Namun pertanyaannya, mengapa mereka bisa berfikir sependek itu? Sejarah agama memang menjelaskan bahwa, manusia selalu mencari jawaban atas segala sesuatu, namun tidak selamanya mereka mendapatkan jawabannya. Ketika mereka menghadapi kebuntuan, maka jawaban dogmatis lah yang dipilih. Apakah mereka salah? Tentu tidak sepenuhnya salah.Â
Dahulu kala bangsa yunani percaya bahwa hujan dan petir adalah pemberian Dewa Thor melalui palu saktinya. Ketika musim kering, mereka kebingungan mengapa dewa mereka tidak menolong mereka yang menyebabkan gagal panen. Upaya mereka mencari jawaban pun menuju ke pemikiran bahwa Palu Thor sedang dicuri, dan Thor sedang bertarung dengan sang pencuri palu. Selama pertarungan Thor itu, sang dewa tidak bisa memberikan hujan. Kemudian kemenangan diraih oleh Thor dan dia mendapatkan palunya kembali. Hujan pun turun dan warga pun bahagia.
Jaman sekarang, apabila ada yang masih berfikir seperti itu pun akan ditertawakan, karena sudah ada penjelasan kenapa hujan tidak turun di musim kemarau.
Manusia cenderung berfikir sederhana atau bahkan menjadi malas.Â
Ocham's Razor, sebuah filosofi yang dikemukakan oleh Willian of Ocham yang menyatakan bahwa, apabila ada dua penjelasan atau lebih untuk suatu kejadian, maka pilihlah penjelasan yang paling sederhana. Apabila kamu mendengan suara manusia walaupun tidak ada orangnya, dan saat itu ada pilihan penjelasan yaitu : 1) suara dari speaker sekolah, atau 2) suara hantu. Secara naluriah, manusia akan berfikir dengan alasan nomor satu.
Namun apa benar manusia berfikir seperti itu karena sifat naluriahnya? Merujuk ke paragraf pertama di artikel ini, justru kita pun digiring untuk menganut Ocham Razor.Â
Sifat kritis manusia telah mati karena dogma, dan dimatikan oleh orang - orang yang menganut dogma.
Mungkinkah kita bisa naik kelas dari fase tersebut?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H