Mohon tunggu...
Nahla Fauza
Nahla Fauza Mohon Tunggu... -

Perempuan berpena

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

My Love for My Life

22 September 2012   06:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

It's Me

“K

riiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinngggggggggg”.

Nyanyian jam wekerku dipagi hari itu memaksaku tuk membuka mata. Namun sayangnya hanya tanganku yang mampu meraba-raba untuk maraih jam yang sudah merusak mimpi indahku itu.

“Dasar jam sialan!!!! gak tau orang lagi seru ya mimpinya? Ganggu aja.”kataku sambil menarik kembali selimutku untuk kembali mengarungi dunia mimpiku. Tapi ternyata hal itu tak bisa terlaksana karena sebuah suara yang amat sangat ku kenal berteriak-teriak depan kamarku.

“Non.....Non Anes......sudah jam 7 Non.....!!!!!!!!”

“Whaaaaaaaaattttttt????????”, sontak ku terbangun, “Jam 7?GILA!!!!!!!!gue kan kuliah jam 8. mampus deh!” gerutuku seraya turun dari atas tempat tidur bersprei biru langit dengan gambar fairy kesayanganku.

Bergegas ku meraih handuk dan masuk kedalam kamar mandi karena hari ini aku sama sekali gak berniat menantang Pak Ghufron yang super duper killer itu dengan datang terlambat pagi ini. Aku menyelesaikan ritual mandiku hanya dalam 15 menit saja. Keajaiban buatku. Yah, meski tidak bisa berlama-lama dikamar mandi tapi yang penting aku harus sesegara mungkin siap-siap karena perjalanan dari rimah ke kampusku butuh waktu setengah jam alias 30 menit dengan mobil. Tapi itu belum ditambah kata MACET. “Oh, Gosh!! hari ini aku akan terlihat kacau dengan dandanan terburu-buruku. Sial!!!”, umpatku dalam hati.

Aku bergegas turun menuju meja makan setelah selesai menguncir rambutku asal-asalan. Bagiku ini adalah penampilan terburuk untuk masuk kampusku. Aku mencomot selapis roti dengan selai nanas kesukaanku sambil berteriak....

“Mang Asep,panasin mobil donk!!! Udahhampir telat nih!”

“Oyi Non!!!” sahut mang Asep dengan sentuhan bahasa gaya malangannya.

“Bi Minah, Bunda sama Ayah kemana?”tanyaku saat Bi Minah menyiapkan susu coklatku.

“Tuan kan gak pulang Non, kalo Nyonya ke salon katanya”

“Lha? Kemana Ayah? Trus ngapain Bunda ke salon pagi-pagi?”

“Tuan mungkin ke luar kota seperti biasa, kalo Nyonya katanya mau ke resepsi pernikahan tamennya jam 9, jadi ke salonnya pagi-pagi banget”, jelas Bi Minah panjang lebar.

“Mesti gitu. Bikin males di rumah aja!! Ya udah Bi, Anes berangkat ya.”, Pamitku sedikit jengkel.

5 menit kemudian mobil Avanza silver milikku memecah jalan raya menuju kampusku.

■■■

Namaku adalah Anesta Wijaya. Anak tunggal dari seorang pengusaha ternama di kota Malang. Ibuku juga bukan ibu rumah tangga yang doyan dirumah, tapi dia adalah seorang pemilik butik yang sukses. Jadi pasti bisa dibayangkan bukan bagaimana mewahnya kehidupanku. Anak tunggal dari pasangan yang kaya raya. Bahkan mungkin banyak orang yang berpikir bahwa kehidupanku sangat penuh dengan kasih sayang orang tua. Maklum anak sematawayang. Tapi sebenarnya semua anggapan itu salah. Aku memang hidup dalam kemewahan, tak pernah ada keinginanku yang terlewatkan. Tapi soal kasih sayang, aku adalah anak paling miskin di dunia (itu yang ada dalam benakku selama ini). Orang tuaku yang pengusaha dua-duanya begitu sibuk dengan dunianya masing-masing. Ayahku selalu pergi keluar kota dan ibuku selalu ribet dengan arisan ibu-ibu yang gila fashion. Dan akhirnya aku yang harus menelan rasa kesepian.

Keluar dari nasib burukku yang memiliki orang tua super sibuk itu, aku cukup beruntung dalam pergaulan. Aku punya banyak teman dikampusku juga teman-teman sejak masih memakai putih abu-abu dulu. Merekalah yang selama ini setia menemaniku ketika kesepian yang menyelimuti hari-hariku.

Lalu, untuk masalah fisik. Aku bukan orang yang beruntung dalam hal tinggi badan sebab aku adalah cewek dengan tinggi badan yang paling rendah di antara teman-temanku. Tapi untuk wajah tunggu dulu. Aku termasuk cewek imut berkulit putih yang menarik. Buktinya saja jumlah cowok yang mengantri untuk jadi cowokku gak cuma satu atau dua orang,hehe....bangga juga. Tapi sayangnya sampai sekarang gelarku masih “JOMBLO” alias gak punya cowok. Kalau ditanya kenapa? Yah mungkin aku yang sulit jatuh cinta. Atau terlalu banyak kriteria. Mungkin yang kedua lebih tepat sebagai jawaban.

Aku memang pemilih untuk masalah pacar. Bukan karena aku sok jual mahal, tapi aku gak mau salah pilih aja. Aku tipe orang yang gak main-main dalam hal cinta. Dan tenyata cowok-cowok yang selama ini mendekatiku sama sekali gak menunjukan keseriusannya. Itulah kenapa aku betah menjomblo hingga sekarang.

Ops, hampir lupa. Aku sekarang baru 19 tahun dan sedang kuliah semester III jurusan Manajemen di sebuah kampus swasta di Malang. Sebenarnya aku adalah orang Bandung, tapi karena orang tuaku punya bisnis di Malang jadi aku sudah 15 tahun ada di bumi Arema ini.

Apa lagi ya? Ehm, aku orang cukup feminin tapi cuek dengan keadaan sekitar. Bukan karena aku tidak punya jiwa sosial dan solidaritas sesama manusia, tapi aku pikir hidupku saja sudah bertumpuk dengan segudang masalah jadi aku tidak perlu memikirkan masalah orang lain. Ngomong-ngomong soal masalah, aku memang orang yang banyak memiliki problem hidup. Salah satu yang paling seraing membelitku adalah masalah keluarga. Keluargaku memang jarang bertemu atau bahkan berkumpul. Semua serba individualis. Inilah yang membuatku tak pernah betah dirumah. Aku juga mungkin bisa dibilang tumbuh menjadi cewek yang sedikit badung karena masalah ini. Sering pulang malam, belanja gila-gilaan, bolos kuliah dan masih banyak lagi kenakalan yang terjadi hanya karena kurangnya perhatian orang tuaku. Tapi dari semua itu aku cuma berharap aku tidak menjadi remaja yang tersangkut pada masalah narkoba atau pergaulan bebas, karena aku gak mau masa mudaku yang sudah amburadul tambah rusak dengan semua itu.

Sekarang masalah agama. Ini yang paling membuatku bingung. Kedua orang tua berKTP Islam. Aku pun juga begitu. Tapi aku gak pernah tau apa itu agama Islam. Sholat saja aku hanya sekedar tau tanpa mengerti. Itupun bukan dari orang tuaku, tapi dari teman-teman yang Islamnya pun masih alakadarnya. Sampai sekarang aku masih merasakan kekosongan karena masalah ini. Tapi aku tak pernah punya keinginan untuk mengisinya. Aku pikir bila sudah waktunya semua akan terjadi.

■■■

Aku sampai dikampus jam 08.05. “Gawat!!!”,batinku. Aku segera menaiki tangga menuju lantai dua untuk menuju kelasku. Seperti dugaanku, pak Ghafur, dosen yang terkenal sebagai The Vampire Teacher sudah mulai ceramah akbarnya.

“Tok...tok...tok...”, aku mengetuk intu pelan.

“Silahkan tunggu diluar!!”, perintahnya padaku dengan nada yang cukup garing. Sama sekali gak rengah.

“Baik, Pak!”

Aku menunggu didepan pintu kelas sambil bersandar. “Alamat kena semprot gue!” kataku mengumpat dalam hati.

Dan benar saja, beberapa menit kemudian Pak Ghafur keluar ari kelas dan menatapku dengan tajam. Aku hanya mampu tertunduk lesu sambil membayangkan apa yang akan dia katakan.

“Siapa nama saudara?”, katanya dingin.

“Anesta, Pak.”

“Hhmm, Anesta Wijaya? Benar?”

“Waduh, nih orang tau darimana lagi nama lengkap gue? Jangan-jangan udah di incar lagi gara-gara gue asal-asalan ngerjain tugasnya kemaren....aduh....mati gue.....”,batinku.

“Anesta? Benarkan anda Anesta Wijaya putri sematawayang dari bapak Agus Kusuma Wijaya?”, katanya menyadarkanku dari lamunan.

“I....iy...iya Pak. Maaf Pak, anda tau darimana ya nama lengkap saya plus nama ayah saya?”,tanyaku hati-hati.

“Hahaha....nanti saudara juga akan tahu. Sekarang jelaskan kenapa anda terlambat pagi ini!!!”, perintahnya tanpa menghiraukan keingintahuanku.

“Maaf Pak, tadi saya terlambat bangun karena tadi malam saya lembur untuk engerjakan tugas dari Pak Waluyo.”, kataku sedikit beralasan.

“Oh, benar begitu?”, tanya Pak Ghufron sedikit ragu.

“Benar Pak.”

“Baiklah kalo begitu, silahkan masuk. Tapi ini yang terakhir kali anda terlambat pada mata kuliah saya.”

“Baik Pak.”, kataku lega, “untung dia gak nyinggung tugasku kemaren”, batinku. Tapi ternyata....

“Oia, satu lagi. Saya minta anda mengerjakan ulang tugas yang minggu lalu saya berikan pada anda. Saya lihat anda kurang maksimal dalam mengerjakannya. Mengerti?”

“Ba...baik Pak.”, sahutku gugup. “Ah, gue pikir dia udah lupa. Alamat kerja lembur lagi ntar malem nih.”, keluhku.

■■■

“Ok. Sekian kuliah kita kita kali ini. Selamt siang!!!”, Pak Ghafur menutup kuliahnya hari ini. Ah, Lega juga akhirnya 3 jam yang melelahkan bersama Pak Ghafur itu selesai. Rasanya sudah seperti di oven di dalam kelas itu. Apalagi Malang sudah tak sedingin dulu. Jadi bisa dibayangkan kan betapa panasnya????

“Nes, ke kantin yuk?”, ajak Shafira. Dia teman baikku sejak semester satu. Dia anak seorang anggota DPR-D Malang yang nasibnya gak jauh beda sama aku. Alias kurang perhatian. Mungkin karena itu juga kami jadi dekat. Kami senasib.

“Ok, tapi anterin gue ke toilet dulu ya Ra.”

“He'em”.

Aku dan Fira (begitu panggilan akrabku pada Shafira) berjalan di koridor menuju kantin setelah lebih dulu menata penampilanku yang tadi acak-acakan di toilet. Saat berjalan tiba-tiba Shafira menyenggol lenganku.

“Kenapa?”, tanyaku heran. Fira tak menyahut pertanyaanku tapi memandang seseorang yang sedang berjalan menuju ke arah kami.

“Duh, kenapa ada dia sih? Males deh. Gimana dong Fir?”,kataku sedikit panik. Orang yang dari tadi menjadi sumber kepanikanku sekarang sudah tepat berdiri dihadapanku. Menatapku mesra, eh, mesra apa seram ya?

“Nes, gue mau ngomong sama lo.”, katanya datar dan sumpah deh garing banget.

“Ngomong ja langsung.”

“Gue gak bisa ngomong disini Nes”.

“Ok. Disini atau gak usah ngomong sekalian”.

“Nes, please. Gak usah kayak anak kecil.”

“What?helllllo!!!!! Siapa ya yang kayak anak kecil”, kataku sedikit jengkel.

“Ini penting Nes”.

“Ok kalo lo gak jadi ngomong gue mau ke kantin. Laper!”, kataku sambil ngeloyor tak memperdulikannya lagi.

Dia itu (yang barusan ngomong ma aku) Dendi. Cowok yang beberapa hari lalu aku tolak cintanya. Dendi sebenernya baik, ganteng, tinggi, jago olahraga, pengertian dan tajir. Tapi ada satu yang bikin aku ilfil berat ma dia. Dia itu manja abis. Uh, aku benci anak manja. Aku aja yang anak tunggal jarang diperhatiin ma orang tuaku. Masak seorang Dendi yang notabene anak pertama dari tiga bersaudara itu manja banget ma mamanya. “hih, amit-amit deh punya cowok kayak gitu”.

“Nes, kok Dendi ditinggal sih? Kasian tau!”, kata Fira saat kami hampir sampai di kantin kampus.

“Males Fir. Tadi kan udah gue kasih dia kesempatan buat ngomong, tapi dianya aja yang kelamaan. Jadi bukan salah gue dong”, kataku membela diri.

“Dasar!!!”, kata Fira sambil menggelangkan kepalanya menyadari cueknya aku pada makhluk Tuhan yang bernama cowok.

Sampai dikantin hidungku tergoda pada aroma nasi goreng dari stan nasi goreng yang berada paling pojok di dekat stan penjualan aneka juice. Fira sendiri lebih memilih untuk memesan cwie mie kesukaannya. Kami memesan juice alpukat sebelum akhirnya sibuk mencari-cari tempat duduk yang nyaman untuk kami singgahi. Fira mengajakku menuju sebuah tempat duduk didekat stan mie ayam. Jadilah kami menyantap makanan kami berdua. Berdua? Sepertinya tidak................!!!!!!



Siapa Sih Lo???

“H

ai…..!!!!!”

Aku dan Fira saling berpandangan melihat cewek yang tiba-tiba ngeloyor duduk dimeja kami sambil membawa semangkok mie ayam dan juice wortelnya.

“Boleh ikut duduk disini kan? Yang lain dah pada penuh nih?”, katanya dengan WWTB alias wajah-wajah tak berdosa. Reflek aku dan Fira mengedarkan pandangan ke seantero kantin. Ternyata memang kantin udah penuh dengan mahasiswa yang kelaparan.

“Boleh ya?”, Tanya Elsa kembali.

“Oh, tentu!!!” jawab Fira sok legowo. Padahal aku yakin dalam otaknya mengatakan seperti yang aku katakana, “TIDAAAAAAAAAAAAK!!!!!”. Bukan apa-apa sih, Elsa Sukma Wulandari alias Elsa itu bukan orang yang enak buat di ajak ngobrol soalnya dia itu masuk kategori orang-orang yang TELMI. Tapi sayangnya dia itu kelewat baik plus ramah, jadi semua orang yang mau nolak dia jadi super duper sungkan. Oia, satu lagi. Dia itu adalah ratu GOSIP kampus yang selalu hobi ngomongin orang.

“Ehm, kalian tahu gak kalo di jurusan kita bakal ada penghuni baru?”

“Tuh kan mulai lagi penyakitnya……pfiuh……”, batinku sambil menatap Fira.

“Katanya sih dia bakal ditempatin di kelas lo-lo pada. Kan kela lo Cuma 23 orang, jadi maih bisa nampung deh.”, lanjutnya lagi.

“Kok lo bisa tau El?”, Tanya Fira.

“Ada aja deh. Pokoknya kalian pasti bakal suka sama dia, soalnya dia itu cakep.”, wajah Elsa berseri-seri.

“Oh, cowok to? Pindahan ya?” tanyaku ikutan nimbrung dalam pembicaraan yang sebenarnya gak terlalu menarik.

“Katanya sih dari Bandung.” Jawab Elsa.

“Ow, kita mau kedatengan orang USA Fir,hahaha….”, celetukku sedikit bercanda.

“Lho kok USA, Bandung Nes….Sunda….”, kata Elsa gak nyambung dengan guyonanku.

“Maksudnya USA tuh Urang Sunda Asli El….hehehe”, kata Fira menjelaskan.

“Owh, bilang dong kalo pakek sinkatan baru, kan biar gue gak kelihatan bego.hehe…”. kata Elsa yang cuma ditanggapi tawa tertahan olehku dan Fira.

“Elunya aja yang cupu jadi gak ngerti istilah gaul, hehe…..”, batinku geli.

▪▪▪

Siang itu begitu panas. Seolah matahari ingin memanggang daging-daging yang hidup di bumi ini. Keringatku menetes meninggalkan peluh basah dikeningku. Padahal AC sudah menyala di ruang kelas yang saat ini aku tempati bersama 22 orang mahasiswa lainnya. Aku melihat Pak Karim juga kepanasan saat menjelaskan tentang materi Manajemen Penbankan yang cukup rumit itu. Disaat lamunan yang semakin menjadi itu datang Pak Hambali, Ketua Jurusan Manajemen yang terkenal berwibawa dan ramah itu. Beliau datang dengan seorang cowok berperawakan tinggi sekitar 180 cm, putih, rambut hitam, hidung yang gak mancung tapi juga gak pesek serta dengan mata hitam yang tajam. “Cakep dan cool. Tapi siapa dia?”, batinku kagum.

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Pak Karim, Pak Hambali menghadap barisan mahasiswa dan kemudian berbicara dengan cukup lantang.

“Selamat siang saudara-saudara! Hari ini kita kedatangan teman baru di jurusan Manjemen. Dia mahasiswa trans dari Bandung.” Kata Pak Hambali memperkenalkan cowok itu. “Nah, silahkan perkenlkan diri kamu secara singkat kepada teman-teman barumu.”, kata pak Hambali yang disambut dengan senyuman lembut oleh cowok itu.

“Baik. Selamat siang semuanya. Nama saya Bayu Yudha Esa Putra. Cukup dipanggil Bayu. Saya pindahan dari Bandung. Dan sekarang saya pindah ke Malang karena Ayah saya dipindah tugaskan disini. Terima kasih.”, singkat dan lugas cowok itu memperkenalkan diri. “kayaknya nih anak ramah. Tapi biasanya cowok kan emang ramah di kesan awal.” Pikiranku mulai berprasangka.

“Nah, Bayu. Silahkan duduk. Kamu bisa langsung ikut mata kuliah Pak Karim.”, kata Pak Hambali sebelum meninggalkan kelas.

“Terima kasih Pak.”

Cowok bernama Bayu itu duduk di depan tempat duduk Fira. Aku memandangnya saat duduk. Wajahnya terlihat tenang. Aku melirik ke arah Fira. Dia juga sedang memandangi Bayu. Tapi yang aku rasa pandangan Fira itu lebih pada kata “tertarik”. Aku rasa sahabatku ini sedang jatuh cinta. Tapi biarlah, toh kalo memang iya, Bayu bukanlah pilihan yang buruk. Aku rasa.

▪▪▪

Waktu yang bergulir

Tak terasa tkah ku dekap

Tiga percintaan kisah di hidupku

Lelah ku menilai

Sangat menyesak di dada

Bagai dua sisi

Kulihat berbeda didirimu

Jika detak jantungku berhenti

Hilang semua cemas hati

Dalam hati biru ku bertanya

Jika dapat aku memilih

Cinta mana yang ku pegang

Jauh jika ku gapai hatimu

Lagu Tiga Cinta dari Melly Goeslow mengalun lembut dalam mobilku yang kini meluncur menuju MATOS alias Malang Town Square. Aku dan Fira memang sering kesana ketika jenuh pada suasana kuliah yang cuma begitu saja. Kadang kami juga pergi ke kafe-kafe yang viewnya cukup bagus untuk dinikmati.

“Gak kebayang ya Nes kalo kita ada dalam kondisi mesti milih satu di antara tiga cinta kayak lagu ini.”, Fira tiba-tiba mulai membuka suara.

“Ya gak lah.”, aku mengulum senyum, “Gak pengen ngebayangin disuruh pacaran ma satu cowok. Apalagi mesti milih satu di antara tiga cowok. Ngaco deh.”, seringaiku sambil tetap konsentrasi pada setir mobilku.

“Elu sih gitu Nes. Jangan-jangan gak normal lagi. Hih, amit-amit deh. Hehehe…”

“Enak aja lu ngtain gue gak normal. Lu kan juga lama gak punya cowok. Jadi gak usah pake menghina ye Non….”, kataku gak mau kalah.

“Habis elu juga Nes yang mesti ngeles kalo ngomongin cowok. Pasti alasannya gak ada yang asik lah, gak ada yang seru lah, gak yang apa lah. Ada aja alasannya.”

“Ya emang kenyataannya gitu Fir. Mereka itu kebanyakan bikin garing suasana. Gak ada yang sreg di sini.”, sergahku sambil menunjuk dadaku sendiri untuk meyakinkan Fira.

“Bukannya gak ada yang sreg. Lu nya aja yang gak mau buka hati buat tuh cowok-cowok.”, kata Fira menyadarkanku. Mungkin memang benar. Aku terbiasa menganggap setiap cowok yang mendekatiku sebagai angin lalu dan gak pernah member mereka kesempatan untuk sekedar saling mngenal denganku.

“Lu inget si Andi kan? Dia tu sebenarnya udah cinta mati ama lu Nes. Tapi malah lu tolakmentah-mentah gitu. Kasian kan. Terus juga si Aziz. Dia kan orangnya baik banget ama lu. Tapi lu cuma bilang udah keburu enak jadi temen ama dia. Terakhir si Dendi yang ampek sekarang masih getol gitu ngedeketin elu. Mereka kan masih masuk golongan cowok yang ok di kampus kita Nes.”, Fira sedikit geregetan menasihatiku.

“Fir…Fir…udahlah. Namanya juga gak sreg. Masa’ mau dipaksain. Kan malah gak enak entarnya.”, kataku mengakhiri pembicaraan yang menurutku konyol ini saat mulai memasuki pelataran perkir MATOS.

“Elu mesti gitu kalo dibilangin.”, kata Fira akhirnya. Aku hanya menyahut dengan senyuman dan mengangkat bahuku.

Lima menit setelah itu kami sudah menginjakkan kaki ke dalam mal yang baru beberapa tahun dibangun itu. Suasana cukup lenggang karena hari ini memang hari rabo. Aku dan Fira berjalan menuju escalator ke lantai dua. Kami akan menuju ke toko buku disana. Fira penggemar berat buku dan setiap minggu dia pasti akan membeli setidaknya dua buku baru. Apapun jenis bukunya asal dia suka pasti akan dia beli. Aku sendiri memang suka membaca tapi tidak sampai semaniak itu. Aku pun biasanya cuma betah berlama-lama jika mataku menelusuri huruf-huruf dalam novel atau komik. Selain itu, mungin belum sampai satu jam aku sudah K.O terlebih dulu.

Saat kami masuk ke dalamtoko buku itu, Fira tanpa di komando langsung menuju ke bagian buku-buku psikology, dan aku pun menuju deretan novel terbaru. Beberapa menit mengitari rak-rak berisi novel, belum ada satu judul pun yang menarik buatku. Akhirnya aku putuskan untuk turun ke lantai bawah toko buku itu. Di sana terdapat beberapa perlengkapan seperti tas sekolah, dompet, alat tulis, buku tulis dan agenda serta beberapa aksesoris lucu untuk hiasan ruangan. Di bagian depan dekat dengan pintu masuk toko terpajang berbagai macam VCD dan kaset lagu serta film. Dan yang lebih lengkap lagi ada alat-alat music seperti orgen, gitar, biola dan drum kecil yang melengkapi toko itu. Cukup lengkap kan?

Aku melihat-lihat tas dan dompet. Ada beberapa dompet yang berkesan lucu tapi sporty yang menarik. Dompet itu berwarna biru dan putih. Ada gambar teddy bear kecil di bagian depan. Harganya pun tidak terlalu mahal bagiku, hanya Rp. 79.000,-. Aku ambil dompet itu dan beralih ke tempat VCD dan kaset di bagian depan. Aku berniat untuk mencari film terbaru. Aku memang hoby menonton baik di bioskop, TV maupun VCD atau DVD.

Aku sedang melihat-lihat film seri korea saat pandanganku terusik oleh seseorang yang lewat di depan toko buku dengan membawa tas ransel dan berkaos orange dan merah yang biasa di paki pegawai foodcourt. “Kok kayak si Bayu ya?”, batinku menebak-nebak. Pandanganku mengikuti sosok itu hingga menghilang melewati toko. Awalnya aku cukup penasaran dengan orang yang baru saja lewat itu, tapi kemudian aku berkata pada diriku sendiri, “Ah, bodo! Mau Bayu atau siapa aja kan gak ada urusannya ma gue”.

Aku mengambil sebuah VCD film korea berjudul Personal Taste lalu segera meminta nota pada petugas di lantai satu lalu bergegas kembali ke lantai dua. Aku mengedarkan pandanganku ke ruangan di lantai dua itu mencari-cari Fira. Ku lihat dia sedang berkutat di deretran novel-novel Indonesia. Ku gerakkan kakiku bergantian menghampirinya.

“Tumben lu nyari novel Indo, biasanya nyari buku-buku professor,hehe….”, kataku menggoda Fira yang memang tumben-tumbenan ada di rak novel Indonesia. Dia memang lebih tertarik pada buku psikology, sastra ataupun buku-buku karya orang-orang yang terkenal di dunia. Kalaupun dia membaca novel, dia pasti akan memilih novel barat atau novel-novel terjemahan.

“Ya pengen aja Nes, mumpung lagi sempet baca jadi beli sekalian aja.”

“Eh, lu mau beli semua ini? Yang bener aja?”, kataku setelah menyadari Fira telah membawa tiga buku yang tebaknya masing-masing sekitar 3-5 cm itu.

“Nih buku udah dari dua minggu gue cari-cari. Mumpung ada ya sekalian aja dibeli.” Kata Fira enteng. “Lu sendiri Cuma mau beli itu?”, Tanya Fira yang melihat aku membawa dompet dan VCD.

“Ehm, mau nyari novel juga deh buat hiburan di rumah”, kataku sembari memilih-milih teenlit. Setelah Fira mendapat novel karangan Mira W. dan aku mendapat novel karya Jusra Chandra, kami pun menuju kasir dan beranjak menuju lantai tiga untuk mengisi peut kami yang sedari tadi telah konser untuk minta diisi. Kami berjalan menuju foodcourt yang berada di dekat escalator turun.

“Lu mau makan apa Nes?”

“Kayaknya gue pengen makan seafood deh. Lu?”

“Sama deh.”

Kami segera berjalan menuju stan seafood di foodcourt itu. Aku memandangi menu-menu seafood yang ada di daftar menu. Dan saat itu…..

“Mau pesan ap………….”

“Loh? Bayu kan?”, Fira mengenali pelayan yang baru saja menanyakan pesanan kami. Pelayan itu tersenyum.

“Kalian teman sekelas gue ya?”, Tanya Bayu sedikit ragu.

“Iya. Wah, ternyata lu kerja disini Bay?”, Tanya Fira sedikit exited dan menurutku terkesan lebay. Soalnya dia kelihatan berbinar-binar banget.

“Iya”. Lagi-lagi dia menjawab dengan tersenyum. Manis. “Oya, mau pesen apa?” Tanya Bayu lagi.

“Gue mau udan goreng saus tiram deh sama es jeruk ya.”

“Gue sama deh.”

“Ngikut aja lu!!!”

“Biarin dong!”, kata Fira sambil menjulurkan lidahnya. “Oia Bay, kita tadi dikelas belum sempet kenalan ya. Gue Shafira tapi panggil aja Fira, yang ini sahabat Gue Anes, Anesta Wijaya.”, aku lihat raut muka Bayu berubah mendengar namaku. Tapi mungkin Cuma perasaanku saja. Yang jelas aku heran kenapa Fira terlihat agresif ama cowok ini. Gak kayk biasanya. “Kok Fira jadi aneh gini sih? Jangan-jangan nih anak naksir beneran lagi ma si Bayu?”, batinku menebak-nebak.

“Oya, salam kenal ya. Semuanya Rp. 47.500,-, ini nomor mejanya. Silahkan tunggu.” Katanya mengakhiri percakapan. Maklum masih jam kerja.

“Ayo Fir, tuh ada meja yang kosong.”, ajakku pada Fira yang terlihar sedikit merengut kecewa karena tak bisa berlama-lama ngobrol dengan Bayu mungkin.

Kami duduk tak jauh dari stan seafood tempat kami memesan makanan tadi. Fira tak sedikitpun melepas pandangan dari stan itu.

“Lu kenapa sih Fir?”

“Kenapa apanya?”

“Lu aneh. Naksir Lu ya ama si Bayu?”

“Gak tahu deh, hehe…..”

“Ye…. Di tanya malah cengengesan lagi.”

“Dia ganteng ya?”

“Ya iya lah orang dia cowok, kalo dia cantik bisa takut gue.”, kataku sedikit bercanda. Fira merengut mendengar celotehku.

“Kok tadi dia kayak gak mau di ajak ngomong gitu ya Nes?”

“Fir, dia kan lagi kerja masa’ mau ngladenin lu ngobrol terus, bisa dipeat dia ntar.”

“Bener juga ya?hehe……”

Beberapa saat kemudian Bayu datang membawa pesanan kami. Dia tersenyum dan berkata….

“Dua udang goreng saus tiram dan dua orange juice. Silahkan!!”

“Makasih ya, Bay.” Kata Fira agak genit. Dia menyenggolku dan melirik kearah Bayu.

“Oh ya, makasih ya.” Kataku pada Bayu. Bayu lalu kembali ke stan tempat dia bekerja dan aku segera menyantap udang goreng yang baunya begitu menggoda ini.

“Aduh Nes, dia manis banget.”, ujar Fira terkagum-kagum pada makhluk Tuhan yang baru aja mengantarkan pesanan kami.

“Iya, apalagi orange juice yang dia bawa. Sumpah deh, muannieesss banget,hehehe….”, kataku sambil menyeruput seperempat gelas Orange juiceku.

▪▪▪

Pukul 16.30 WIB

“Fir,pulang yuk. Dah sore nih.” Ajakku.

“Iya deh, yuk. Tapi si Bayu kemana ya? Perasaan tadi masih ada deh.”

“Jadi dari tadi lu tuh merhatiin si Bayu ya?”

“Ho’oh. Hehehe…..”

“Pantes aja makannya lama. Ya udah cepetan. Udah sore banget nih.”, kataku tak sabar.

Kami bejalan menuju pelataran parkir tempat mobilku bernaung. Namun saat melewati jaln menuju toilet dan mushola, kami berpapasan dengan Bayu yang membawa sarung dan peci ditangannya. Dia tersenyum saat melihat kami.

“Mau pulang ya? Gak sekalian sholat disini aja?” tanya Bayu polos.

“Oh…eh….anu….” Fira terlihat bingung menjawab pertanyaan Bayu.

“Kita lagi dapet, Yu. Ya udah kita duluan ya.” Jawabku ngsal dan segala menarik Fira pergi dari hadapan Bayu. Saat sudah hampir sampai di escalator aku kembali menoleh kearah Bayu. Tanpa disangka dia masih mematung di tempat semula dan melihat ke arahku. Aku bisa melihat senyum terkulum di bibirnya yang tipis itu. Dan saat itulah ada desir aneh yang menari dalam perutku. Seperti kupu-kupu kecil yang beterbangan bebas.

Menyadari hal itu aku segera memalingkan wajahku. Fira tampak memandangku aneh.

“Lu kenapa Nes?”

“Kenapa apanya?”tanyaku heran.

“Lu pucet. Sakit?”

“Hah? Enggak kok Fir. Capek mungkin.”

“Ya udah. Habis ini gue aja yang nyetir ampek rumah gue.”

“Terserah lu aja deh Fir.”

Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku sendiri merasa aneh. Padahal tidak ada hal istimewa yang terjadi. Hanya senyuman Bayu. Tapi kenapa rasanya aneh begini ya? Apa jangan-jangan…….. “Ah, enggak mungkin banget. Tolol banget sih gue ampek mikir kayak gitu. Bodoh.”, batinku menyela.

▪▪▪

Pukul 17.25 WIB

Aku sampai di rumah yang sepi ini lagi. Rumahku. Aku masuk dengan gontai. Kepalaku mulai pening. Aku hempaskan tubuhku ke sofa ruang keluarga. Aku selonjorkan kakiku melepas lelah. Perlahan tanganku memijit pangkal hidungku demi mendapat sedikit ruang untuk berpikir bebas di antara kepenatan. Tapi setelah mendapat sedikit ketenangan justru wajah Bayu yang muncul dengan senyuman yang penuh kebijakan yang kian menyejukkan. Aku membuka mataku perlahan. “Kenapa gue malah inget dia? Kenal aja juga cuma hari ini. Aneh. Siapa sebenernya lu Bayu?”.



Bi Minah…

Prraaaaaaaaaang………

A

ku tersentak bangun dari tidurku saat mendengar suara keras benda yang pecah itu. Aku melirik jam dinding di kamarku. Pukul 02.30 pagi. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak. “Pasti ada sesuatu yang terjadi.” Pikirku. Aku menyibakkan selimut seputih awanku dan segera bangun dari tempat tidurku menuju arah suara itu. Aku membuka pintu kamarku perlahan hingga suara gesekannya hampir tak terdengar. Aku melongok ke bawah saat kemudian terdengar sayup-sayup suara Ayah dan Bundaku…

“Kamu kenapa marah kalau memang semua itu benar, huh?” teriak Bunda penuh amarah. “Atau jangan-jangan semua itu benar, Mas?”

“Kamu jangan kurang ajar, Widya?”, Ayah tak kalah emosi menghadapi kemarahan bunda.

“Mas, aku hanya bertanya. Tapi sekarang aku rasa aku tak butuh jawaban lagi karena semua reaksi kemarahanmu itu sudah cukup memberiku jawaban.”, bunda mulai berkaca.

“Apa maksudmu?????”

“Mas, akui saja kalau kau benar-benar main gila dengan perempuan jalang itu. Ya kan?”, aku membelalakkan mata mendengar kata-kata bunda. “Ayah selingkuh?? Gak mungkin.”,, tukasku dalam hati.

“Dia perempuan baik-baik. Jangan pernah kau hina dia, karena kau juga tak lebih baik.”

“Oh, jadi sekarang kau sudah membelanya Mas? Dan sekaang masih mu mengelak lagi? Ha?” kemarahan bunda semakin menjadi.

“Widya, jaga sikapmu. Aku ini suamimu!!!” ayah tak kalah marah.

“Baik, ceraikan saja aku!!!!”

“APA? Enggak, Bunda dan Ayah gak boleh cerai.!!!”, teriak hatiku menahan air mata.

“Jaga mulutmu Widya!!!”, ayah terlihat mulai geram.

“Apalagi Mas? Semua sudah jelas kan Mas!”, air mata bunda menetes perlahan. “kamu mulai berubah mas. Dan kemarin saat kita bertemu di restoran itu adalah sebuah jawaban atas semua perubahan sikapmu belakangan ini”.

“Widya, kita sudah punya Anes. Jadi tolong bersikaplah lebih dewasa. Jangan seperti anak kecil.”

“siapa yang seperti anak kecil? Mas, aku justru gak igin Anes semakin stress mendengar kita bertengkar terus. Lebih baik kita akhiri saja semuanya Mas, perasaan kita dh gak seperti dulu kan? Kamu mulai mencintai perempuan itu. Dan aku tidak akan pernah mau untuk di madu. Jadi Cerai adlah jawaban yang lebih tepat.”, bunda benar-benar menangis sekarang.

Tak terasa air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku tak mempercayai apa yang baru saja aku ihat dan aku dengar. Aku melangkahkan kaki kembali masuk ke kamarku dengan langkah yang gontai. Aku benar-benar merasa penat sekarang. Aku merebahkan tubuhku di atas kaur. Memandang langit-lagit kamarku yang berhiaskan bintang-bintang kecil. Saat itulah pintu kamarku diketuk halus.

Tok….tok…..tok…

“Non…..Non Anes….ini Bi Minah Non.”

“Iya Bi, masuk aja. Pintunya gak dikunci kok.” Seruku dari dalam kamar.

Pintu kamarku dibuka pelan dan terdengar bunyi berdecit yang halus. Terlihat wajah tua tua Bi Minah yang mulai berkeut diseitar bulatan matanya. Dia sudah mulai merenta.

“Non, belum tidur?” tanyanya saat duduk di sampingku.

“Tadi sih udah Bi, tapi pas ada suara barang pecah jadi bangun. Takut ada maling.” Kataku sambil sedikit memaksakan senyuman di bibir.

“Non Anes habis nangis ya?”

“Ah, enggak kok Bi, Cuma kelilipan.” Kataku sambil mengusap bekas tangisku.

“Sabar ya Non, Bibi ngerti kok perasaan Non kayak gimana.”

“Ah, bibi ngomong apa sih? Aku baik-baik aja kok.” Kataku masih berusaha ngeles.

“Gak usah bohong Non. Bibi ini orang yang ngasuh Non sejak Non masih 4 tahun. Jadi Non udah kayak anak bibi sendiri.”

Aku luluh mendengar ucapan bi Minah. Kelembutan dan sifat keibuannya melunturkan semua gengsiku atas beban berat yang ku pikul selama ini.

“Kok jadi gini ya Bi? Bunda sama Ayah meskipun gak selalu bareng kan gak pernah bertengkar kayak gitu. Selama ini hubungan mereka baik-baik aja.” Keluhku pada Bi Minah. Saat ini dialah satu-satunya orang yang bisa aku ajak berbagi rasa.

“Ini wajar Non. Dalam rumah tangga kan gak selalu mulus jalannya. Suatu saat Non juga bakal ngerti kalo non sudah jadi istri atau bahkan ibu.

“Tapi…… Aku gak pernah ngebayangin kehidupanku bakalna kayak apa kalo sampai Ayah sama Bunda cerai beneran bi. Mereka gak cerai aja udah kayak gak punya anak. Sukanya kelayapan mulu. Lha kalo mereka cerai beneran jangan-jangan malah gak inget kalo punya anak.” Keluhku manja.

“Gak ada orang tua yang bakalan lupa ma anaknya Non. Lagian Non kan masih punya bi Minah sama mang Asep Non.” Kata bi Minah penuh perhatian.

“Iya ya bi. Aku kan punya Bibi ma Mang Asep yang udah kayak orang tua angkatku.” Kataku sambil mengulas senyuman.

“Iya. Ya sudah, sekarang Non tidur lagi. Kan nanti mesti kuliah. Mau dibangunin jam berapa Non?”

“Aku kuliah jam 09.00, dibangunin jam 06.00 aja bi biar gak keburu-buru ntar.”

“Iya. Sekarang Non istirahat dulu. Bibi juga mau sholat dulu. Permisi ya Non.” Bi minah beranjak keluar kamarku. Aku tertegun mendengar ucapan bi Minah barusan. “Sholat?, kayaknya aku jauh banget dari kata itu.” Hatiku membatin. Bi Minah memang orang yang gak pernah ninggalin kewajiban itu meskipun dia ikut dalam keluarga yang gak pernah mengenal kata ibadah.

Bi Minah memang sudah ikut dalam keluarga ini sejak kami tinggal di Malang. Jadi sudah sekitar 15 tahun di setia besama keluarga ini. Dia juga yang lebih dekat denganku ketimbang Bundaku sendiri. Sebab dia yang selalu merawatku. Dia lah yang selama ini menjadi ibu pengasuhku. Sifatnya yang keibuan juga mampu menenangkanku saat aku merasa kesepian dan sedih jika ada masalah yang menerpaku. Dialah orang yang paling setia menghiburku saat aku menangis. Usianya memang sudah hampir kepala lima, tapi dia masih mampu memahami sifatku yang ke kanak-kanakan dan kadang mudah emosi. Secara sadar atau tidak dialah ibuku selama ini. Melebihi Bunda Widya yang telah melahirkanku. Bahkan Bunda mungkin tak akan bisa semengerti Bi Minah ketika memahmi segala sifat, sikp dan permasalahanku. Hah, Bi Minah…. Bi Minah….. “Jangan pernah pergi jauh dari Anes Bi. Jangan pernah ninggalin Anes sendiri seperti orang tua Anes yang gak pernah peduli sama Anes”, batinku pilu.



Bunda dan Ayah…

A

ku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutku yang basah. Ku tatap wajahku di kaca riasku. Sayu. Tangisanku tadi malam membuat bekas hitam dilipatan mataku. Aku mencba tersenyum agar terlihat labih ceria. “All is well”, batinku menirukan gaya Amir Khan dalam film 3idiot.

Aku berjalan keluar kamar ingin menuju ke dapur untuk membuat susu coklatku. Ku lihat bi Minah sedang mencuci peralatan makan. Aku menghampirinya.

“Kenapa Non? Mau dibikinin sesuatu?” bibi menawariku.

“Tadinya mau bikin susu coklat aja. Tapi mau deh kalo dibikinin omelet bi. Hehe…..” kataku nakal.

Bi Minah tersenyum, “iya deh, susu coklatnya mau sekalian atau mau bikin sendiri?”

“”kalo susunya bikin sendiri aja deh bi.”

“Ya udah. Itu susunya ada di meja Non, nanti omeletnya bibi antar ke meja makan deh.” Kata bibi sambil mulai memanaskan penggorengan.

“ok deh Bi.”

Aku segera meracik susu coklat pagiku dan membawanya ke ruang keluarga masih dengan mengenakan piyamaku. Kuraih remote TV dan menyalakannya. Sebuah acara gossip memenuhi layar televisiku. Berita perceraian artis. Aku jengah melihatnya. Segera aku ganti ke acara live music. Lagu Pelan-Pelan saja dari KOTAK mengalun indah. Ku teguk sedikit susu coklat hangatku saat kemudian Bunda datang.

“Anes? Gak kuliah?” tanya Bunda sambil duduk disebelahku.

“Jam Sembilan Bun kuliahnya. Tumben Bunda pagi-pagi masih dirumah?” tanyaku sedikit heran.

“Bunda lagi malas Nes keluar rumah.”

“Kenapa? Habis tengkar semalam?” tanyaku menembak.

“Kamu dengar semuanya Nes?”

“Iya Bun. Emang beneran Ayah kayak gitu Bun?” aku mulai menyelidik.

“Bunda gak mungkin menuduh tanpa bukti Nes.” Bunda menerawang dalam.

“Apa buktinya Bun?”

“Kemarin lusa saat Bunda sedang meeting di luar dengan klien Bunda dari Jakarta di sebuah restoran, Bunda ketemu sama ayah kamu. Waktu Bunda mau menyapanya Bunda melihat wanita yang sangat Bunda kenal ada di samping ayah kamu. Menggandeng tangan ayah kamu mesra sekali.”

“Siapa Bun?”

“Dia teman lama Bunda waktu dulu masih kuliah di Bandung Nes.”

“Anes kenal Bun sama dia?”

“Ya, tentu kamu mengenalnya. Dia sering berkunjung ke butik bunda kalau sedang main ke Malang.”

Aku sedikit berpikir sambil mengerutkan keningku, mengingat-ingat deretan nama teman bunda yang aku kenal. Tapi belum sampai aku menjawab Bunda kembali membuka suara.

“Dia adalah tante yang sering kamu bilang baik dan cantik itu.”

“Tante Nuri?” aku berharap Bunda menggeleng karena yang aku tahu Tante Nuri adalah orang yang sangat baik, cantik, keibuan dan lembut. Jadi ku piker tak mungkin dia mau mengganggu rumah tangga orang lain, apalagi teman baiknya sendiri sepeti Bunda. Tapi sayang harapanku sia-sia oleh anggukan Bunda.

“Memang dia yang Bunda lihat waktu itu bersama ayahmu Nes.”

“Mungkin Bunda salah faham. Bisa saja kan Tante Nuri itu klien Ayah di kantor.”

“Nuri bukuan seorang pebisnis Nes. Dan kalau pun mereka berposisi sebagai klien, tidak mungkin dia menggandeng lengan ayahmu seperti itu. Terlalu mesra untuk ukuran dua orang yang berbisnis.”, mata Bunda teruhat mulai berkaca.

Aku tak tahu arus berkata apa. Aku masih tak percaya jika Ayah berbuat semacam itu. Rasanya tak mungkin, sebab Ayah yang ku kenal selama ini bukanlah orang yang gampang tertarik pada wanita. Ayah adalah orang yang setia. Meskipun aku tak pernah begitu dekat dengan orang tuaku, tapi aku mengenal mereka dengan cukup baik.

“Non, omeletnya sudah jadi.” Suara bi Minah membuyarkan lamunanku.

“Taruh meja makan aja bi.” Seruku pada bi Minah tanpa beranjak dari ruang keluarga. “Bunda sarapan bareng sama Anes yuk. Tadi bi Minah bikinin omelet. Kita kan udah lama gak sarapan bareng Bun?”

Bunda tersenyum dan mengangguk lalu mengikutiku ke ruang makan. Aku meminta bi Minah untuk mengambilkan satu piring lagi untuk Bunda. Akhirnya kami pun sarapan bersama pagi ini. Rasanya ini sudah sangat lama tak terjadi. Selama ini Bunda selalu berangkat pagi ke butiknya dan toidak pernah sempat sarapan di rumah. Tapi hari ini dia ingin menenangkan diri di rumah dan aku ingin dia tidak sendirian.

“Nes, Bunda minta maaf ya kalau selama ini bunda dan ayah jarang ada di rumah dan jarang sekali memperhatikan kamu. Kami selalu sibuk dengan urusan kami masing-masing.” Bunda mengawali pembicaraan itu sambil sejenak berhenti makan.

Reflek, aku pun menghentikan makanku dan menatap Bunda yang kini juga menatapku. Aku tersenyum.

“Selama ini Anes berusaha ngerti kok Bun, Ayah dan Bunda kerja keras juga buat Anes kan? Yah, meskipun dalam hati Anes seenarnya keewa karena yang Anes butuhkan bukan Cuma uang. Tapi kasih saying dan perhatian Ayah dan Bunda juga.”

Bunda menatapku. Sayu dan tersenyum. Aku melihat kemipripan yang sangat kental dari wajah Bunda dengan wajahku.

“Makanya Nes, bunda minta maaf. Yang Bunda piker selama ini Cuma bagaimana kamu gak kekurangan dan semua keinginan kamu terpenuhi. Tapi Bunda melupakan satu hal yang paling penting selain itu.”

“Gak apa-apa Bun, asal setelah ini tidak akan nada hal-hal seperti itu lagi ya Bun?” kataku berseringai tawa. “Ya udah diterusin dulu makannya Bun, aku kan habis ini mesti berangkat kuliah.”, anggukan Bunda menjawab kata-kataku.

▪▪▪

Aku masih terlihat murung saat masuk kampus. Tapi aku tetap mengulum senyum pada setiap orang yang ku temui. Aku senang Bunda sudah mulai sadar akan perannya sebagai orang tua dan sudah mulai terbuka denganku. Tapi entah kenapa rasa takut akan perceraian orang tuaku masih begitu jela terbayang di mataku. Selain itu aku juga masih belum yakin kalau Ayah benar-benar ada main dengan tante Nuri yang baik hati itu.

“Hai Nes….!!!!!” Sebuah suara yang cempreng mirip kaleng kerupuk yang dibanting itu mampir ke telingaku. Membuatku reflek menoleh sambil terlonjak kaget.

“Eh, ngagetin orang aja lu!!!” kataku setelah aku berhasil mengatur adrenalinku.

“Biasa aja kaleeeee…. Hehehe, gak usah pake acara kaget begitu.”

“Lu kira suara lu merdu apa? Cempreng tuh, gimana gak bikin orang kaget.”, kataku sedikit bergurau.

“Enak aje lu. Kata Papi gue suara gue tuh gak cempreng tapi sexy tau…..” kata Intan ngeles. Aku menahan tawa.

“Papi lu Cuma menghibur tuh, gak tega di bilang terang-terangan sama lu kalo sur lu tuh karang kaleng kerupuk yan ditendang terus mental ampek Paris.” Gurauku sukses membuat Intan melipat wajahnya.

“Lu tuh ye, emang paling bisa ngatain orang.”

“Hehehe…. Iya-iya deh Non, gak usah pake ngambek lah. Gue kan Cuma becanda.” Kataku pada Intan. Intan adalah sahabatku juga seperti Fira. Hanya saja kami tidak satu fakultas. Tapi meski begitu Intan adalah teman yang selalu ada disaat orang lain membutuhkannya. “Eh, BTW, kok tumben ya lu pagi-pagi gini udah ada di kampus? Ada kuliah pagi ya?”

“Enggak sih, tapi gue mesti ngumpulin tugas ke Pak Wildan. Ini aja udah telat 2 hari gue ngumpulinnya gara-gara filenya ilang. Untung masih dikasih dispensasi nyampek hari ini.”

“Wah, harusnya tuh dosen gak usah ngasih dispen segala tuh. Hehehe…..” candaku.

“Ah, lu sih emang gitu Nes.” Kini Intan beneran cemberut.

“Hehehe…iya Non maaf maaf deh….” Lagakku sambil memohon-mohon memelas pada Intan. Kami memang kerap saling mengejek untuk bercanda. Tapi justru itulh yang membuat kami sering kangen satu sama lain.

“Lu sendiri ngapain Nes?”

“Gue emang ada kuliah pagi ini. Nih 10 menit lagi bakal mulai kuliahnya Pak Hasan. Ya udah ya Tan, gue cabut duluan. Bye Tan!” kataku sambil lalu.

“Tan? Emang gue tante-tante apa? Dasar!!!” begitu tanggapan Intan yang masih sempat ku dengar. Dia memang paling tidak suka dipanggil dengan kata “Tan”, katanya jadi kayak tante-tante. Tapi emang semua teman-temannya memenggil dia seperti itu. Jadi udah kebiasaan deh manggil Intan kayak gitu. Hehe…

Aku berjalan menaiki tangga menuju kelasku di lantai dua. Sebenarnya semenjak kejadian tadi malam aku sama sekali malas melakukan segala hal. Semua masalah yang ada seolah berputar dikepalaku. Pening dan penat. Semuanya menjadi satu. Aku juga tidak pernah bisa membayangkan bagaimana jika nanti Bunda dan Ayah benar-benar bercerai. semua hal-hal buruk berputar di kepalaku membuatku benar-benar lupa dengan keadaan sekitarku. Bahkan aku pun lupa kalau saat ini aku sedang berjalan. Akhirnya aku pun tak sengaja menabrak seseorang di belokan terakhir menuju kelasku.

Buugggg…

“Aduh…….!!!!” Terdengar suara orang yang ku tabrak mengaduh kesakitan. Aku dengan panic ingin segera minta maaf dan membantunya.

“Maaf ya, gue gak seng……” kata-kataku terputus melihat siapa orang yang ku tabrak tadi. “Bayu??? Lu gak apa-apa? Maaf ya gue gak sengaja.”

“Oh, gak apa-apa. Gue tadi juga gak liat-liat jalannya. Eh, lu kenapa Nes? Kok pucet gitu? Sakit?” tanya Bayu sedikit panik ketika menatap wajahku.

“Gue gak apa-apa kok.”

“Mata lu? Habis nangis ya?” pertanyaan Bayu langsung tepat pada sasaran. Aku bingung harus menjawab apa. Tapi belum sempat aku mencari alas an Bayu sudah menjawab kebingunganku. “Gue gak punya maksud apa-apa. Cuma mau ngingetin aja Nes, sebelum yang lain juga liat wajah lu pucet dan sembab gitu mendingan lu cuci muka bentar biar agak seger.”

“Oh, eh, iya. Makasih Yu.” Kataku sambil berlalu dari hadapannya menuju toilet untuk sekedar cuci muka.

Aku menatap wajahku dalam cermin. Memang wajahku sangat pucat dan sembab. Mungkin bisa dibilang ini berantakan. Tapi aku sama sekali tak memikirkan itu. Yang ada dipikianku saat ini Cuma Ayah dan Bundaku. Semua kata-kata Bunda tadi pagi masih terngiang-ngiang dibenakku. “Apa bener Ayah selingkuh?apalagi Bunda bilang dengan tante Nuri”. Aku segera membuang semua pikiran itu dan keluar dari kamar mandi.

Saat masuk ke dalam kelaa aku mekewati tempay duduk Bayu. Sekilas aku melihatnya. Dan saat itu dia juga melihat ke arahku yang sedang berjalan. Aku merasa ada kupu-kupu dalam perutku yang tebang kesana-kemari. Aku segera memalingkan mukaku dan mengambil tempat duduk disamping Fira. Saat aku duduk Firi menatapku.

“Lu kenapa Nes?”

“Hah? Gue? Kenapa?”

“Lu sakit ya? Lu pucet banget Nes. Kalo sakit mending lu pulang aja Nes.” Saran Fira terlihat begitu cemas.

“Gue gak apa-apa kok Fir .” kataku sok sehat meski sebenarnya kepalaku begitu pusing.

“Beneran?” Fira masih belun yakin.

Aku mengangguk mantap untuk menghilangkan kecemasan diwajah Fira. Dan sesaat kemudian Pak Hasan datang dan memulai kuliahnya.

▪▪▪

Dua jam dalam ruangan ini seolah tak ada gunanya buatku. Semua hal yamg dijelaskan oleh Pak Hasan dan dipresentasikan oleh beberapa mahasiswa sama sekali tak ada yang nyantol di otakku. Pikiranku berada sangat jauh dari tubuhku yang kini berada dikelas. Ditambah lagi dengan posisi tempat dudukku yang berada tempat di belakang Bayu. Konsentrasiku pecah saat secara tidak sadar aku memperhatikannya. “Memperhatikannya? Apa-apa gue? Jangan-jangan gue…… Enggak mungkin. Itu gak mungkin banget terjadi. Ini pasti Cuma gara-gara kondisi gue yang lagi banyak masalah. Ya, pasti Cuma karena gue lagi banyak pikiran aja.”, kataku meyakinkan diri.

Tiga jam telah berlalu. Pak Hasan menyudahi kelasnya. Dan begitu beliau keluar aku pun berpikir agar aku sebaiknya segera sampai dirumah. Aku segera mengemasi tasku. Tapi tertahan oleh panggilan Fira.

“Nes, lu mau kemana?”

“Fir, gue pulang duluan kayaknya. Gue pengen cepet sampek rumah terus istrahat aja. Gak apa-apa kan lu pulang sendirian dulu hari ini?” tanyaku sedikit tidak enak pada Fira. Selama ini memang kami hampir selalu pulang bareng.

“Oh, ya udah. Gak apa-apa. Nyantae aja Nes. Ya udah gih, pulng. Ati-ati ya di jalan.” Fira tersenyum saat melepas aku pergi.

Di parkiran kampus…..

Aku bergegas menuju tempatku memarkir avanzaku. Tapi saat memasuki area perkir, dari kejauhan ku lihat seseorang yang sangat ku kenal seperti sedang menungguku di samping mobilku. Segera aku hampiri orang itu.

“Ayah….”

“Anes. Sudah selesai kuliahnya?” tanya Ayah saat aku mencium tangannya.

“Sudah yah. Ayah kenapa ada disina?” tanyaku heran melihat keberadaan Ayahku di kampus.

“Ayah nunggu kanu sayang. Kamu tidak ada acara kan?”

“Enggak Yah. Memang ada apa?”

“Ada yang mau Ayah bicarakan. Tapi jangan disini?”

“Tentang apa?”

“Nanti Ayah jelaskan. Sekarang kita ke restoran yang dulu sering kita datangi saja ya.

Aku hanya mengangguk dan segera menuju mobil. Aku tak sadar jikalau sejak tadi ada yang sepasng mata yang terus mengawasiku dari balik gerbang kampus dan mengikuti kemana aku dan Ayah pergi.

Setelah dua puluh menit pejalanan yang cukup padat dengan kemacetan, akhirnya avanza silverku memasuki pekataran parker sebuah restoran di daerah sawojajar. Ayah sudah menungguku di depan pintu masuk karena dia terlebih dulu sampai. Aku segera memarkir mobilku dan menghampiri Ayah. Aku dan Ayah digiring menuju ke sudut ruangan ntuk menempati sebuah meja yang cukup nyaman untuk berbincang meskipun menghadap langsung ke arah jalan. Ayah memesan cappuccino hangat untuknya dan green tea untukku.

“Bagaimana kuliahmu Nes?” Ayah memulai pembicaraan ketika pelayan pergi untuk mengambilpesanan kami.

“Baik Yah. Aku enjoy dengan kampus dan semua teman-temanku.” Jawabku.

“Baguslah kalu begitu. Ayah senang mendengarnya.”

Aku menatap Ayah yang diam setalah itu. Dia memperhatikan jalan yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan. “Apa sebenaenya yang ingin Ayah bicarakan? Kenapa sekarang dia hanya diam?”, batinku terus bertanya-tanya. Seorang pelayan datang membawa pesanan kami. Setelah Ayah mengucapkan terima kasih, pelayan itu pergi. Ayah menatapku. Dalam sekali. Seolah ingin menyampaikan sesuatu lewat pandangannya itu. Tapi aku sma sekali tak mengerti. Aku menatap mata Ayah, berharap menemukan jawaban. Tapi aku merasakan sesuatu yang lain. Tatapan Ayah begitu hangat. Tatapan seorang Ayah yang selama ini tak pernah ku dapatkan dari seorang Agus Kusuma Wijaya.

“Ayah……………” aku mulai tak sabar menanti apa yang sebenarnya ingin Ayah katakan. Tapi Ayah hanya memandang keluar jendela. Menatap setiap kendaraan yang hilir mudik di jalanan. “Ayah, Ayah tadi bilang ingin membicaraan sesuatu kan?”

“Ya, memang ada banyak hal yang ingin Ayah katakan padamu Anes.” Ayah berhenti untuk menteruput sedikit capuccinonya. “Ayah ingin minta maaf padamu Nes.”

“Minta maaf?” Aku sedikit bingung. “Minta maaf untuk apa Yah?”

“Nes,” Ayah menggenggam tanganku lembut, hangat. “Ayah tahu selama ini Anes kesepian, merasa sendiri dan tidak ada yang mempedulikan Anes. Terutama Ayah dan Bunda. Selama ini kami hanya sibuk bekerja dan berkarier. Ayah bukan tidak sayang padamu. Hanya saja Ayah berfikir bagaimana membahagiakanmu. Akhirnya Ayah berusaha keras agar bagaimana semua kebutuhan dan keinginanmu tercapai. Tidak ada yang tidak terpenuhi. Ayah tidak ingin kamu hidup dalam kekurangan.” Ayah mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku bending air mata yang sedari tadi bermuara di mataku karena mendengar pernyataan jujur Ayah. “Ayah terlalu sibuk memikirkan bagaimana agar kamu bahagia hingga secara tidak sdar Ayah malah membuatmu sedih karena kesepian. Maafkan Ayah Nes. Maafkan Ayah. Ayah bukan bapak yang baik buat kamu sayang”. Setitik air mata jatuh di pipi Ayah. Tapi begitu deras hujan air mata yang kini tumpah di pipiku. Aku tak kuasa lagi menahan bendungan mutiara tangis itu.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku senang pada akhirnya Ayah dan Bunda sadar bahwa aku tak hanya butuh materi dari mereka, tapi juga kasih syang. Tapi di sisi lain ada ketakutan yang besar dalam hatiku. Aku teringat pertengkaran Ayah dan Bunda tadi malam. “apa karena ini ayah dan bunda akhirnya menyadari kesalahannya?”.

Ayah mengusap air mata di pipiku lembut. Dia mengangkat daguku dan bertanya dengan sangat lembut.

“Kenapa kamu menangis sayang?”

Aku menatap dalam mata Ayah. Berharap Ayah akan mengerti. Tapi Ayah hanya terus menatapku dan menanti jawabanku.

“Ayah….” Suaraku tercekat. “Aku memang kecewa, aku memang kesepian karena selama ini Ayah dan Bunda hanya sibuk dengan karier masing-masing. Tapi Aku berusaha mengerti akan keadaan itu. Semua yang Ayah lakukan dan Bunda lakukan hanya demi aku. Tapi dalam hati aku selalu berdoa Yah, semoga suatu saat Ayah dan Bunda akan sadar bahwa aku bukan manusia yang Cuma butuh materi. Tapi juga butuh ksih sayang Ayah dan Bunda sebagai orang tua..” setitik air mata kembali jatuh di pipiku. “Tapi jujur Yah, ada rasa takut di hati Anes.”

“Apa yang kau takutka sayang?”

“Doa Anes selama ini sudah mulai terkabul. Ayah dan Bunda mulai sadar, tapi jika Anes mengingat apa yang tadi malam Anes lihat, Anes takut perhatian Ayah dan Bunda hanya sesaat. Setelah itu kalian akan pergi karena keputusan cerai.” Perih terasa mengucapkan kata perpisahan itu.

“Anes mendengar pertengkaran Ayah dan Bunda?”

Aku mengangguk. Air muka Ayah mulai berubah dari lembut menjadi tegang. “Anes tak hanya mendengar, tapi juga melihat. Dan bahkan Bunda sudah menceritakan. Tapi sebelum Anes berprasangka, Anes ingin Ayah juga jujur pada Anes tentang apa yang terjadi sebenarya.”

Ayah diam. Dia melihat keluar jendela seperti menerawang sesuatu. Tatapannya yang hangat tadi kini menjadi tatapan bingung dan cemas. Sejurus kemudian dia menunduk menatap kepulan asap yang keluar dari cangkir di depannya.

“Ayah………” Aku memanggil namanya berharap akan segera mendapatkan jawaban atas semua tanda tanya yang ada di benakku. Tapi sayangnya Ayah hanya diam. Sama sekali tak bereaksi. “Ayah, aku Cuma ingin Ayah jujur. Apa benar semua yang Anes dengar tadi malam? Apa yang dtuduhkan Bunda itu benar?” tanyaku langsung pada sasaran.

Sejujurnya aku berharap Ayah akan menjawab tidak. Dan ernyata beberapa menit kemudian aku mendapat jawaban yang benar-benar menyesakkan. Ayah mengangguk pelan. Hampir tak terihat jikalau Ayah tengah mengangguk. Tapi aku mengerti dan sangat kecewa. Reflek aku tarik tanganku dari genggaman tangan Ayah. Kepalaku menggeleng pelan. Tak percaya dengan semua ini. Sejurus kemudian aku berdiri dan menyambar tasku. Kutinggalkan Ayah di meja itu. Bergantian langkah kakiku berjalan menuju mobil yang terpakir di halaman restoran. Sebelum masuk ku sempat melihat Ayah masih menunduk lesu di meja. Lalu ku buka pintu mobil masuk lalu membantingnya kuat-kuat. Kunyalakan mesin mobil dan pergi dari tempat itu.



Dia Datang Membawa Senyuman

Ku buka album biru

Penuh debu dan using

Ku pandangi semua gambar diri

Kecil bersih belum ternoda

Fikirku pun melayang

Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku

Kata mereka diriku selalu dimanja

Kata mereka diriku selalu ditimang

Oh….. Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu

Ada di dalam hatiku….

L

agu itu mengalun indah dalam mobilku. Menemani perjalananku yang pilu. Air mata masih deras mengalir di pipiku. Aku sungguh tak percaya pada apa yang terjadi padaku. Ayahku yang selama ini ku sayangi ternyata tega menyakita aku dan Bundaku.

Aku menepikan mobilku di samping sebuah warung kecil di kawasan Wisata Payung Batu. Aku memang mengurungkan niat untuk ingin cepat sampai di rumahku. Aku masih ingin menenangkan diri sekarang. Kepalaku pusing dan penat sekarang. Dadaku mulai sesak menahan emosi yang tertahan. Aku merasa benar-benar sendiri sekarang.

Air mataku mulai menetes satu demi satu membasahi pipi hingga bermuara di daguku. Tapi kemudian sebuah tangan dengan lembut mengusapnya. Aku menoleh ingin tahu siapa orang yang menyeka air mataku. Aku terperanjat melihat siapa yang ada di sampingku.

“Bayu?”

“Gak baik nangis sendirian.” Katanya sambil tersenyum.

“Lu ngapain disini?” tanyaku heran.

“Gue ngikutin lu dari tadi. Emang gak keliatan ya dari kaca spion kalo gue ngikutin? Gue kan pake motor.”

“Lu? Ngikutin gue? Kurang kerjaan ya?” tanyaku sedikit emosi karena memang situasi hatiku sedang tidak enak hari ini.

“Jangan marah dulu Nes, gue gak ada maksud apa-apa kok. Gue ngikutin lu soalnya gue khawatir.”

“Khawatir?”

“Ya, khawatir. Dari tadi pagi gue liat ada yang gak beres sama lu. Awalnya gue gak pengen ikut pusing. Cuma kayaknya gue ngerasa lu butuh temen sekarang.”

“Kenapa lu pikir gue butuh temen?”

“Soalnya gue liat lu dari tadi sendiri melulu. Fira juga tadi gue liat gak bareng lu, padahal kondisi lu kayaknya lagi kacau gitu. Satu-satunya orang yang nemenin lu Cuma bapak-bapak yang tadi ngajak lu ke restoran itu. Gue pikir dia Bokap lu kan?”

“Jadi lu ngikutin gue dari kampus, ke sawojajar ampek ke sini?”

“Seratus buat anda Nona Anesta Wijaya.”

“Kenapa?”

“Gue juga gak tau ya? Gue ngerasa pengen aja ngikutin lu. Takut ada apa-apa. Aneh kan? Gue aja juga aneh ngerasanya.”

Kami terjebak diam untuk sesaat. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku senang ada yang mau menemaniku saat ini karena jika aku sendiri pasti akan lebih buruk lagi kekacauan yang aku rasain. Tapi apa aku harus cerita sama Bayu? Bayu kan baru saja ku kenal? Aku masih belum begitu akrab dengannya. Bahkan baru sekarang aku bisa ngobrol dengannya.

“Kalo lu butuh teman cerita, cerita aja. Gue ini termasuk pendengar yang baik kok. Dan gue bukan komplotan kaum adam yang ember. Jadi lu bisa pegang kata-kata gue.”

Seperti mengerti tentang pa yang ku pikirkan dia langsung mengatakan hal itu sambil tersenyum ke arahku. Lagi-lagi ada yang bergerak-gerak bebas diperutku. Jantungku juga sepertinya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Kenapa tiap liat dia senyum perut gue jadi geli sendiri sih? Ah…… Mungkin gara-gara gue terharu aja karena masih ada orang yang care sama gue.”

“Lha kok bengong Nes? Masa’ Cuma diem-dieman aja? Gak kasian gue yang udah jauh-jauh ngikutin lu apa?”

“Hah? Gue kan gak nyuruh lu ngikutin gue Bay, jadi ya jangan protes ke gue dong.” Kataku dengan nada yang sedikit sewot. “barusan care banget sekarang malah nyolot. Huh….”

“Maaf, bukannya gitu. Gue Cuma pengen bantuin lu biar plong aja. Tapi kalo lu gak suka gue bisa pergi kok.” Kata Bayu sembari berbalik hendak menaiki motornya. Aku sedikit kelabakan. Entah kenapa aku gak mau ditinggal begitu saja oleh Bayu.

“Bay, tunggu.” Aku menghentikan langkah Bayu. “Kok pulang sih? Percuma dong ngikutin gue jauh-jauh kalo lu asal balik aja.”

“Lha tadi katanya gak suka?”

“Lho? Siapa yang bilang?”

“Berarti suka dong gue temenin disini?”

“Hah? Bukannya gitu. GR banget sih.”

“Gak usah malu-malu Nes. Hehehe…..”

Aku tak sadar tersenyum begitu tahu Bayu sedang bercanda. Berusaha membuatku tersenyum lagi. Padahal aku pikir Bayu adalah orang yang sombong, kaku dan angkuh. Tapi ternyata kenyataannya begitu berbeda.

“Gitu dong senyum. Ya udah. Ekarang mau cerita kan kenapa kamu sampek nangis gitu?”

“Haa? Gak salah? Kamu?”

“iya, kamu. Paling aku-kamu aja kalo pas curhat-curhat gini. Kalo pake lu-gue kayak preman. Masak preman mau curhat.”

“Gak nyambung banget kamu Yu.” Aku tanpa sadar mulai ikut beraku-kamu dengan Bayu.

“Terus, kenapa kamu tadi nangis?” Bayu masih ingin tau tentang ceritaku.

“Ceritanya panjang Yu.”

“Ok, aku dengerin baik-baik kok.”

“Aku anak tunggal Yu. Aku gak punya kakak atau adik. Orang tuaku juga bukan orang sembarangan. Ayahku seorang pengusaha bidang ekport-import yang sukses. Begitu juga dengan Bunda. Dia pemilik butik besar yang juga terkenal di Malang. Semua orang pasti akan berpikir betapa beruntungnya aku dengan semua fakta itu. Tapi mereka semua salah Yu.” Aku berhenti sejenak sambil melirik Bayu sekilas.

“Maksudnya salah?”

“Ya, aku memang tidak pernah kekurangan dari segi materi. Semua yang ku inginkan akan tersedia begi/tu aja di depan mata. Tapi ada satu yang selama ini aku inginkan tapi tak pernah ku miliki.”

Bayu diam, menatapku dalam. Menunggu aku melanjutkan ceritaku.

“Kasih sayang orang tuaku.” Aku menghela nafas berat dan dalam. “orang tuaku selama ini sibuk dengan karier dan perusahaan mereka masing-masing. Sejak kecil aku jarang bisa bekumpul dengan mereka. Tidak seperti anak-anak lain yang bisa meluangkan hari minggunya untuk jalan-jalan atau liburan bersama. Ayahku sering keluar kota. Dan Bunda lebih sering berkumpul dengan para pelanggannya.” Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritaku. “Tapi aku tetap berusaha bersyukur kok dengan semua kenyataan itu. Aku tahu orang tuaku sebenarnya ingin membahagiakanku meskipun pada akhirnya mereka justru melupakanku. Aku juga tidak ingin terus menerus dirundung sepi seperti itu. Aku mengisi hari-hariku dengan berkumpul bersama teman-temanku. Dalam hati aku terus berdoa agar orang tuaku tak lagi hanya memikirkan kebahagiaan materiku, tapi juga membrikan kasih sayang padaku. Dan sekarang doa itu terwujud Bay. Bunda dan Ayah minta maaf padaku atas semua kesalahan mereka selama ini. Mereka juga berjanji akan lebih memperhatikanku dan menyayangiku.”

“Lalu kenapa sekarang kamu menangis Nes? Harusnya kamu bahagia kan dengan semua itu. Hal ini yang selama ini kamu hadirkan dalam doamu dan selalu jadi harapan terbesarmu?”

“Ya, semua ini memang harapanku. Aku bahagia akhirnya mereka menyadari semua ini. Tapi kebahagiaanku ini tidak akan bertahan lama Bay.”

“Maksudmu?”

Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang sangat pedih bagiku.

“Orang tuaku terancam akan bercerai.”

“Apa?” Bayu terlihat kaget. Entah kenapa aku melihat ada emosi yang muncul di matanya. “kenapa Nes?”

“Tadi malam orang tuaku bertengkar. Aku menyaksikandan mendengar semua yang mereka ributkan. Setelah itu mereka meminta maaf padaku. Mungkin karena mereka sadar jika mereka memang bercerai aku lah yang paling tersakiti. Tapi yang lebih membuatku sakit adalah alasan mereka. Bunda bilang dia melihat Ayah bergandengan mesra dengan perempuan lain yang notabene adalah teman baiknya. Dan perempuan itu juga begitu kenal denganku. Bagiku dia adalah perempuan yang cantik dan baik. Awalnya aku gak percaya dengan semua itu. Ku pikir mungkin bunda salah faham. Tapi tadi saat aku memohon kejujuran Ayah. Dia mengakui semuanya. Itulah yang membuatku tak habis fikir. Ayah yang selama ini aku sayangi dan sangat dicintai Bunda tega melakukan itu semua.” Air mataku kembali deras mengalir.

Pandangan Bayu menerawang. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan dibalik pandangannya itu. Tapi yang jelas aku cukup lega karenabebanku sedikit berkurang karena aku bisa mencurahkan semuanya kepada Bayu.

“Nes….”

“Hm…..”

“Kamu membenci Ayahmu?”

“Aku gak tau Bay, yang ku tau aku sangat kecewa sekarang. aku ingin marah tapi aku merasa gak berhak untuk marah.”

“Kenapa kamu ngerasa gak berhak untuk marah?”

“Ayah memang salah, tapi mungkin Bunda maupun aku juga bersalah pada Ayah. Tante Nuri pun juga belum tentu salah. Jadi semuanya sebenarnya pasti punya kesalahan masing-masing.”

Bayu tersenyum dan memandangku. Aku balik memandangnya dan yang tidak ku sangka dia menggenggam tanganku hangat dan berkata, “Ternyata kamu orang yang kuat ya? Padahal kamu sepertinya sangat cuek.”

Aku tersenyum sedikit kaku. Jantungku serasa mau copot sekarang. kupu-kupu dalam perutku juga rasanya semakin banyak saja. Terbang kesana kemari memenuhi ruang yang ada. “Kenapa sih gue? Aduh……rasanya kok aneh begini. Padahal gak Cuma Bayu yang pernah megang tangan gue. Tapi kok jadi kacau gini.”

Aku merasakan tanganku sedikit gemetar dalam genggaman Bayu. Dan secara reflek Bayu melepas genggamannya.

“Ops, maaf. Kebawa suasana aja Nes. Aku gak ada maksud apa-apa kok. Beneran.” Bayu sepertinya merasa bersalah karena secara tiba-tiba bersikap agak agresif.

“Oh, iya gak apa-apa kok Yu.” Dalam hatiku ada sedikit sesal karena tanganku bergetar tadi. “Untung dia nyadar, tapi kenapa tadi aku merasa seneng ya?” batinku. Tak sadar aku tersenyum sendiri. ternyata Bayu datang membawa senyuman untukku.



Kosong

Allahuakbar….Allahuakbar…..

S

uara adzan ashar berkumandang syahdu. Menemani hembusan angin yang menyerbu pepohonan. Hawa dingin sejenak menyapa kulitku. Membuat bulu kudukku sedikit merinding. Aku mengusap-usap lenganku agar lebih hangat.

“Nih, pake aja. Dari pada ntar masuk angin.” Bayu menyodorkan jaket yang dipakainya.

“Eh, gak usah. Kamu kan juga mesti pake.”

“Aku nih cowok, masak ada cewek kedinginan malah ena-enakan pake jaket.”

“Gak apa-apa Bay, bener.”

Bayu tak memperdulikan penolakanku. Dia memakaikan jaketnya pada punggungku. “Gak usah protes.”

“Makasih.” Kataku memberikan senyuman.

“Udah adzan Nes, kita sholat dulu ya?” ajak Bayu. “Tuh di deket paying atas ada mushola kecil.” Bayu memggerakkan dagunya menunjuk ke arah mushola yang dia maksud.

“Eh, aku…aku lagi dapet Bay.” Jawabku agak gelagapan. “Sholat? Rasanya sudah lama aku jauh dari kata itu. Atau mungkin aku memang tidak pernah akrab dengan rutinitas itu?”

“Oh, gitu. Aku sholat dulu ya. Kamu nunggu disini atau mau ikut kesana?” Bayu menawari. Aku masih diam dalam bingung. Tapi Bayu langsung member tawaran yang lebih baik. “Ikut kesana aja Nes. Biar gak sendirian. Ntar kalo kamu ilang aku bisa dituntut lagi. Hehehe…..” seringai Bayu.

Aku mengangguk mantap sambil tertawa mendengar gurauan Bayu.

Aku duduk di depan mushola yang mungil itu. Kini Bayu sedang ada dalam lantunan bacaan sholat. Aku tak melepaskan pandangan darinya. Bayu begitu tenang dalam sholatnya. Wajahnya terlihat bersih setelah terbasuh air wudlu. Bibirnya begitu fasih bergetar dalam lafadz bacan sholat. Gerak tubuhnya begitu indah mengikuti gerakan sholat. Jari telunjuknya mantap mengacung saat tasyahud dia baca. Matanya terpejam dan menengadahkan tangan saat mengucap doa seolah dia sedang berbagi dengan Tuhan.

Bayu keluar dari mushola dan duduk disebelahku. Dia merapikan rambut dengan jemarinya. Aku tak sadar masih memandangnya.

“Kenapa Nes? Kok ngliatinnya gitu amat?” tanyanya sedikit heran.

“Oh, Maaf. Gak apa-apa kok.” Kataku ngeles. “Aduh, bodo amat sih, ngapain coba ngliatin Bayu ampek kayak segitunya?”

“Hehe… Aku ganteng ya?”

“Hah? PD banget sih? “ kataku sambil sedikit menahan senyuman.

“Iya kan? Hayo ngaku gak?” Bayu tersnyum nakal.

“Ya iyalah ganteng, kalo cantik kan jadi aneh Bay. Kamu kan cowok. Hehehe….”

“Bisa bercanda juga ternyata Non Anesta ini. “

“Hahahaha…….” Kami tertawa bersama. Entah kenapa beban-bebanku seolah tumbang saat ini. Aku bersyukur ada Bayu saat ini karena paling tidak aku bisa sejenak melupakan masalahku.

“Bayu…..”

“Ada apa Nes?”

“Kamu selalu sholat ya?”

“Ya iya, itu kan udah kewajiban Nes. Tuhan itu udah ngasih kita segalanya masak disuruh sholat lima kali sehari aja mau nolak sih?”

“Kalo kamu dapet musibah atau masalah kamu tetep percaya kalo Tuhan itu baik sama kita?”

“Nes, kalo gak ada musibah atau masalah yang bikin kita sedih, pasti juga kita gak akan ngerasain bahagia. Karena semuan itu harus ada perbandingannya.”

Aku terdiam. Aku selama ini Islam tapi sama sekali tidak mengerti arti rasa bersyukur dan beribadah. Aku hanya menjalani hidupku apa adanya sesuai dengan keinginanku.

“Bayu….”

“Ya?”

“Aku minta maaf.”

“kenapa minta maaf?”

“Aku udah bohong sama kamu.”

“Bohong? Bohong kenapa?” Bayu menatapku bingung.

“Aku gak lagi dapet sekarang?”

“Terus? Kenapa gak sholat?”

“Juju raja aku gak pernah kgerti gimana memaknai Islamku Bay, orang tuaku gak pernah menanamkan sedikit pun tentang semua itu. Aku hanya tau bahwa aku Islam.”

“Apa yang kamu rasain selama ini?”

“Kosong. Aku kayak gak ada tujuan hidup. Yang penting bagiku semuanya berjalan seperti yang aku mau.”

“Kamu gak pernah pengen mempelajari?”

“Pernah terpikir tapi aku gak tau mesti belajar pada siapa? Semua yang dekat denganku semua gak jauh beda sama aku.”

“Sekarang masih mau belajar?”

“Emang masih bisa belajar? Kan aku udah 19 tahun. Kebanyakan dosanya.”

“Ya bisa lah Nes. Asal kamu mau kamu pati bisa.”

“Tapi siapa yang mau ngajarin?”

“Nanti aku kenalin sama seseorang. Aku juga bakalan bantu kamu kok. Tenang aja.”



Shafira…

D

eerrt…Derrrt….Derrt…….

Deerrt…Derrrt…Derrt…….

Handphone yang ku letakkan di meja samping tempat tidurku bergetar cukup keras. Aku melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamarku. “Siapa sih yang ganggu orang jam tiga pagi begini?”. Aku melihat layar HPku. Tertera nomor yang gak aku kenal. Segera aku tekan tombol hijau untuk mengangkatnya.

“Hallo?”

“Assalamu’alaikum.” Jawab suara yang sepertinya sangat familiar denganku. Tapi aku tak yakin siapa karena sangat jarang ada orang yang menelponku beawal ucapan salam.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku sedikit ragu.

“Hai, Nes? Udah bangun atau masih tidur terus bangun gara-gara telponku?” aku masih bingung dengan siapa aku bicara. Tapi kenapa dia pakai aku-kamu? Apa jangan-jangan……

“Bayu?” ragu ku memanggil nama yang ku duga adalah si penelpon ini .

“Iya, ini Bayu.”

“Oh, kirain tadi siapa telpon malem-malem gini. Ada apa Bay?”

“Cuma pengen bangunin aja. Malem-malem gini biar gak tidur terus.”

“Hah? Malem kan emang waktunya tidur Bay?”

“Katanya mau belajar jadi orang Islam yang baik?”

“Iya, terus, hubungannya apa?”

“Kalau kamu mau sedikit tenang sekarang sholat tahajjud gih, kalo masih merasa berat ya mending sekarang HPnya di kasih alarm jam setengah lima pagi biar nanti gak telat shubuhnya. Gak lagi dapet kan?”

“Hehe….enggak Bay. Makasih ya udah ngingetin aku.ngomong-ngomong dapet nomerku darimana?”

“Aku dapet dari Ilyas. Kan kita sekelompok Nes buat mata kuliah manajemen perbankan jadi aku mesti tau nomer kamu, makanya aku tanya ke Ilyas.”

“Oh, gitu.”

“Ya udah. Aku mau sholat dulu Nes.”

“He’em. Makasih banyak ya, Bay. Kamu baik banget. Hehe….”

“Iya, sama-sama. Semua orang bakal baik sama orang yng dia sayang Nes. Ya udah. Assalamu’alaikum.”

Terdengar bunyi klik diseberang sana. “Wa’alaikumsalam.”

Aku masih terbengong mengartikan makna kalimat terakhir Bayu sebelum menutup telpon tadi. “Sayang? Apa mungkin?”

Aku menarik selimutku kembali. Tapi mataku tak lagi mampu terpejam. Ada sesuatu yng mengganjal hatiku. Kemarin aku melewati begitu banyak hal. Mulai dari masalah Ayah dan Bunda hingga perbincanganku dengan Bayu. Sejujurnya kali ini mungkin aku lebih memikirkan Bayu. Entah siapa dia sebenarnya? Kesan pertama kenal dengan dia sama sekali gak ada yang istimewa. Apalagi waktu ketemu di foodcourt. Bagiku dia malah terkesan belagu, cuek dan sombong. Tapi kemarin dia berubah menjadi sosok yang pengertian dan sangat humoris. Mampu membuat senyum yang sepertinya sudah terlalu sulit buatku. Dan yang paling membuatku selalu ingat adalah semua prilaku dan kata-katanya mampu mengisi kekosongan yang selam ini aku rasakan. Kosong karena hampa saat aku tak tahu pada siapa harus berpegang. Dia juga yang mengenalkan Tuhan padaku. Setelah sekian lama aku tidak tahu menahu tentang semua itu.

Deerrrt….DertDerttt….

HPku kembali bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Ternyata dari Bayu.

“Kalau mash ngantuk tidur lagi aja, tapi kalau misal gak bisa tidur lagi cepat ambil air wudlu. Nanti pasti kamu bakal lebih tenang”

Aku tersenyum membaca pesan itu. Aku tak langsung membalasnya. Aku menyibakkan selimutku dan menuju kamar mandi. Dinginnya air tak ku rasakan lagikarena aku ingin mengadu kali ini. Mengadu kepada yang memberiku masalah. Karena Dia pasti akan lebih tau aku harus bagaimana.

Selesai berwudlu aku membuka lemari pakaianku. Aku mencari-cari mukenahku yang bertahun-tahun tak pernah ku pakai. Seluruh bagian almari ku rogoh tapi tak kutemukan mukenah itu. Aku segera beranjak keluar kamar dan menuju kamar Bi Minah. Ku ketuk pelan pintu kamar Bi Minah. Dan sesaat kemudian Bi Minah keluar dengan memakai mukenah.

“Non Anes? Kenapa Non?”

“Bibi lagi sholat ya?”

“Iya. Non Anes kenapa malam-malam kok bangun?”

“Gini Bi, Anes mau nyari mukenah Anes, tapi di almari gak ada. Bibi tau mukenah Anes yang dulu itu dimana?”

“Mukenah?” Bi Minah sedikit kaget dan terlihat heran.

“Iya Bi, mukenah Anes yang dulu itu lo, yang ada bunga-bunganya.”

“Oh, iya Non. Bibi yang nyimpen. Mau buat apa Non?”

“Ya mau dibuat sholat Bi. Masa’ mau dibuat nongkrong?hehe…” candaku.

“Oh, sebentar Non. Bibi ambilkan dulu.” Bi Minah masuk ke dalam kamarnya sebentar lalu keluar lagi membwa tas putih bermotif bunga-bunga kecil warna biru yang sangat cantik. “Ini Non mukenahnya.”

“Ya udah. Makasih ya Bi. Maaf ya udah ganggu sholatnya.”

“Iya Non.”

Aku segera naik kamarku lagi walaupun Bi Minah masih menatapku dengan wajah heran namun terlihat lega. Dalam hati dia bersyukur berkali-kali.

Aku menatap cermin saat memakai mukenahku. Aku melihat sosok lain dari bayangan diriku. Sosok yang selama ini selaulu ku cari tapi belum pernah ku dapati dalam diriku. Dan kini sosok itu mulai muncul. Aku tersenyum menatap bayanganku sendiri. “Wajahku terlihat lebih anggun memakai ini.”

Aku menggelar sajadahku dan mulai menunaikan sholatku. Aku masih sedikit ingat pelajaran agama di sekolah dasar dulu tentang praktek sholat. Meski bacaanku memang belum sempurna tapi paling tidak aku memiliki niat tulas untuk memulainya. Saat berada dalam sholat aku merasa semua beban terangkat begitu saja. Semua terasa begitu ringan. Hatiku merasakan ada sebuah kesejukan.

Ketika sholat ku akhiri dengan dua kali salam, tak terasa air mataku menetes. Aku tengadahkan tangan merendahkan diri sebagai makhluk paling lemah dihadapan Tuhan. Dalam keremangan dan kesunyian malam sebuah doa terpancar dari lubuk hatiku yang paling dalam.

“Ya Allah, aku bukan lah siapa-siapa dihadapanMu. Aku tak bisa menyandingi kuasaMu. Aku tak bisa melakukan apa pun tanpa adanya kehendakMu. Ya Allah, aku memang manusia yang terlampau banyak melakukan dosa. Aku manusia yang tak ingat pada Engkau yang telah menciptakan kami dan member kami jutaan nikmat yang tak tertandingi.

Ya Allah, aku memang terlalu hina untuk meminta padaMu. Tapi aku tak tau lagi harus pada siapa aku mencurahkan keluh-kesah ini. Engkau yang memberi kami segala nikmat dan musibah. Dan tentunya Engkau pula yang pastinya memiliki segala solusi dari segala masalah itu.

Ya Allah, aku tak mengerti kenapa pertengkaran orang tuaku terjadi. Aku mengerti kenapa mereka bahkan ingin mengakhiri bahtera rumah tangganya. Tapi tolong Ya Allah. Setidaknya berikan pada mereka hidayah agar mereka tahu bahwa cerai itu adalah pilihan yan tidak perlu diambil.

Ya Allah, aku memang bukan seorang ahli ibadah. Aku juga tak pernah mengerti apa arti beragama. Tapi tolong Ya Allah, berikan kemudahan bagiku untuk kembali meniti di jalanMu. Jalan yang selama ini tak pernah aku tapaki.

Ya Allah, aku tak akan memohon harta padaMu. Aku tak akan memohon materi kepadaMu. Tapi aku hanya memohon kepadaMu Ya Allah. Kabulkanlah permintaan kecilku.Amin”

▪▪▪

Aku berjalan pelan melangkahkan kakiku melewati koridor kampus yang cukup ramai oleh puluhan mahasiswa. Hari ini aku melangkah lebih ringan dari biasanya. Senyumku tewrkembang tiap kali bertemu dengan beberapa orang yang ku kenal. Saat sampai di kantin aku mengedarkan seluruh pandanganku mencari-cari sosok Fira yang tadi telah membari tahukan keberadaannya melalui sms. Ku lihat di sebuah meja kecil yang berada di tengah kantin Fira sedang ngobrol dengan seseorang. Bayu. aku berjalan menghampiri mereka. Tapi hanya tinggal beberapa langkah lagi, seseorang menarik tanganku dengan paksa.

“Dendi?”

“Ikut gue sekarang!!!” kata Dendi singkat.

“Gue gak mau. Firaaaa…..” elakku sambil memanggil-manggil Fira.

“Gak usah teriak-teriak.”

“Lepasin gue gak? Jangan kurang ajar ya?”

“Ikut gue sekarang.!!!”

“Kalo gue bilang gak mau ya gak mau Den, mau lu tuh apa sih?”, Aku berusaha melepaskan cengkraman Dendi. Tapi semakin aku memberontak, semakin kuat Dendi mencengkramku. Akhirnya tanpa sadar aku menamparnya. PLAKKK.

Semua orang memandang ke arah kami. Termasuk Fira dan Bayu, mereka hendak menghampiriku, tapi Dendi dengan cepat menyeretku. Bayu dan Fira berlari mengejar. Sampai di depan ruang admin fakultasku Bayu berhasil mengejar dan melepas genggaman tangan Dendi dariku.

“Jangan kasar sama cewek.” Bayu berkata dengan dingin.

“Ngapain lu? Ini urusan gue sama Anes.”

“Kalo punya urusan boleh-boleh aja mas, tapi gak usah pake kekerasan. Anes itu cewek.”

“Gak usah ikut campur deh.”

“EH, Den. Lu kenapa gak ada kapok-kapoknya sih? Kalo emang ditolak ama cewek gak usah maksa dong.” Fira ikut membelaku setangah berteriak. Aku melihat wajah Dendi memerah karena malu. Rupanya kata-kata Fira tadi cukup keras dan dapat didengar oleh beberapa orang yang ada disana.

“Lu gak apa-apa Nes?” tanya Bayu.

Aku menggeleng sambil memegangi tanganku yang agak merah karena cengkraman tangan Dendi yang cukup kuat.

“Beneran gak apa-apa? Tangan lu gak sakit?” kini Fira yang sedikit panic melihat tanganku.

“Gak apa-apa kok. Ntar juga gak sakit lagi.”

Kami berjalan kembali ke kantin lagi karena memang kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Aku dan Fira memang janjian lebih awal datang karena dia bilang ingin menceritakan sesuatu.

“Kenapa si Dendi tiba-tiba kasar begitu Nes sama lu?” kata Bayu ingin tau.

“Gue juga gak ngerti Bay. Tadi pas gue mau nyamperin kalian di narik gue kasar gitu.”

“Paling di Dendi Cuma gak terima aja lu tolak waktu itu. Dia kan orangnya emang obsesian Nes. Lu yang ati-ati deh sama dia.”

Aku mengangguk. Aku melirik Bayu yang sama sekali tidak melepas pandangannya dariku. Dia seperti kembali ke Bayu yang ku temui saat pertama kali dia pindah ke kampus ini. Dingin. Bahasanya pun kembali ke elu-gue. Tapi aku bisa ngerti. Kalo dia tidak bersikap seperti itu pasti akan banyak yang heran dan menyangka kami punya hubungan.

“Nes kok malah nglamun?” kata Fira membuyarkanku.

“Oh, Eh gak apa-apa kok. Oya lu katanya mau cerita?”

“Ntar aja deh.” Fira berkata sambil melirik kea rah Bayu. aku mengerti kalau dia tidak ingin cerita di depan Bayu.

“Oh, gitu.” Kataku sedikit ragu. Aku berpikir apa mungkin Fira menyukai Bayu, makanya dia tidak ingin bercerita di depan Bayu. “Masa’ iya si Fira suka ma Bayu?” batinku sedikit tak rela. “Eh, tapi kenapa jadi gue yang repot. Bayu kan bukan siapa-siapa gue. Dan Fira juga berhak punya perasaan kayak gitu. Tapi ntar gue mesti gimana? Gak mungkin gue berebut cowok sama sahabat baik gue sendiri.” aku masih sedikit bingung. “Hah? Kok gue ngomong gitu? Jangan-jangan gue juga suka sama Bayu?”

“Fir? Lu kenapa sih nglamun melulu?” Fira mengagetkanku.

“Belum sarapan mungkin. Iya Nes?” Kali ini Bayu yang bersuara.

“Eh? Mungkin iya. Iya, gue laper kali?hehe….” Aku bingung sendiri dengan diriku. “Ya udah, gue pesen makanan dulu ya.” Kataku sambil beranjak menuju stan mie telor.

▪▪▪

“Gue duluan ya?”

“Lho? Mau kemana Bay?” tanyaku saat Bayu tiba-tiba berpamitan. Padahal kuliah masih setengah jam lagi.

“Mau keperpus dulu Nes. Ok ya? Bye.”

Aku memandang punggung Bayu yang berjalan seakin jauh. Selama bersama Bayu perutku selalu mendadak aneh. Seperti biasa. Tapi aku menikmati itu semua. “Apa bener aku lagi jatuh cinta sama Bayu ya?”

“Nes?” Fira menepuk bahuku.

“Eh?” Aku sedikit kaget. Apalagi melihat Fira seperti curiga karena aku terus memandangi Bayu. “Si Bayu tinggi banget ya? Dari belakang gini apalagi. Hehe….” Aku sedikit bercanda agar Fira tak lagi curiga.

“Jadi dari tadi lu ngliatin si Bayu tuh merhatiin tingginya?” kata Fira seperti menahan tawa. Aku mengangguk dan memaksa senyum yang mungkin terlihat sangat garing.

“Eh, tadi mau cerita apa?”

“Oya, hampir lupa. Gue mau erita soal Bayu Nes.” Kata Fira penuh dengan senyuman. “tuh kan, pasti dia suka ama si Bayu.”

“Kenapa si Bayu?”

“Dari pertama ngliat dia gue kepikiran terus Nes ma dia”

“Kenapa?”

“Gue juga gak tau. Awalnya sih gue kira gue Cuma seneng ngliat tampang dia aja yang cool itu, tapi gue malah kepikiran dia terus. Apalagi pas kita ketemu dia kerja part tima di Matos. Gayanya itu lho Nes, cuek tapi kesannya cool banget. Gue juga beberapa kali sms dia. Tanggepannya positif Nes. Dia pasti bales kalo kalo gue sms. Aduh Nes, kayaknya gue beneran suka deh ama dia.” Terlihat wajah Fira sangat berbinar-binar. Aku tau Fira bukanlah cewek yang gampang jatuh cinta. Tapi kenapa aku sama sekali gak rela mendengar ceritanya. Kenapa harus Bayu yang dia cintai. Bukan orang lain. Kenapa harus cowok yang juga aku sukai yang bisa menaklukan hati Fira?

“Menurut lu gimana Nes?”

“Apanya yang gimana?”

“Ya kira-kira gue cocok gak sama di Bayu?”

“Ehm,kalo itu sih tergantung.”

“Tergantung apa?”

“Kalo Bayu juga suka sama lu berarti cocok, tapi kalo gak ya gak cocok Nes.”

“Kalo menurut pendapat lu, Bayu suka juga gak sama gue?”

Aku bingung menjawab pertanyaan Fira yang satu ini. Aku berharap Bayu bukan suka pada Fira. Tapi padaku. Tapi aku tidak mau menyakiti Fira. Bagaimanapun juga dia sahabat yang selalu menemaniku selama ini.

“Nes kok bengong? Menurut lu dia suka juga gak ma gue?”

“Wah, itu sih gue gak bisa jawab. Secara lu tau sendiri gue orangnya cuek bebek sama orang, jadi ya gak suka merhatiin sekitar. Kenapa gak lu coba PDKT aja.” Aku sedikit ngeles. Tapi aku juga menyesal dengan kalimat terakhirku yang menyarankan agar Fira mendekati Bayu. bagaimana kalo Bayu akhirnya juga menyukai Fira? Ya Allah, kok jadi kayak gini sih?

“Selama ini gue Cuma sering sms aja. Kalo telpon gak berani. Takutnya pas dia lagi kerja atau lagi sibuk gitu.”

“Ya, ntar lu juga tau kok dia suka ama lu apa gak. Pelan-pelan aja Non. Ya Udah, udah hampir jam 10.00 nih. Bentar lagi masuk. Yuk?” kataku mengalihkan pembicaraan.



Bayu…

A

ku merasakan HPku bergetar dalam tasku saat kuliah masih berlangsung. Diam-diam aku membuka pesansingkat itu. “Bayu?”

“Selesai kuliah ntar pulangnya sama aku aja. Nanti tak kenalin sama seseorang yang bisa ngajarin kamu”

Aku bingung dengan isi sms dari Bayu itu. “Mengenalkan siapa? Nagajarin apa?”. Aku membalas sms itu singkat.

“Maksudnya?”

Tak lama kemudian balasan dari Bayu datang.

“Katanya pengen kenal sama orang yang bisa bimbing dan ngajarin agama sama kamu.”

Aku baru ngeh sekarang.

“Trus kalo aku bareng sama kamu mobilku gimana? Trus Fira? Apa aku ajak juga?”

Sedikit lama menunggu baru ada balasan masuk.

“Aku gak bawa motor. Jadi pake mobil kamu aja. Mendingan cari alasan biar dia gak ikut. Ini kan Cuma kita berdua yang tau. Nanti malah banyak yang ngomongin kita kalo terlalu banyak yang tau. Nanti aku tunggu di warung tenda depan kampus aja. Kamu jemput aku disitu.”

“Nes, smsan sama siapa sih?”

“Oh, enggak. Ini tadi sama Bunda. Disuruh cepat pulang nanti.”

“Terus aku?”

“Kamu naik taksi gak apa-apa kan Fir? Maaf.”

“Ok, deh. Tapi jangan smsan terusn ntar Pak Teguh bisa ngamuk-ngamuk.”

“He’em.”

Aku lega karena sepertinya Fira tidak curiga tentang kebohonganku. Aku mengalihkan pandanganku pada Bayu. Sekali lagi hati berdesir melihat makhluk Tuhan yang satu itu.

“Bayu…Bayu… kenapa sih kamu baik banget sama aku? Aku jadi semakin sadar kalo aku memang mulai suka sama kamu. Tapi kenapa kamu gak membingungkanku. Susah banget nebak perasaan kamu.” Aku tersenyum sendiri setelah menyadari bahwa aku benar-benar jatuh cinta pada Bayu.

▪▪▪

Aku menghentikan mobil di depan warung tenda tempat janjianku dengan Bayu. Bayu segera masuk dan duduk di belakang setir dan aku pindah ke sampingnya.

“Kita mau kemana nih?” Tanyaku saat Bayu mulai menjalankan mobil.

“Ke rumahku.” Jawabnya singkat.

“Emang orang itu tetanggamu?”

“Ya… kita liat nanti aja ya.” Kata Bayu meninggalkan penasaran dalam benakku dan tersenyum. Aku hanya membalas senyumnya sekilas.

“Nes,”

“Ya?”

“Kita ini aneh ya?”

“Aneh kenapa?” aku memiringkan posisi dudukku menghadap Bayu.

“Kalo di depan anak-anak kayak kaku gitu. Pake gue-elu segala. Tapi kalo udah ngomong berdua jadi aku-kamu gini.”

“Ye….. yang aneh ya kamu. Kan kamu yang mulai Bay. Hehehe…..”

“Tapi kamu juga ngikutin kan?”

“Iya ya?” aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

Bayu kembali konsentrasi pada kemudinya.Kami berdua terjebak dalam diam. Hening beberapa saat sampai akhirnya Bayu kembali membuka suara.

“Nes, gimana orang tuamu?”

“Ya, belum ada perkembangan Bay. Ayah malah nggak pulang. Bunda memang tetap di rumah. Paling hanya ke butik. Tapi dia lebih diam belakangan ini.”

“Tapi belum ada keputusan cerai kan?”

“Belum. Dan aku harap tidak akan ada keputusan itu. Aku Cuma berharap kata-kata itu keluar karena Ayah dan Bunda sedang emosi sesaat saja.”

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

“Aku juga selalu berharap seperti itu.”

“Terus berdoa ya setelah sholat dan kapan saja kamu sempat. Selain it uterus berusaha biar orang tuamu gak bercerai. hal yang paling berat bagi suami-istri untuk bercerai hanya masalah anak. Mungkin kamu akan bisa menjadi alasan mereka untuk terus bisa bersama.”

“Iya. Semoga aku bisa.” Aku tersenyum. “Ngomong-ngomong kamu dewasa sekali ya menyikapi masalah seperti ini.”

“Aku sudah pernah mengalaminya Nes.”

“Maksudmu?”

“Aku juga korban perceraian orang tuaku.” Aku terperanjat mendengar penuturan Bayu.

“Maksud kamu orang tuamu juga bercerai?”

“Ya. Bahkan sejak aku masih kelas satu SMA dulu. Kalau masalah keluargamu adalah wanita lain yang menggoda Ayahmu. Sedangkan masalah keluargaku adalah Ibuku yang menyukai suami orang lain. Aku dan adikku juga sudah memperingatkan Ibu tentang kesalahannya. Tapi Ibuku adalah orang yang keras. Dia sebenarnya baik hati. Tapi cinta terlarang Ibuku pada pengusaha itu membutakannya.”

“Apa pengusaha itu juga menyukai Ibumu?”

“Aku tak tau pasti. Tapi yang jelas dulu pengusaha itu masih bisa bertahan dengan kesetiaannya. Apalagi pengusaha itu dulu hanya sebentar di Bandung. Lalu sekarang dia kembali ke kota asalnya. Tapi ternyata itu tidak membuat Ibuku bisa melupakannya. Ibuku tetap meminta cerai dan sekarang ia mencari lelaki yang dicintainya itu sampai akhirnya luluh oleh perhatian ibuku.” Pandangan mata Bayu menerawang.

“Sekarang bagaimana dengan Ayahmu?”

“Ayahku orang yang paling sabar. Dia masih tetap mencintai Ibuku walaupun Ibuku telah berpaling. Tapi dia tetap menuruti permintaan ibuku untuk bercerai.”

“Kenapa?”

“Karena percuma hidup seraumah tapi hatinya berlabuh ke pulau lain Nes.”

“Apa sekarang kamu membenci ibumu Bay?”

“Enggak lah Nes. Kalo aku benci Ibuku, sama aja aku benci diriku sendiri. Dia yang melahirkan kita. Lagipula dalam Islam kita harus tetap menghargai dan menyayangi seorang Ibu meski bagaimanapun dia. Hanya saja sekarang ada yang membuatku sedikit terbebani.”

“Apa?”

“Adikku seorang perempuan Nes. Aku takut dia yang akan menerima kara dari semua ini. Selain itu aku juga memikirkan bagaimana jadinya keluarga pengusaha itu setelah kehadiran ibuku yang tiba-tiba mengusik keharmonisan keluarganya.”

“Ya, semoga saja adikmu nanti akan mendapatkan suami yang baik yang tidak mudah tergoda oleh rayuan wanita lain. Tidak seperti Ayahku.” Pandanganku menerawang. Aku sama sekali tak memperhatikan ada yang berubah dari air muka Bayu saat ini.

▪▪▪

“Ini rumahku Nes. Silahkan masuk.”

Aku kini menginjakkan kaki di sebuah rumah yang cukup nyaman. Memang besarnya tak sebesar rumahku. Tapi rumah ini rapid an asri. Pagarnya tidak terlalu tinggi sehingga tidak berkesan angkuh. Di bagian depan terdapat Taman kecil yang pinggirannya ditanami tanaman lidah mertua. Ada juga empat pohon palem botol yang tertata acak tapi tetap indah. Di samping-samping sisi taman juga tertanam banyak sekali mawar yang berwarna-warni. Mulai dari mawar merah, putih dan juga mawar kuning. Di bagian tengah ada kolan kecil yang tengahnya memancar air mancur yang memancarkan kesejukan. Beberapa bunga teratai juga mengisi kolam kecil itu

Memasuki rumah mata akan dimanjakan dengan berbagai pajangan khas pulau dewata dan juga lukisan-lukisan bergaya Arab. Rumah ini juga sangat bersih dan rapi. Di dekt pintu masuk juga terpajang beberapa tanaman gantung yang indah. Sejuk, hangat dan nyaman.

“Duduk dulu Nes. Aku panggilkan adik dan Ayahku..”

Aku mengangguk lalu duduk di sebuah kursi yang berhiaskan ukiran bunga-bunga yang indah. Aku melihat ke seluruh ruangan. Tidak ada satu foto pun yang terpajang disana.

Sesaat kemudian muncul Bayu bersama seorang gadis manis. Sepertinya usianya masih 2 atau 3 tahun dibawahku. Kulitnya putih, tinggi dan berjilbab. Sangat anggun.

“Nes, kenalin. Ini Niswah. Nis ini temen kakak namanya Anes.”

“Hai, Anes.” Katku menjabat tangan Niswah.

“Niswah Mbak.” Dia menjabat tanganku lembut. “Jadi ini yang sering diceritakan mas Bayu.”

“Hah? Bayu cerita tentang aku?” kataku sambil bergantian memandang Niswah dan Bayu.

“Niswah……” kata Bayu sedikit memelototi adiknya. “Gak usah didengerin Nes. Niswah emang gitu.”

“Tapi kok kamu pake melototin Niswah begitu? Jangan-jangan kamu suka ngomongin jelek-jelek ya tentang aku?”

“Enggak kok mbak. Mas Bayu sering cerita tentang mbak Anes tapi bukan yang jelek-jelek kok. Semuanya baik.” Kata Niswah lembut.

“Cerita apa aja Nis?”

“Mbak Anes itu baik, kuat, gak cengeng pokoknya yang baik-baik deh mbak” senyum Niswah terkembang manis sekali.

“Udah-udah, Nis mbak Anes diajak sholat dulu sana.”

“Ayo mbak sholat di kamar Niswah. Nanti pake mukenahnya Niswah.”

“He’em.” Aku mengikuti Niswah ke kamarnya.

Kamar Niswah bernuansa biru muda. Di atas tempat tidur terdapat kaligrafi arab yang bagus sekali. Lalu di samping tempat tidurnya ada meja belajar yang ditata sangat rapi. Ada tiga buah foto dipajang di dinding kamar Niswah. Sebuah foto keluarga yang diletakkan paling tengah. Ada Bayu, Niswah dan juga Ayahnya ditengah. Tapi aku sama sekali tidak menemukan foto ibunya. Di sebelah kiri foto itu ada foto Niswah dan Bayu memakai kebaya dan jas. Disitu Bayu terlihat gagah sekali. Foto yang satu lagi Niswah sendiri sedang membawa piala dan berkalung sebuah medali di lehernya yang jenjang.

“Mbak wudlu dulu di kamar mandi ya. Tuh disebelah kamar Niswah kamar mandinya.”

Aku beranjak menuju kamar mandi yang dimaksud Niswah. Aku segera mengambil air wudlu dan saat aku selesai dan keluar dari kamar mandi, aku berpapasan dengan seorang laki-laki seumuran dengan Ayah. Dia tersenyum ramah.

“Temannya Bayu ya?” sapanya.

“Iya Om.” Kataku sembari memberikan senyuman hangat.

“Ya, mau sholat Nak?”

“Iya Pak. Ini baru saja selesai berwudlu. Permisi ya Om, saya sholat dulu.”

“Silahkan. Jangan sungkan ya.” Kata Ayah Bayu sambil lalu.

Saat aku masuk ke dalam kamar Niswah lagi aku mendapati dia melepas kerudungnya. Rambutnya indah. Panjang dan sedikit bergelombang tapi begitu hitam. Cantik sekali.

“Ini mbak mukenahnya. Niswah udah sholat. Jadi Niswah tinggal nunggu mbak aja.”

Aku mengangguk pelan. Masih terkesima melihat betapa anggun dan cantiknya adik Bayu ini. Aku mendirikan empat rakaat dzuhurku. Dan di akhir doa aku kembali memohon keutuhan keluargaku dan juga keluarga Bayu. aneh memang. Tapi dalam hati aku hanya simpati pada cerita tentang keluarga Bayu. Apalagi melihat secara langsung kehangatan di dalamnya. Rasanya tak pantas jika keluarga sebaik ini harus mendapat cobaan seberat itu.

“Sudah mbak? Kelihatannya tadi berdoanya serius sekali?” sennyum Niswah kembali terkembang. Mungkin dia memang hobi tersenyum setiap kali ngobrol dengan orang lain.

“Ya harus serius, kalo doanya gak serius ntar dikira Tuhan lagi bercanda lagi.hehe….”

“Ah, mbak Anes ini bisa aja.”

“Nis, kamu cantik kalo gak pake jilbab gitu? Rambut kamu bagus. Kenapa ditutupin pake jilbab?”

Niswah tersenyum simpul sebelum menjawab pertanyaanku.

“Memang menurut mbak keindahan itu harus diperlihatkan?”

“Ya, bisa diperlihatkan tapi juga mesti di jaga.”

“Lebih penting di jaga atau di pelihatkan?”

“Di jaga dulu lah biar kalo dilihat orang itu lebih bagus lagi.”

“Nah, Niswah tidak mau memperlihatkan keindahan itu tapi Niswah pengen menjaga keindahan itu.”

Aku diam sejenak. Berusaha mencerna setiap kata-kata yang Niswah sampaikan. Tapi aku sama sekali tak paham arti kata manjaga itu.

“Mbak belum faham Nis?”

“Gini deh mbak. Umpamakan kalao wanita itu diibaratkan sebagai buah yang di jual di pasar. Nah, ada buah yang di pasar-pasar tradisional ada buah di toko buah. Yang di pasar kan jualannya pakai keranjang dan buahnya juga asal titaruh gitu aja sehingga banyak yang kemudian busuk. Beda dengan buah yag di jual ti toko semisal istana buah. Buah yang di jual itu beda dengan buah yang akan dicoba sebagai sample kan? Selain itu juga pembeli akan diberi buah yang sudan diberi kemasan sehinggan buah akan tetap segar. Perempuan juga seperti itu mbak. Niswah pengen jadi perempuan yang terhormat. Dijaga seperti buah di istana buah bukan yang mudah busuk seperti yang ada pasasr-pasar.”

Aku mengangguk-angguk paham. Aku menyelami dalam diriku setiap kata yang Niswah katakan padaku. Lalu ku kaitkan semua itu dengan diriku. Aku selama ini tak pernah mengerti bagaimana makna hidup yang pasti. Aku hidup dengan hanya mengenal kata senang. Tanpa aku tahu bagaimana agar hidup senang. Bahkan kata tenang pun baru aku rasakan saat aku bertemu dengan Bayu yang menyadarkanku bahwa aku tak boleh hanyabersyukur ketika nikmat yang datang tapi juga bersyukur saat derita itu datang. Dan kini aku dipertemukan dengan seorang remaja yang jelas secara pengalaman hidup akan lebih banyak diriku. Tapi ternyata dari anak kecil inilah aku menjadi perempuan yang berkaca. Aku yang selama ini hanya bisa bersenang-senang dibuat sadar bahwa disbanding dirinya aku tak ada apa-apanya. “Ya Allah inikah jalanMu atas pintaku agar aku dapat kembali meniti jalanMu.”

“Mbak? Apa yang mbak pikirkan?”

“Eh, mbak memikirkan bagaimana diri mbak selama ini Nis. Mbak Cuma ngerti hidup itu harus sesuai dengan keinginan mbak. Belum ada hal bermanfaat yang bisa mbak lakukan. Tapi melihat kamu yang jauh lebih muda dari mbak mbek seolahdiajak untuk berkaca.”

“Jangan berkaca mbak. Nanti terkesan mbak akan memaksakan diri mbak untuk seperti Niswah. Tapi mbak anggap saja Niswah ini sebagai perbandingan agar mbak punya tekad untuk menjadi yang lebih baik dari Niswah.”

Aku mengangguk tersenyum. Begitu banyak hal yang diajarkan Niswah dalam beberapa menit aku bersamanya. Andai aku selalu bersamanya mungkin aku akan lebih baik lagi.

“Nah, sekarang kita ke depan mbak. Mungkin mas Bayu sudah menunggu disana. Nanti dia bisa sewot sendiri kalo kelamaan nunggu. Hehe…”

▪▪▪

“Oh, jadi ini yang namanya Nak Anes. Pantas Bayu suka menceritakan tentang sampeyan nak. Memang benar kata Bayu. Anes itu cantik.” Komentar Ayah Bayu saat kami berkenalan di rung tamu.

“Memang Bayu suka cerita apa Om?”

“Wah. Banyak. Hampir setiap hari dia menceritakan tentang Nak Anes. Bapak ini sampai penasaran sama nak Anes. Soalnya dari dulu Bayu jarang sekali atu bahkan bisa dibilang tidak pernah cerita tentang teman perempuannya. Tapi kok setelah pindah ke Malang ini dia sering nyebut-nyebut nama nak Anes kalau cerita”

“Ayah ini kok bikin malu sih?” sahut Bayu dengan muka kemerahan menahan malu. Wajahnya lucu sekali.

“Siapa to yang bikin malu? Kamu saja itu lho yang gak PD sama nak Anes.” Sahut Ayah Bayu yang disambut dengan tawa oleh Niswah. Bayu wajahnya kian memerah. Dan menyadari apa yang sebenarnya terjadi aku pun ikut tersenyum.

“Jadi selama ini Bayu sering menceritakan tentang aku pada keluarganya? Tapi kenapa? Apa Bayu juga suka sama aku ya?”

“Nes udah jam dua. Gimana kalo aku anter kamu pulang?” ucap Bayu.

“”He’em, mendingan pulang sekarang. Bunda gk ada yang nemenin. Tapi kalo kamu nganter aku nanti kamu baliknya pake apa?”

“Aku nanti langsung ke Matos kok.”

“Ow gitu. Ya udah.”

“Ya udah Yah, Nis. Anes mesti pulang. Bayu juga mau kerja. Jadi sekalian.”

“Pulangnya ati-ati ya Yu, jangan lupa ambil motormu sekalian.”

“Om, Niswah. Anes pulang dulu. Sudah sore.”

“Iya. Jangan sungkn main lagi ya mbak.”

“Iya, kita pasti nungguin Nak Anes datang lagi. Hati-hati dijalan ya Nak. Salam buat keluarga di rumah.”

“Iya. Assalamu’alaikum.”



Aku sayang Kamu Nes…

Awanya ku tak mengerti

Apa yang sedang kurasakan

Segalabya berubah

Dan rasa rindu itu pun ada

Sejak kau hadir disetiap malam ditidurku

Aku tau sesuatu sedang terjadi padaku

“Lagunya pas banget ma aku sekarang ya? Hehehe…” Batinku saat mobilku malaju dibawah kendali tangan Bayu. sudah sektar lima menit Bayu sama sekali tidak mengatakan apa pun. Kami terjebak dalam diam. Aku jadi bingung sendiri karena tidak tau harus bagaimana. Mau memulai pembicaraan tapi mu bicara apa?

“Nes?” akhirnya Bayu keluar dari diamnya.

“Hem?”

“Kamu kok diem sih?”

“Gak tau sih mau ngomong apa. Lagian kamu juga diem aja dari tadi.” Kukembangkan seulas senyum di bibirku.

“Jadi ceritanya kamu nunggu aku ngomong terus aku juga nunggu kamu ngomong dong.”

“Iya kale.”

“hahaha….” Kami tertawa bersama menyadari kekonyolan kami sendiri.

“Bay, emang bener ya kamu sering ngomongin aku ke Ayah sama Niswah?”

Air muka Bayu sedikit berubah karena pertanyaanku.

“Menuru kamu apa yang mereka omongin bener gak” Bayu malah balik bertanya.

“Lha kok malah tanya lagi?”

“Ya masa’ Ayah sama adikku bohong sama kamu Nes?”

“Iya juga sih? Tapi kenapa kamu ngomongin aku? Kamu kasian sama aku?”

“Kenapa kamu malah berpikir aku ngasihani kamu? Enggak kok Nes. Semua yang aku omongkan ke mereka itu semua hal positif, jadi bukan karena aku kasihan sama kamu.”

“Terus kenapa?”

Bayu diam sejenak sebelum akhirnya mengejutkanku dengan jawabannya, “Aku sanyang kamu Nes…….”

Aku jatuh cinta

Kepada dirinya

Sungguh-sungguh cinta

Oh, apa adanya

Tak pernah ku ragu

Namun tetap selalu menunggu

Sungguh aku

Jatuh cinta kepadanya

Aku masih terjebak diam tak tau harus berkata apa.

“Aku gak tau Nes, kenapa aku bisa ngerasain itu. Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta. Dalam kamusku tak ada kata jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi pada kenyataannya itulah yang aku alami. Pertama kali aku masuk kelas, aku senang melihatmua. Cewek cuek yang manis. Tapi aku pikir saat itu aku hanya merasakan kesan pertama saja. Tapi sewaktu kamu nabrak aku di belokan koridor waktu itu, aku melihat kamu sangat pucat. Aku seperti tak rela melihat itu. Jadi pada waktu aku terus mengikutimu itu aku tau kalau aku sayang sama kamu. Aku Cuma pengen nglindungin kamu. Aku gak pengen kamu larut dalam kesedihan.”

Aku masih bingung karena terperanjat mendengar penuturan Bayu. “Apa aku juga bilang kalo aku juga ngerasain hal yang sama? Tapi aku juga punya sahabat yang juga sayang sama dia?”

“Apa yang kamu pikirin Nes?”

“Aku bingung Bay.”

“Apa yang membuatmu binggung?”

“Perasaanku.”

“Maksudmu?”

“Ya, perasaanku sama kamu.”

Bayu menepikan mobil di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Satu dua orang masih terluhat lewat di sekitar kami.

“Apa yang kamu rasain?” Bayu memirinkan posisinya menghadapku.

“Sebenarnya aku tahu aku ngerasain hal yang sama sama kamu.” Aku berhenti sejenak dan melihat mata Bayu sedikit berbinar. “Dulu aku pikir kamu angkuh dan sombong. Apalagi waktu kamu nyuekin Fira di Matos itu. Tapi semua pandangan itu berubah waktu kamu hadir dan ngikutin aku sampai ke Payung waktu itu. Aku melihat sosok yang lain dalam diri Bayu Yudha Esa Putra. Awalnya ku pikir ini hanya karena aku butuh teman saja dan kebetulan kamu yang hadir saat itu. Tapi aku menemukan hal lain yang membuat aku yakin kalo aku lagi jatuh cinta sama kamu.”

“Apa Ne?”

“Aku selama ini merasa ada yang kurang dalam hidupku. Semua hampa gak ada artinya. Tapi kamu nyadarin aku tentang semua itu. Kamu ngisi kehampaan yang selama ini aku rasain.”

“Jadi?”

“Jadi apa?”

“Kamu juga sayang sama aku?”

“Aku masih ragu untuk bilang itu Bay.”

Wajah Bayu terlihat tak mengerti dengan maksudku.

“Kenapa Nes?”

“Karena ada orang lain juga sayang sama kamu dan berharap kamu juga menyukainya. Dan aku gak mungkin nyakitoin dia Bay.”

“Maksud kamu Fira?”

“Dari mana kamu tahu?”

“Aku hanya menebak saja Nes.”

“Ya, Fira sayang sama kamu Yu. Bahkan sebelum aku menydari kalo aku juga sayang sama kamu.”

“Lalu? Apa masalahnya?”

“Bay, Fira sahabat baikku. Apa kamu pikir aku tega untuk bilang sama kamu kalo aku juga sayang sama kamu sementara sahabat baikku tak pernah melapaskan pikirannya dari kamu?”

“Nes, aku sayang sama kamu, bukan pada Shafira. Dan kamu juga ngerasain hal yang sama. Aku gak minta kamu untuk pacaran atau mengumbar hubungan kita. Aku Cuma minta kamu jujur sama perasaan kamu dan izinin aku buat tetap sayang sama kamu supaya suatu saat ketika sudah waktunya aku mampu memilikimu aku bisa menjadikan kamu satu-satunya wanit dalam hidupku. Masalah Shafira, aku tidak akan bisa memaksaakan cintaku sama siap nantinya. Perasaan itu datang tanpa bisa kita duga. Jadi apa salah kalo aku gak bisa membalas perasaan Fira dan menyayangi kamu.?”

Aku diam. Dalam hati aku membenarkan perkataan Bayu.

“Fir, sekarang kamu cukup jujur, apa kamu juga sayang sama aku?”

Bayu menatap lurus ke dalm mataku. Kupu-kupu indah kembali beterbangan dalam perutku. Tatapan itu benar-benar melemahkanku. Bayu menggenggam tanganku dan kembali berkata……

“Aku sayang sama kamu Fir.”

“Aku juga sayang sama kamu Yu.”



Hancur…

Sudah hampir sebulan semenjak kejadian sepulang dari rumah Bayu itu. Aku dan Bayu tetap berusaha bersikap biasa di depan orang lain. Kami gak ingin banyak orang yang tau tentang perasaan kami walaupun kami memang tidak terikat dengan status apapun, tapi kami tetap saling menjaga peasaan. Aku masih sering datang ke rumah Bayu untuk bertemu dengan Niswah. Aku pikir dengan banyak mengobrol dan ada sharing dengannya akan membuatku lebih baik dan dapat memetik banyak pelajaran. Sebenarnya aku juga ingin Bayu bisa kenal dengan Bunda dan mengajaknya ke rumah. Tapi entah kenapa hingga saat ini Bayu tak pernah mau ku ajak ke rumah. Dia selalu mengatakan ‘belum saatmya’. Aku memang masih tidak mengerti mengapa Bayu berkata seperti itu. Tapi tak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu. Suatu saat pasti Bayu juga akan datang ke rumahku dengan sendirinya sepeti apa yang pernah ia janjikan dulu. Selain itu tinggal satu hal yang sampai sekarang masih mengganjal dihatiku. Fira. Dia belum mengetahui tentang semua ini. Aku masih menutupi semuanya. Aku juga meminta Bayu agar tidak mengatakan apapun. Aku belum siap dan tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya jika mengetahui semuanya.

Sudah sebulan ini aku selalu meminta bi Minah untuk membangunkanku pukul tiga pagi. Bayu memang meneleponku, tapi itu pun tidak selalu. Makanya aku meminta bi Minah untuk selalu membangunkanku jika ia bangun. Selama ini sholat lima waktuku tak pernah tertinggal. Perlahan juga aku mulai mengganti pakaian-pakaianku yang terlalu terbuka dengan yang lebih sopan. Bahkan aku sudah punya pemikiran untuk memakai kerudung. Tapi kata Niswah, “Itu bagus mbak. Tapi mbak harus benar-benar mantap dulu. Seperti sebuah pohon. Ketika kita menanam pohon pastika akarnya tertanam dengan kuat agar tak mudah tumbang jika ada angin yang berhembus dan badai yang menyerang”. Karena itulah aku belum memakai penutup kepala itu. Karena aku masih belum begitu mantap dengan keinginan itu. Bayu sendiri juga tak pernah menuntutku macam-macam. Dia memnag pernah mengatakan bahwa dia ingin memiliki pendamping yang sholihah ketika aku dan dia ada dalam perjalanan kerumahnya beberapa waktu lalu.

“Dari dulu aku selalu memimpikan memiliki istri yang sholihah. Entah itu di luar maupun di dalam.”

Saat itu raut mukaku sedikit berubah. Aku merasa bukan seorang perempuan yang seperti dia sebutkan tadi. Tapi kemudian Bayu kembali tersenyum dan berkata.

“Dan aku rasa aku tidak keliru mencintai perempuan disampingku.”

“Tapi aku bukan perempuan yang berjilbab dan bahkan aku baru beberapa waktu ini mulai berusaha menjadi muslimah yang baik.”

“Justru karena kamu mau berubahlah yang menjadikan kamu sebagai perempuan paling sholihah bagiku”

Aku merasakan wajahku memerah saat itu. Aku benar-benar merasa beruntung kali ini. Meskipun dalam hatiku masih tersimpan berbagai masalah tapi aku tidak pernah merasa sendiri. masih ada Bayu dan keluarganya, masih ada Bi Minah di rumah, dan yang paling penting aku memiliki tempat mengadu dan memohon yaitu Tuhan.

▪▪▪

Sabtu, Pukul 07.00 pagi, di rumahku….

Aku turun untuk sarapan pagi. Keadaan rumahku masih lenggang. “Mungkin Bunda belum bangun, tadi malam kan Bunda datengnya agak malem”. Aku melangkah menuju dapur untuk membuat susu coklat seperti biasa. Ku lihat bi Minah sedang memberesakan peralatan makan yang dipakai tadi malam. Aku mulai mengambil gelas, memasukkan gula dan susu, lalu menuangkan air panas ke dalamnya. Aku aduk-aduk perlahan.

“Bi, Bunda masih tidur ya?”

“Sepertinya iya Non. Bibi belum ketemu nyonya hari ini.”

“Bibi mau masak apa hari ini?”

“Non maunya dimasakin apa?” bibi mengerti jika aku bertanya seperti itu berarti ada menu yang sebenarnya aku inginkan.

“Bibi masak Ayam goreng sama sayur asem dong.”

“Tumben Non pengen sayur asem?”

“Tadi malem mimpi makan sayur asem bi, hehehe….”

“Non Anes nih bisa aja. Ya udah ntar bibi bikinin. Sekarang mau sarapan apa?”

“Ehm, pengen……………. Apa ya? Omelet aja deh.”

“nanti bibi bawakan ke meja makan ya.”

“Ok deh, Bi.” Kataku sambil berlalu menuju ruang keluarga.

Kuletakkan susu coklatku di meja depan TV dan ku raih remote TV. Sebuah stasiun TV swasta menampilkan acara music pagi ini.

Saat kau ingat aku

Ku ingat kau

Saat kau rindu

Aku juga rasa

Ku tahu kau selalu ingin denganku

Kulakukan yang terbaik

Yang bisa ku lakukan

Tuhan yang tahu

Ku cinta kau

Alunan music indah dari suara BCL memenuhi ruang keluarga rumahku. Menemaniku menghabiskan susu coklatku. Bosan hanya melihat TV aku meraih majalah yang ada di bawah meja. Aku membolak-balik halaman majalah itu. “kenapa tidak da yang menarik?”. Aku ingin mengambil majalah yang lain saat mataku tertumbuk pada sebuah amplop warna coklat yang berada di antara tumpukan majalah. Penasaran aku raih amplop itu. Di bagian depan bertuliskan “Kantor Urusan Agama”, dari KUA rupanya? Tapi ini surat apa? Dari keadaan penutupnya surat ini sudah dibuka sebelumnya. Karena ingin tahu aku buka saja perlahan. Dann sat aku tarik surat yang ada di dalamya, betapa hancur hatiku. Tanganku bergetar membaca surat itu. Dadaku berasa naik turaun antara marah dan sedih.

“Anes.” Suara Bunda memanggilku dari balakang.

Air mataku menetes saat memalingkan muka ke arah Bunda.

“Bunda menggugat cerai Ayah Bun?”



Cinta dan Sahabat

“Bay, bisa kita ketemu sekarang?”

Aku mengirim sebuah pesan singkat pada Bayu. tak lama sebuah jawaban muncul di HPku.

“Ada apa Nes?”

Singkat ku balas kembali sms itu.

“Aku pengen cerita sesuatu.”

Balasan dari Bayu kembali muncul beberapa menit kemudian.

“ok, kita ketemu di café biasanya aja. Setengah jam dari sekarang ya.”

▪▪▪

Aku melambaikan tangan saat melihat Bayu di pintu masuk café tempat kami berjanji untuk bertemu. Dia mengenakan celana jeans biru dan kaos biru tua berkerah. Dia berjalan menghampiri mejaku saat dia sudah melihatku.

“Sudah lama Nes?”

“Baru sepuluh menit yang lalu aku sampai.”

Seorang pelayan datang membawa buku menu. Aku memesan juice alpukat untukku dan juice melon untuk Bayu. setelah pelayan itu pergi Bayu langsung memburuku dengan sebuah pertanyaan.

“Kamu baru menangis Nes?”

Aku masih diam. Hatiku masih terlalu sakit untuk mengingat kejadian pagi ini, bahkan untuk menceritakannya aku tak kuat.

“Ceritakanlah, mungkin bebanmu akan sedikit berkurang.”

Aku menatap Bayu dengan mata yang kembali berair. “Ayah dan Bunda akan bercerai Bay.”

Mata Bayu membulat mendengar penuturanku. Dia menatap jauh ke dalam mataku.

“Tadi pagi gak sengaja aku nemuin surat di bawah meja ruang keluarga. Karena penasaran aku membukanya. Dan ternyata itu surat gugatan cerai Bunda terhadap Ayah.”

Bayu mengusap air mataku dengan jarinya. “Jangan menangis. Kamu kuat nes.”

“Aku gak tau Bay, selama ini setiap kali Ayah pulang ke rumah Aku selalu berusaha menunjukkan agar Ayah tau aku begitu sayang padanya dan tak ingin melihat mereka berpisah. Begitu oula pada Bunda. Tapi semua itu tak mampu membuat mereka untuk merubah keputusannya.”

“Nes, mungkin menurut mereka ini yang terbaik. Mereka juga akan tetap menyayangimu karena meski mereka menjadi mantan suami dan mantan istri, mereka tak akan pernah merubah status orang tua menjadi mantan orang tua.”

“Kamu tau Bay? Rasanya aku ingin menemui tante Nuri dan meminta padanya untuk melepaskan Ayah dan berusaha melupakannya. Aku benar-benar tak ingin Ayah dan Bunda berpisah. Baru saja aku mendapatkan kasih sayang mereka. Tapi lihat sekarang, semua itu harus pergi dariku. Secepat itu Bay. Terlalu singkat.”

Wajah Bayu seperti menegang mendengar kata-kataku barusan. Dia seperti terlihat bingung dan marah.

“Aku tidak menyalahkan tante Nuri Bay, aku masih ingat kata-katamu bahwa cinta itu tidak bisa diduga datangnya dan kepada siapa. Tapi paling tidak tante Nury harusnya tau bahwa Ayah telah beristri dan punya anak. Aku benar-benar ingin marah Bay. Tapi aku tidak tau harus marah pada siapa.”

“Nes, sabar. Mungkin memang Ayah dan Bundamu merasa ini adalah yang terbaik. Yang penting selama ini kamu terus berdoa dan berusaha kan?”

Aku menunduk mendengar kata-kata Bayu itu. Untuk beberapa menit kami diam. Kami menyelami pikiran masing-masing. Kepalaku masih pusing memikirkan hal ini. Tapi tiba-tiba….

“Anes! Bayu!”

Sebuah suara memanggil aku dan Bayu. aku mendongakkan kepalaku dan melihat Fira berdiri bersama Dendi disamping meja tempatku dan Bayu berbicara tadi.

Fira terlihat marah dan kecewa. Aku panic, begitu pul dengan Bayu.

“Jadi ini Nes? Heh? Jadi begini? Selama ini lu setia ngedengerin erita gue tentang semua perasaan gue ke Bayu tapi lu malah ngedeketin Bayu.”

“Nes, dengerin gue dulu Nes!” pintaku.

“Ngedengerin apalagi? Gue selama ini udah curiga sama lu. Tapi gue berusaha buat tetap percaya sama lu. Tapi setelah gue liat deganmata kepala gue sendiri, gue gak bisa maafin lu lagi Nes.”

“Fir, Anes gak salah. Lu mesti dengerin dulu penjelasan kita. Emua Cuma kesalahpahaman aja.” Bayu ingin menjelaskan karena tak tega melihat air mataku yang semakin jelas mengucur.

“Udahlah Bay. Gak perlu sok jadi pahlawan kesiangan. Seharusnya gue sadar dari awal tentang semua ini.” Fira pergi meninggalkan kami bertiga. Aku lemas terduduk di atas kursi. Tak mengerti harus bagaimana.

“Nes…Nes… gue selalu bisa ngedapetin apa yang gue mau. Jadi sekali lu nolak gue, lu bakal terima akibatnya. Gue gak bisa ngedapetin lu. Tapi gue bisa bikin lu kehilangan sahabat dn cinta lu ini.” Dendi berkata licik, membuat keningku berkerut tak mengerti.

“Apa maksud lu?” Bayu angkat suara, seolah menyuarakan apa yang ingin ku tanyakan.

“Lu berdua liat kan, gue bisa bikin Fira gak percaya lagi sama lu. Dan kalo gue mau sekarang juga gue bisa bikin lu kehilangan Anes.” Kata Dendi pada Bayu.

“Mau lu tuh apa sih?” Bayu terpancing emosinya. Tangannya terkepal seolah ingin menghakimi Dendi. Tapi aku mencegahnya.

“Mau lu apa sih Den?’ kini aku yang angkat suara.

“Lu seharusnya lebih memilih gue ketimbang cowok munafik ini Nes.”

“Munafik?” aku memandang Dendi dan Bayu bergantian. “Gak usah bertele-tele deh Den. Maksud lu tuh apa bilang si Bayu munafik.?”

“Kenapa gak lu tanya sama Bayu lu yang sok alim ini?”

Aku bingung. Apa sebenarnya maksud dari Dendi. Aku menoleh ke Bayu meminta jawaban atas semua kebingunganku.

“Jangan dengerin Dendi Nes, dia licik.”

“Oh, gue licik. Ok. Kalo gitu lu gak ngasih gue pilihan selain nyerahin kertas yang gue dapet dari kantor admin ini sama Anes.” Dendi melemparkan kertas itu padaku.

Aku membuka kertas itu perlahan. Bayu terlihat menunduk lesu. Aku pun terbelalak membaca kertas yang ternyata fotocopy akte kelahiran itu.

“Pada hari: senin, tanggal:20, bulan: November, tahun: 1989 telah lahir seorang bayi berjenis kelamin:laki-laki, dari pasangan suami dan istri: Muhammad Hasanudin dan Nuri Anggraeni yang diberi nama :Bayu Yudha Esa Putra.”



Maafkan Aku

Tolong aku sahabatku

Dengarkan jerit hatiku

Tentang dia, tentang dia

Masih slalu tentang dia

Ajak aku bersamamu

Kemanapun engkau mau

Tenangkan aku, tenangkan aku

Oh, slalu tenangkan aku

Dia pernah membuatku merasa sempurna

Hingga akupun menjanjikan selamanya

Namun ternyata mimpi yang dia punya

Berbeda… berbeda…

Aku takkan bisa hidup tanpa dia

Dia yang membuat aku bahagia

Tolong aku untuk melupakan dia

Sungguh hanya itu

Yang aku pinta…….

Alunan lagu sendu itu seolah mewakili hatiku. Setiap nadanya bergema di dinding kalbuku. Suaranya yang syahdu memenuhi kamarku.

Aku menatap kosong ke arah jendela kamarku. Ku lipat kakiku dan ku peluk erat bantalku. Sudah tiga hari aku mengurung diri dirumah. Aku tidak pergi ke kempus dan tidak pergi kamanapun. Hanya di rumah. Dan di rumah pun aku hanya mengunci diri di kamar. Semua hal ku lakukan di kamarku. Tidur, melamun, sholat, semuanya ku lakukan disini. Hanya jika Bunda memintaku untuk makan bersamanya maka aku akan turun.

“Anes, apa yang sebenarnya terjadi hingga kamu jadi seperti ini Nak?” tanya Bunda dua hari yang lalu.

“Anes gak apa-apa Bunda.” Jawabku sambil mamaksakan sedikit senyuman.

“Apa semua ini karena Ayah dan Bunda?”

“Kenapa Bunda bertanya seperti itu?”

“Bunda hanya takut Nes. Bunda gak mau kamu ikut menderita.”

“Sudahlah Bunda, semua sudah terjadi.” Kataku mengakhiri percakapan di meja makan itu.

▪▪▪

Selasa pagi, di kampus…..

Bayu mencari-cari Fira di kantin. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi kantin dan mendapati Fira di maja pojok sendirian. Bayu melangkahkan kaki mendekati meja itu.

“Fira? Bisa kita bicara?”

Fitra mendongakkan kepalanya untuk mencari tau siapa yang tiba-tiba datang memintanya untuk berbicara. Tapi ketika dia melihat Bayu yang datang bukannya mempersilahkan duduk, malah dia berdiri maraih tas dan hendak pergi. Bayu segera meraih lengannya dan berkata…

“Dengerin penjelasan gue, setelah itu lu boleh melakukan appun dan gue gak bakal ganggu lu lagi.” Katanya tegas. Fira luluh. Dia kembali duduk di kursinya semula.

Bayu mengambil kursi di samping Fira dan mengambil nafas panjang sebelum akhirnya memulai pembicaraan.

“Fir, sebelumnya gue minta maaf atas kejadian kemarin. Semua yang lu liat gak seperti yang lu kira. Gue datang dan tinggal di Malang bukan buat cari musuh apalagi sampai ngerusak persahabatan orang. Gue mang sayang sama Anes. Begitu juga dengan Anes. Tapi sebenarnya dari awal dia pengen ngalah sama lu karena dia tau kalo lu juga suka sama gue. Dia gak pernah mau nyakitin lu. Tapi kenyataannya memang gue sayang sama Anes Fir, bukan sama orang lain. Klopun Anes mengalah buat lu, itu belum tentu bisa bikin gue berpaling ke lu atau cewek yang lain kan? Dari awal gue pengen langsung jelasin ke lu, tapi Anes selalu bilang tunggu waktu yang tepat karena dia gak pingin lu salah paham. Anes gak pernah berniat nyakitin lu Fir. Pada dasarnya dia juga tersakiti ketika dia ada dalam maslah ini. Belum lagi berbagai macam masalah yang dia alami. Dia gak seburuk yang li kira Fir. Jadi gue mohon jangan pernah tinggalin Anes sendirian. Dia butuh seseorang di sampingnya.’

Fira berkaca-kaca mendengar penuturan Bayu. Nafasnya naik turun menahan emosi. Dalam benaknya ia tau bahwa ia sebenarnya gak berhk untuk marah karena dia hanya menyukai Bayu, tapi bukan pemilik Bayu.

“Kenapa bukan lu yang nemenin dia Bay?”

“kalo gue yang nemenin dia, dia malah akan tersakiti Fir.”

“Maksud lu?”

“Orang tua Anes cerai Fir. Dan orang ketiga yang menyebabkan keretakanhubungan mereka adalah nyokab gue. Awalnya memang Anes gak tau. Tapi dia salah faham gara-gara Dendi. Dan dia pikir gue Cuma kasian sama dia. Dia marah dan pernah mau ngangkat telpn atau bales sms dari gue.”

“Ya Tuhan, jadi semua ini gara-gara Dendi?”

“Ya, begitulah Fir.”

“Sekarang dimana Anes. Dua hari ini dia gak ke kampus kan?”

“Itulah yang ku khawatirkan sekarang.”

“Ok, kita kerumahnya sekarang Yu.” Mantap Fira mengajak Bayu.



Titik Terang

Tok….tok…..tok…..

“Anes, ada Fira di bawah Nak……” panggilan halus Bunda membuyarkan lamunanku.

“Fira? Apa dia sudah maafin aku? Tapi kenapa secepat itu?” segera ku tepis pertanyaan-pertanyaan itu dan beranjak dari tempat tidur. Ku sempatkan untuk melihat penampilanku di kaca rias agar tak terlihat terlalu kacau. Sayangnya mataku tetap sembab. Tapi biarlah yang penting Fira sudah mau menemuiku.

Aku menuruni tangga perlahan dan mendapati Fira sedang duduk di ruang tamu. Dia berbincang dengan Bunda.

“Tante juga gak tahu menahu Fir kenapa Anes jadi mengurung diri seperti itu. Tante pikir ini semua memang salah tante da Om. Tapi setiap kali tante bertanya dia selalu tidak mau menjawabnya.”

Sayup-sayup ku dengar Bunda berkeluh-kesah pada Fira tentang perubahanku belakangan ini. Aku memang tak pernah buka mulut pada siapapun tentang semua masalah yang kuhadapi.

“Anes?” Fira menyapaku saat menyadari keberadaanku.

“Ya sudah Fir, tante ke dalam dulu. Ngobrol sama Anes dulu ya.”

“Iya tante.”

Aku duduk menghadap Fira.

“Lu kenapa Nes?”

“Gue gak apa-apa Fir, ada apa?” kataku dengan senyum yang terpaksa.

“Gak usah bohong, katanya kita sahabat, tapi pake bohong segala.” Kata-kata Fira sedikit menyindirku.

“Maafin gue ya Fir?’

“Maaf buat apa?”

“Masalah Bayu. dan semua kesalahpahaman kita kemarin. Gue gak ada maksud buat nyakitin lu.”

Fira tersenyum. “Gue kali yang harusnya minta maaf sama lu Non.”

Aku mengangkat wajahku. “Bayu udah ngejelasin semuanya. Dan gue juga sadar kalo seharusnya gue gak perlu marah-marah sama lu. Lu juga punya hak buat sayang sama Bayu. bayu sendiri juga sayang sama lu kan? Jadi yang lebih cocok sama Bayu ya lu Non.”

“Tapi lu kan……”

“Tapi apa lagi sih? Gue emang sayang sama Bayu tapi bukan berarti gue ngelarang lu buat sayang sam Bayu kan? Lagian Bayu juga sayang banget sama lu. Cowok gak Cuma Bayu buat gue. Ntar juga ada kok cowok yang nyantol ma gue, hehehe…”

“Gue udah gak ada apa-apa lagi sama dia Fir.”

“Maksud lu?”

“Dia gak sayang sama gue. Dia Cuma kasian dengan kondisi keluargaku.”

“Tau dari mana lu?”

“Dia itu anak dari perempuan yang selingkuh sama Ayah gue. Dia pasti Cuma diliputi rasa bersalah jadi dia bilang sayang sama gue. Lagian juga gue gak mau bikin nyokab tambah sakit ati.”

“Meskipun kamu berhubungan dengan anak perempuan yang udah bikin Bunda sakit hati dan harus menyandang status janda, Bunda gak akan ngelarang sayang, Bunda lebih seneng liat kamu bahagia.” Bunda tiba-tiba muncul dari dalam. Ternyata sedari tadi dia mendengarkan pembicaraanku dan Fira.

“Nyokab lu aja percaya sama perasaan lu. Kenapa jadi lu yang takut sih?”

“Gue masih sayang sama Bayu, tapi dia kan gak sayang sama gue fir….”

“Gue punya bukti kalo dia masih sayang sama lu.”

“Maksud lu?”

“Bayu mang bener-bener sayang sama lu Nes. Buktinya dia sekarang lagi nunggu lu di depan.”

“Apa?”

“Gak percaya? Tuh liat aja di depan rumah lu!!!”



Aku tak bisa

Aku berjalan menuju teras depan untuk melihat apa benar Bayu ada disana. Dan ternyata memang benar dia ada disana. Aku berjalan pelan menghampirinya.

“Bayu?”

“Nes….”

“Ngapain kamu disini?”

“Aku pengen minta maaf sama kamu Nes.”

“Minta maaf buat apa?”

“Kesalahpahaman kita.”

“Kenapa kamu gak jujur kalo tante Nuri itu ibu kamu?”

“Karena aku sayang sama kamu dan gak pengen kehilangan kamu.”

“Harusnya kamu jujur dari awal Bay.”

“Aku minta maaf Nes.”

Aku tersenyum simpul.

“Kamu mau kan maafin aku Nes?”

“Aku udah maafin kamu sebelum kamu memintanya kok Bay.”

“Terus?”

“Hah? Terus? Apa?”

“Kamu masih sayang kan sama aku Nes.?”

“hem….Iya….”

“Bener Nes.”

“Iya Bay. Tapi maafin aku, aku gak bisa balik sama kamu seperti dulu.”

“Kenapa?”

“Aku ngerasa belum pantas sama kamu.”



My love For My Life

Bagaikan tetesan hujan dibatasan kemarau

Berikan kesejukan

Yang lama tak kunjung datang

Menghapus dahaga jiwaku akan cinta sejati

Betapa sempurna

Dirimu dimata hatiku

Tak pernah kurasakan

Damai sedamai bersamamu

Tak ada yang bisa yang mungkin kan mengganti

Tempatmu……

Kau menbuat ku meras hebat

Karena ketulusan cintamu

Ku merasa teristimewa

Hanya karena

Karna cinta

Kau beri padaku sepenuhnya

Buatku slalu merasa berarti………

Tangga-Hebat, lagu ini yang kini menemani perjalananku ke rumah seseorang yang sudah lama tak ku kunjungi. Bayu. Hari ini aku akan menemuinya dirumah karena dia tak muncul di kampus. Aku sudah mengirim sms ke Niswah, dan dia bilang Bayu ada dirumah sekarang.

Aku sengaja tidak menghentikan mobilku di depan rumah Bayu untuk memberikan kejutan. Aku masuk perlahan dan berjalan pelan dari gerbang menuju ke rumah induk. Aku lihat saat ini Bayu sedang melamun di kursi teras rumahnya.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam” Bayu menjawab. Tanpa menoleh.

“Bayu?” akhirnya dia menoleh dan kaget melihatku.

“Anes? Ini kamu?”

“Iya. Kenapa Bayu?”

“Kamu berjilbab?’

“Iya. Aku memakai jilbab. Jelek ya?”

“Enggak. Kamu pantas sekali. Tapi kenapa?”

“Ya karena aku sedang menyukai seseorang yang mencari seorang wanita sholiha luar dan dalam untuk menjadi istrinya kelak.”

“Tapi kamu bilang kemarin?”

“Iya, aku memang bilang aku belum pantas buatmu, tapi hari ini aku ingin memintamu untuk kembali karena aku ingin menjadi lebih pantas.”

“Karena ini kamu berjilbab?”

“Ini sudah niatku. Dan karena aku telah menemukan cintaku yang khusus Tuhan berikan untukku dan hidupku. You’re My Love for My Life.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun