Mohon tunggu...
Ahmad Nahrowi
Ahmad Nahrowi Mohon Tunggu... Jurnalis - Santri, Proletar

Pegiat Jurnalisme Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalau Saja

22 Februari 2020   09:31 Diperbarui: 22 Februari 2020   09:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dulu aku pernah berfikir, bahwa setelah lulus SMA dengan ijazah yang di dalamnya terdapat nilai-nilai memukau, akan tidak mungkin bila banyak perguruan tinggi yang menolakku. Namun ternyata aku salah, buktinya aku bukan apa-apa sekarang. Aku hanya buruh di pabrik kretek di kotaku. Namun mengapa tidak di perguruan tinggi? Mengapa di pabrik kretek?

Akan aku ceritakan pada kalian bagaimana aku bisa tidak diterima di perguruan tinggi. Ini sebuah cerita yang memilukan, yang aku harap kalian tidak akan pernah melakukan ataupun merasakannya.

Namaku Galang Danuarta, aku dari keluarga sederhana yang benar-benar sederhana. Awalnya aku ini anak kebanggaan di keluarga ketimbang dua saudaraku yang lain. Namun setelah peristiwa memalukan itu, aku benar-benar kehilangan semua. Termasuk diriku sendiri!

"Mari kita sambut siswa teladan dan terbaik dari SMA Citrasari. Firzanadla Bhanu Akhya." Suara speaker itu terdengar dari setiap ujung sekolahku ini. Aku yang tengah berada di kerumunan siswa-siswa lain terdiam, ini bukan pertama kalinya bagiku. Semua orang bersorak, mengibarkan papan bertuliskan namaku. Aku melangkah pelan menuju atas panggung. Rasanya memang tetap sama, namun kali ini ada sedikit ketidak yakinan di hatiku. Sesuatu yang membuatku gelisah.

"Selamat ya Za, Kamu mendapatkannya lagi." kata kepala sekolahku sembari memberikan aku sebuah piala besar dan amplop berwana putih. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Suara riuh piuh siswa yang tak semuanya aku kenali ini mengganggu telingaku, mereka mengucapkan selamat, menjabat tanganku, memelukku, tersenyum, semua itu membuatku terkesan!

Sesampai di rumah, aku menemui kedua orangtuaku, juga kedua saudaraku yang lain. Mereka pula sama, memelukku satu persatu, mengucapkan selamat, dan lainnya. Bukan perayaan yang seperti ini yang aku mau.

"Kamu memang anak kebanggaan Bapak!" bapak merangkulku sembari mengatakan hal itu. Lalu disusul ibu dan juga saudara-saudaraku. Aku hanya tersenyum dan perlahan melangkah menuju ruang tidurku. Aku rebahkan tubuhku layu, entah perasaan apa di hatiku ini, semuanya mengusikku, membuatku tidak tenang, seperti akan terjadi sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa aku jawab. Hingga tanpa kusadari perlahan kedua mataku terpejam.

Maret 2012

Setelah mengutarakan keinginanku kepada kedua oranagtuaku tentang keinginanku untuk kuliah, dan mereka menyetejuinya. Aku mulai mendaftar ke beberapa perguruan tinggi menggunakan nilaiku, atau bisa dikatakan mencari beasiswa prestasi. Ada sekitar lima perguruan tinggi yang menjadi targetku. Dan semua adalah perguruan tinggi terfavorit di kotaku.

Dan dimana ujian nasional hanya tinggal tiga hari. Aku belum punya persiapan apapun. Materi mata pelajaran ujian nasional benar-benar belum aku kuasai sepenuhnya. Aku bahkan belum bisa percaya bahwa ujian nasional hanya tinggal menghitung hari. Aku sedang memikirkan sesuatu. Namun aku tak tahu apa itu!

Di hari ini, dimana hanya tertinggal satu hari untukku sebelum menempuh ujian nasional. Aku belum mampu menemukan jawaban tentang sesuatu yang menusikku selama ini. Banyak pertanyaan yang sangat mengusikku. Hingga membuatku malas untuk sekedar menyentuh buku-buku materi ujian nasionalku besok. Aku hanya peduli tentang cara menemukan jawaban untuk menjawab pertanyaan dalam hatiku. Yang aku tak tahu apa itu.

Dan di hari ini adalah waktunya. Aku melangkah pelan menyusuri koridor sekolah. Dalam benakku saat ini, yang terfikirkan adalah caraku untuk 

menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hatiku. Pernyataan yang aku sendiri tak tahu apa itu. Aku memasuki ruangan yang menjadi tempatku mengerjakan soal-soal ujian nasional. Setelah tiga puluh menit, dua orang pengawas memasuki ruanganku dan mulai membagikan soal. 

Aku masih tetap tenang, aku hanya terus diam tanpa melakukan sesuatu, termasuk menulis namaku di lempir jawaban. Setelah satu jam berlangsung, aku masih tetap sama saja. Sekarang hanya tinggal tiga puluh menit. Dan lempiran kertas jawabannku masih saja kosong. Aku terlalu malas untuk sekedar membaca soal-soal di hadapanku, terlebih menggoreskan setitik tinta di kertas jawabaknu ini.

Sekarang adalah waktu untuk mengumpulkan kertas jawaban soal ujian nasional. Salah seorang pengawas meminta kami untuk meninggalkan kelas lebih dulu. Dan aku meninggalkan kelas tanpa memikirkan bagaimana nasib lembaran jawabanku itu.

Hari ini adalah hari terakhirku mengikuti ujian nasional. Setelah sarapan aku menuju sekolah. Aku tak mempedulikan bagaimana buruknya hari-hariku yang telah aku lewati dengan sangat lelah. Yang terpenting adalah aku dapat mnemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku ini, pertanyaan yang membuatku gekisah beberapa minggu dan memaksaku harus menemukann jawaban itu secepatnya.

Soal ujian nasional kali ini sama saja, membosankan! Lebih mengesankan pertanyaan dalam hatiku. Pertanyaan yang tak mampu aku jawab hingga sekarang. 

Aku juga masih belum ingin menyentuh soal-soal dalam lempiran di hadapanku ini. Aku masih tetap memikiran cara untuk menemukan jawaban bagi pertanyaan dalam hatiku itu. Hingga waktu berakhir aku masih saja sama, tak menoleh kearah lempiran soal maupun jawabannya. Hingga akhirnya aku berpisah dengannya.

Dan saat ini, aku disini bersama kedua orangtuaku. Kami mneunggu hasil ujian yang satu bulan lalu aku tempuh. Di halaman sekolah aku melihat raut wajah bapakku biasa-biasa saja, tidak seperti bapak siswa-siswa yang lain. Hingga seorang mempersilahkan kepala sekolahku untuk membacakan pengumuman hasil dari ujian kemaren.

"Ada yang benar-benar membuat Saya bangga juga kecewa dengan hasil ujian nasional kali ini. Ada 4 siswa yang dinyatakan tidak bisa lulus SMA. Dengan sangat menyesal mereka adalah Heru Sahputra kelas XII B- IPS, Luqman Hakim kelas XII F- IPS, Raden Satryo kelas XII C-Bahasa, dan yang terakhir adalah, Firzanadla Bhanu kelas XII A-IPA." 

Sejenak suasana hening, aku masih belum tahu maksudnya apa, hinga aku melihat mata bapak dan ibuku berderai air mata. Aku kini kembali menjadi pusat perhatian banyak orang, bukan lagi karena aku mendapat predikat siswa berprestasi atau prestasi yang lain, namun karena aku si siswa berprestasi yang tidak bisa lulus ujian nasional. Aku menatap kearah banyak orang, mereka membalas tatapaku ragu. Ada raut tak percaya disana.

Sekarang di halaman sekolah ini tak lagi seramai hari sekolahku biasanya. Aku menatap ke arah gedung sekolah, sebuah papan besar bertulisakan "SMA Cendekia" terpapar disana. Aku ragu untuk megucap, aku ragu untuk mendengar saat ini. Hingga lalu tiba-tiba saja ada sebuah ilham di fikiranku. Sebuah jawaban yang sekarang dapat aku temukan. Jawaban dari pertanyaan dihatiku, jawaban yang mnegusikku selama berbulan-bulan. Ya, jawaban itu yang aku harapkan. Dan itu adalah

"Karena terlalu fokus dengan satu hal, Aku harus kehilangan banyak hal yang telah Aku miliki!"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun