansa Budaya dan Sejarah

29 Agustus 2020   16:45 Diperbarui: 29 Agustus 2020   16:42 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Garut selain terkenal dengan kebudayaannya, juga terkenal dengan pariwisatanya. Tapi terdapat juga pariwisata yang bernuansa budaya dan sejarah. Salah satunya, pemukiman Kampung Pulo di kecamatan Cangkuang.

Dikutip dari laman blog disparbud.Jabarpro "namaCangkuang sendiri berasal dari nama sebuah pohon yang bernama cangkuang (Pandanus Furcatus) yang banyak terdapat di sekitar makam Mbah Dalem Arif Muhammad." Konon menurut cerita masyarakat setempat, Mbah Dalem dan rombongannya membendung aerah ini sehingga terbentuklah sebuah Danau atau Situ yang dinamakan Situ Cangkuang.

Kampung Pulo ini kaya akan Sejarah. Berawal pada awal abad ke-17 Mbah Dalem Arif Muhammad yang utusan kerajaan Mataram untuk menyerang VOC di Batavia, tetapi gagal.

Karena malu, Mbah Dalem dan rombongan memutuskan menetap di kawasan Cangkuang yang masih memeluk kepercayaan animisme, dinamisme, dan Hindu.

Mereka beribadah dengan mengunjungi Candi Cangkuang yang berada di seberang, melewati danau atau yang disebut Situ dengan Rarakitan. Kini bentuk Rarakitan telah mengalami perubahan dengan aksen diatasnya terdapat bentuk rumah.

Mbah Dalem pun menikahi seorang gadis setempat dan menyebarkan Islam. Sehingga banyak masyarakatnya yang memeluk Islam, namun adat istiadat mereka tidak hilang semuanya.

Mbah Dalem mempunyai 6 orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Ia mewariskan 6 bangunan rumah untuk 6 anak perempuannya dan 1 Mushala untuk anak laki-laki.

Menurut Tatang (seorang ketua adat) "Ihwal jumlah bangunan berupa enam rumah dan satu Mushola merupakan aturan yang ditetapkan Arif Muhammad. Embah meninggalkan warisan berupa barang antik, khotbah Idul Fitri, naskah khotbah jum'at dari kulit kambing (1,76cm 23cm), Al-Qur'an dari kayu saih (33cm 24cm), serta kitab ilmu tauhid dan ilmu fikih. Sampai sekarang semua masih terawat meski ada yang lapuk dimakan usia."

Mushola sendiri Mbah Dalem jadikan titisan putranya yang meninggal. Di kampung Pulo sendiri terdapat pantangan-pantangan yang pamali jika dilanggar, seperti melakukan  kegiatan menerima tamu, ataupun berziarah. Karena hari rabu dianggap hari sial, sebab putra bungsu Mbah Dalem dan beberapa penduduk meninggal bertepatan hari pada hari rabu; tidak boleh menambuh Gong, ini juga masih berkaitan dengan putra bungsu Mbah dalem yang ketika hendak dikhitan di arak terdahulu mengelilingi kampung namun, terjadi tornado hingga jatuh dan meninggal; dan setiap 14 Maulud ada satu adat yang paling terkenal, yaitu memandikan benda pusaka yang dianggap akan mendatangkan berkah.

Ada juga beberapa kebiasaan yang telah berubah karena makin berkembangnya kemajuan Islam.

Larangan memelihara hewan berkaki empat yang disebabkan karena Mbah Dalem tidak menyukai hewan berkaki empat atau yang memakan dedaunan kecuali kucing; bentuk atap yang cenderung memanjang dan lonjong pun kini telah mengalami perubahan menjadi seperti halnya rumah biasa.

Berbeda dengan ziarah pada umumnya, ziarah masyarakat kampung Pulo mesti menyalakan bara api, kemenyan, cerutu, dan juga tidak lupa menyiapkan bunga.

Kepercayaan-kepercayaan yang melekat pada masyarakat kampung Pulo hingga kini masih tetap dijalankan.

Jumlah rumah di kampung Pulo tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Rumah adalah warisan bagi anak perempuan, bagi anak laki-laki tidak diperbolehkan bermukim di kampung Pulo, setelah menikah 2 minggu mesti meninggalkan kampung Pulo tersebut.

Kampung Pulo ini masih sama halnya dengan pemukiman lain. Hanya yang membedakan adalah adat istiadat yang masih begitu melekat dan aturan adat yang tetap dijaga.

Meskipun dalam beberapa ritual sudah terjadi perubahan. Adat istiadat yang memiliki keunikan selalu dipelihara dan dijaga, serta dilaksanakan oleh masyarakat kampung Pulo. Karena menurut keyakinan masyarakat akan menimbulkan malapetaka atau kejadian yang dahsyat apabila melanggar pantangan atau pamali tersebut.

Pemukimannya yang asri dan juga sejuk ini, memikat wisatawan baik lokal maupun manca negara. Berwisata ke Kampung Pulo ini cukup menyiapkan Rp. 3.000-Rp. 5.000, dalam sebulan wisatawan yang berkunjung berkisar sekitar 300 orang. Sebelum memasuki kampung Pulo kita disuguhi pedagang yang menjajakan berbagai macam pernak pernik baik kesenian Garut ataupun miniatur Candi Cangkuang.

Budaya unik yang dilestarikan seperti ini adalah salah satu pelestarian budaya dan adat istiadat. Dengan dijadikannya sektor pariwisata selain mendapat keuntungan untuk daerah, pariwisata bernuansa budaya dan sejarah ini juga dapat mengembangkan minat kaum muda untuk lebih mencintai dan menggali sejarah dan budaya lokal dibanding budaya dan pariwisata dari negeri orang.

Padahal di Indonesia ini, lebih khususnya daerah Jawa Barat sendiri terdapat ribuan tempat pariwisata berbagai jenis bidang mulai dari sejarah, budaya, sains, alam, dan hiburan yang lebih menarik dari wisata negeri orang.

(Sumber: http://www.disparbud.jabarprov.go.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun