Mohon tunggu...
Nahla Fauza
Nahla Fauza Mohon Tunggu... -

Perempuan berpena

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

My Love for My Life

22 September 2012   06:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

ku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutku yang basah. Ku tatap wajahku di kaca riasku. Sayu. Tangisanku tadi malam membuat bekas hitam dilipatan mataku. Aku mencba tersenyum agar terlihat labih ceria. “All is well”, batinku menirukan gaya Amir Khan dalam film 3idiot.

Aku berjalan keluar kamar ingin menuju ke dapur untuk membuat susu coklatku. Ku lihat bi Minah sedang mencuci peralatan makan. Aku menghampirinya.

“Kenapa Non? Mau dibikinin sesuatu?” bibi menawariku.

“Tadinya mau bikin susu coklat aja. Tapi mau deh kalo dibikinin omelet bi. Hehe…..” kataku nakal.

Bi Minah tersenyum, “iya deh, susu coklatnya mau sekalian atau mau bikin sendiri?”

“”kalo susunya bikin sendiri aja deh bi.”

“Ya udah. Itu susunya ada di meja Non, nanti omeletnya bibi antar ke meja makan deh.” Kata bibi sambil mulai memanaskan penggorengan.

“ok deh Bi.”

Aku segera meracik susu coklat pagiku dan membawanya ke ruang keluarga masih dengan mengenakan piyamaku. Kuraih remote TV dan menyalakannya. Sebuah acara gossip memenuhi layar televisiku. Berita perceraian artis. Aku jengah melihatnya. Segera aku ganti ke acara live music. Lagu Pelan-Pelan saja dari KOTAK mengalun indah. Ku teguk sedikit susu coklat hangatku saat kemudian Bunda datang.

“Anes? Gak kuliah?” tanya Bunda sambil duduk disebelahku.

“Jam Sembilan Bun kuliahnya. Tumben Bunda pagi-pagi masih dirumah?” tanyaku sedikit heran.

“Bunda lagi malas Nes keluar rumah.”

“Kenapa? Habis tengkar semalam?” tanyaku menembak.

“Kamu dengar semuanya Nes?”

“Iya Bun. Emang beneran Ayah kayak gitu Bun?” aku mulai menyelidik.

“Bunda gak mungkin menuduh tanpa bukti Nes.” Bunda menerawang dalam.

“Apa buktinya Bun?”

“Kemarin lusa saat Bunda sedang meeting di luar dengan klien Bunda dari Jakarta di sebuah restoran, Bunda ketemu sama ayah kamu. Waktu Bunda mau menyapanya Bunda melihat wanita yang sangat Bunda kenal ada di samping ayah kamu. Menggandeng tangan ayah kamu mesra sekali.”

“Siapa Bun?”

“Dia teman lama Bunda waktu dulu masih kuliah di Bandung Nes.”

“Anes kenal Bun sama dia?”

“Ya, tentu kamu mengenalnya. Dia sering berkunjung ke butik bunda kalau sedang main ke Malang.”

Aku sedikit berpikir sambil mengerutkan keningku, mengingat-ingat deretan nama teman bunda yang aku kenal. Tapi belum sampai aku menjawab Bunda kembali membuka suara.

“Dia adalah tante yang sering kamu bilang baik dan cantik itu.”

“Tante Nuri?” aku berharap Bunda menggeleng karena yang aku tahu Tante Nuri adalah orang yang sangat baik, cantik, keibuan dan lembut. Jadi ku piker tak mungkin dia mau mengganggu rumah tangga orang lain, apalagi teman baiknya sendiri sepeti Bunda. Tapi sayang harapanku sia-sia oleh anggukan Bunda.

“Memang dia yang Bunda lihat waktu itu bersama ayahmu Nes.”

“Mungkin Bunda salah faham. Bisa saja kan Tante Nuri itu klien Ayah di kantor.”

“Nuri bukuan seorang pebisnis Nes. Dan kalau pun mereka berposisi sebagai klien, tidak mungkin dia menggandeng lengan ayahmu seperti itu. Terlalu mesra untuk ukuran dua orang yang berbisnis.”, mata Bunda teruhat mulai berkaca.

Aku tak tahu arus berkata apa. Aku masih tak percaya jika Ayah berbuat semacam itu. Rasanya tak mungkin, sebab Ayah yang ku kenal selama ini bukanlah orang yang gampang tertarik pada wanita. Ayah adalah orang yang setia. Meskipun aku tak pernah begitu dekat dengan orang tuaku, tapi aku mengenal mereka dengan cukup baik.

“Non, omeletnya sudah jadi.” Suara bi Minah membuyarkan lamunanku.

“Taruh meja makan aja bi.” Seruku pada bi Minah tanpa beranjak dari ruang keluarga. “Bunda sarapan bareng sama Anes yuk. Tadi bi Minah bikinin omelet. Kita kan udah lama gak sarapan bareng Bun?”

Bunda tersenyum dan mengangguk lalu mengikutiku ke ruang makan. Aku meminta bi Minah untuk mengambilkan satu piring lagi untuk Bunda. Akhirnya kami pun sarapan bersama pagi ini. Rasanya ini sudah sangat lama tak terjadi. Selama ini Bunda selalu berangkat pagi ke butiknya dan toidak pernah sempat sarapan di rumah. Tapi hari ini dia ingin menenangkan diri di rumah dan aku ingin dia tidak sendirian.

“Nes, Bunda minta maaf ya kalau selama ini bunda dan ayah jarang ada di rumah dan jarang sekali memperhatikan kamu. Kami selalu sibuk dengan urusan kami masing-masing.” Bunda mengawali pembicaraan itu sambil sejenak berhenti makan.

Reflek, aku pun menghentikan makanku dan menatap Bunda yang kini juga menatapku. Aku tersenyum.

“Selama ini Anes berusaha ngerti kok Bun, Ayah dan Bunda kerja keras juga buat Anes kan? Yah, meskipun dalam hati Anes seenarnya keewa karena yang Anes butuhkan bukan Cuma uang. Tapi kasih saying dan perhatian Ayah dan Bunda juga.”

Bunda menatapku. Sayu dan tersenyum. Aku melihat kemipripan yang sangat kental dari wajah Bunda dengan wajahku.

“Makanya Nes, bunda minta maaf. Yang Bunda piker selama ini Cuma bagaimana kamu gak kekurangan dan semua keinginan kamu terpenuhi. Tapi Bunda melupakan satu hal yang paling penting selain itu.”

“Gak apa-apa Bun, asal setelah ini tidak akan nada hal-hal seperti itu lagi ya Bun?” kataku berseringai tawa. “Ya udah diterusin dulu makannya Bun, aku kan habis ini mesti berangkat kuliah.”, anggukan Bunda menjawab kata-kataku.

▪▪▪

Aku masih terlihat murung saat masuk kampus. Tapi aku tetap mengulum senyum pada setiap orang yang ku temui. Aku senang Bunda sudah mulai sadar akan perannya sebagai orang tua dan sudah mulai terbuka denganku. Tapi entah kenapa rasa takut akan perceraian orang tuaku masih begitu jela terbayang di mataku. Selain itu aku juga masih belum yakin kalau Ayah benar-benar ada main dengan tante Nuri yang baik hati itu.

“Hai Nes….!!!!!” Sebuah suara yang cempreng mirip kaleng kerupuk yang dibanting itu mampir ke telingaku. Membuatku reflek menoleh sambil terlonjak kaget.

“Eh, ngagetin orang aja lu!!!” kataku setelah aku berhasil mengatur adrenalinku.

“Biasa aja kaleeeee…. Hehehe, gak usah pake acara kaget begitu.”

“Lu kira suara lu merdu apa? Cempreng tuh, gimana gak bikin orang kaget.”, kataku sedikit bergurau.

“Enak aje lu. Kata Papi gue suara gue tuh gak cempreng tapi sexy tau…..” kata Intan ngeles. Aku menahan tawa.

“Papi lu Cuma menghibur tuh, gak tega di bilang terang-terangan sama lu kalo sur lu tuh karang kaleng kerupuk yan ditendang terus mental ampek Paris.” Gurauku sukses membuat Intan melipat wajahnya.

“Lu tuh ye, emang paling bisa ngatain orang.”

“Hehehe…. Iya-iya deh Non, gak usah pake ngambek lah. Gue kan Cuma becanda.” Kataku pada Intan. Intan adalah sahabatku juga seperti Fira. Hanya saja kami tidak satu fakultas. Tapi meski begitu Intan adalah teman yang selalu ada disaat orang lain membutuhkannya. “Eh, BTW, kok tumben ya lu pagi-pagi gini udah ada di kampus? Ada kuliah pagi ya?”

“Enggak sih, tapi gue mesti ngumpulin tugas ke Pak Wildan. Ini aja udah telat 2 hari gue ngumpulinnya gara-gara filenya ilang. Untung masih dikasih dispensasi nyampek hari ini.”

“Wah, harusnya tuh dosen gak usah ngasih dispen segala tuh. Hehehe…..” candaku.

“Ah, lu sih emang gitu Nes.” Kini Intan beneran cemberut.

“Hehehe…iya Non maaf maaf deh….” Lagakku sambil memohon-mohon memelas pada Intan. Kami memang kerap saling mengejek untuk bercanda. Tapi justru itulh yang membuat kami sering kangen satu sama lain.

“Lu sendiri ngapain Nes?”

“Gue emang ada kuliah pagi ini. Nih 10 menit lagi bakal mulai kuliahnya Pak Hasan. Ya udah ya Tan, gue cabut duluan. Bye Tan!” kataku sambil lalu.

“Tan? Emang gue tante-tante apa? Dasar!!!” begitu tanggapan Intan yang masih sempat ku dengar. Dia memang paling tidak suka dipanggil dengan kata “Tan”, katanya jadi kayak tante-tante. Tapi emang semua teman-temannya memenggil dia seperti itu. Jadi udah kebiasaan deh manggil Intan kayak gitu. Hehe…

Aku berjalan menaiki tangga menuju kelasku di lantai dua. Sebenarnya semenjak kejadian tadi malam aku sama sekali malas melakukan segala hal. Semua masalah yang ada seolah berputar dikepalaku. Pening dan penat. Semuanya menjadi satu. Aku juga tidak pernah bisa membayangkan bagaimana jika nanti Bunda dan Ayah benar-benar bercerai. semua hal-hal buruk berputar di kepalaku membuatku benar-benar lupa dengan keadaan sekitarku. Bahkan aku pun lupa kalau saat ini aku sedang berjalan. Akhirnya aku pun tak sengaja menabrak seseorang di belokan terakhir menuju kelasku.

Buugggg…

“Aduh…….!!!!” Terdengar suara orang yang ku tabrak mengaduh kesakitan. Aku dengan panic ingin segera minta maaf dan membantunya.

“Maaf ya, gue gak seng……” kata-kataku terputus melihat siapa orang yang ku tabrak tadi. “Bayu??? Lu gak apa-apa? Maaf ya gue gak sengaja.”

“Oh, gak apa-apa. Gue tadi juga gak liat-liat jalannya. Eh, lu kenapa Nes? Kok pucet gitu? Sakit?” tanya Bayu sedikit panik ketika menatap wajahku.

“Gue gak apa-apa kok.”

“Mata lu? Habis nangis ya?” pertanyaan Bayu langsung tepat pada sasaran. Aku bingung harus menjawab apa. Tapi belum sempat aku mencari alas an Bayu sudah menjawab kebingunganku. “Gue gak punya maksud apa-apa. Cuma mau ngingetin aja Nes, sebelum yang lain juga liat wajah lu pucet dan sembab gitu mendingan lu cuci muka bentar biar agak seger.”

“Oh, eh, iya. Makasih Yu.” Kataku sambil berlalu dari hadapannya menuju toilet untuk sekedar cuci muka.

Aku menatap wajahku dalam cermin. Memang wajahku sangat pucat dan sembab. Mungkin bisa dibilang ini berantakan. Tapi aku sama sekali tak memikirkan itu. Yang ada dipikianku saat ini Cuma Ayah dan Bundaku. Semua kata-kata Bunda tadi pagi masih terngiang-ngiang dibenakku. “Apa bener Ayah selingkuh?apalagi Bunda bilang dengan tante Nuri”. Aku segera membuang semua pikiran itu dan keluar dari kamar mandi.

Saat masuk ke dalam kelaa aku mekewati tempay duduk Bayu. Sekilas aku melihatnya. Dan saat itu dia juga melihat ke arahku yang sedang berjalan. Aku merasa ada kupu-kupu dalam perutku yang tebang kesana-kemari. Aku segera memalingkan mukaku dan mengambil tempat duduk disamping Fira. Saat aku duduk Firi menatapku.

“Lu kenapa Nes?”

“Hah? Gue? Kenapa?”

“Lu sakit ya? Lu pucet banget Nes. Kalo sakit mending lu pulang aja Nes.” Saran Fira terlihat begitu cemas.

“Gue gak apa-apa kok Fir .” kataku sok sehat meski sebenarnya kepalaku begitu pusing.

“Beneran?” Fira masih belun yakin.

Aku mengangguk mantap untuk menghilangkan kecemasan diwajah Fira. Dan sesaat kemudian Pak Hasan datang dan memulai kuliahnya.

▪▪▪

Dua jam dalam ruangan ini seolah tak ada gunanya buatku. Semua hal yamg dijelaskan oleh Pak Hasan dan dipresentasikan oleh beberapa mahasiswa sama sekali tak ada yang nyantol di otakku. Pikiranku berada sangat jauh dari tubuhku yang kini berada dikelas. Ditambah lagi dengan posisi tempat dudukku yang berada tempat di belakang Bayu. Konsentrasiku pecah saat secara tidak sadar aku memperhatikannya. “Memperhatikannya? Apa-apa gue? Jangan-jangan gue…… Enggak mungkin. Itu gak mungkin banget terjadi. Ini pasti Cuma gara-gara kondisi gue yang lagi banyak masalah. Ya, pasti Cuma karena gue lagi banyak pikiran aja.”, kataku meyakinkan diri.

Tiga jam telah berlalu. Pak Hasan menyudahi kelasnya. Dan begitu beliau keluar aku pun berpikir agar aku sebaiknya segera sampai dirumah. Aku segera mengemasi tasku. Tapi tertahan oleh panggilan Fira.

“Nes, lu mau kemana?”

“Fir, gue pulang duluan kayaknya. Gue pengen cepet sampek rumah terus istrahat aja. Gak apa-apa kan lu pulang sendirian dulu hari ini?” tanyaku sedikit tidak enak pada Fira. Selama ini memang kami hampir selalu pulang bareng.

“Oh, ya udah. Gak apa-apa. Nyantae aja Nes. Ya udah gih, pulng. Ati-ati ya di jalan.” Fira tersenyum saat melepas aku pergi.

Di parkiran kampus…..

Aku bergegas menuju tempatku memarkir avanzaku. Tapi saat memasuki area perkir, dari kejauhan ku lihat seseorang yang sangat ku kenal seperti sedang menungguku di samping mobilku. Segera aku hampiri orang itu.

“Ayah….”

“Anes. Sudah selesai kuliahnya?” tanya Ayah saat aku mencium tangannya.

“Sudah yah. Ayah kenapa ada disina?” tanyaku heran melihat keberadaan Ayahku di kampus.

“Ayah nunggu kanu sayang. Kamu tidak ada acara kan?”

“Enggak Yah. Memang ada apa?”

“Ada yang mau Ayah bicarakan. Tapi jangan disini?”

“Tentang apa?”

“Nanti Ayah jelaskan. Sekarang kita ke restoran yang dulu sering kita datangi saja ya.

Aku hanya mengangguk dan segera menuju mobil. Aku tak sadar jikalau sejak tadi ada yang sepasng mata yang terus mengawasiku dari balik gerbang kampus dan mengikuti kemana aku dan Ayah pergi.

Setelah dua puluh menit pejalanan yang cukup padat dengan kemacetan, akhirnya avanza silverku memasuki pekataran parker sebuah restoran di daerah sawojajar. Ayah sudah menungguku di depan pintu masuk karena dia terlebih dulu sampai. Aku segera memarkir mobilku dan menghampiri Ayah. Aku dan Ayah digiring menuju ke sudut ruangan ntuk menempati sebuah meja yang cukup nyaman untuk berbincang meskipun menghadap langsung ke arah jalan. Ayah memesan cappuccino hangat untuknya dan green tea untukku.

“Bagaimana kuliahmu Nes?” Ayah memulai pembicaraan ketika pelayan pergi untuk mengambilpesanan kami.

“Baik Yah. Aku enjoy dengan kampus dan semua teman-temanku.” Jawabku.

“Baguslah kalu begitu. Ayah senang mendengarnya.”

Aku menatap Ayah yang diam setalah itu. Dia memperhatikan jalan yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan. “Apa sebenaenya yang ingin Ayah bicarakan? Kenapa sekarang dia hanya diam?”, batinku terus bertanya-tanya. Seorang pelayan datang membawa pesanan kami. Setelah Ayah mengucapkan terima kasih, pelayan itu pergi. Ayah menatapku. Dalam sekali. Seolah ingin menyampaikan sesuatu lewat pandangannya itu. Tapi aku sma sekali tak mengerti. Aku menatap mata Ayah, berharap menemukan jawaban. Tapi aku merasakan sesuatu yang lain. Tatapan Ayah begitu hangat. Tatapan seorang Ayah yang selama ini tak pernah ku dapatkan dari seorang Agus Kusuma Wijaya.

“Ayah……………” aku mulai tak sabar menanti apa yang sebenarnya ingin Ayah katakan. Tapi Ayah hanya memandang keluar jendela. Menatap setiap kendaraan yang hilir mudik di jalanan. “Ayah, Ayah tadi bilang ingin membicaraan sesuatu kan?”

“Ya, memang ada banyak hal yang ingin Ayah katakan padamu Anes.” Ayah berhenti untuk menteruput sedikit capuccinonya. “Ayah ingin minta maaf padamu Nes.”

“Minta maaf?” Aku sedikit bingung. “Minta maaf untuk apa Yah?”

“Nes,” Ayah menggenggam tanganku lembut, hangat. “Ayah tahu selama ini Anes kesepian, merasa sendiri dan tidak ada yang mempedulikan Anes. Terutama Ayah dan Bunda. Selama ini kami hanya sibuk bekerja dan berkarier. Ayah bukan tidak sayang padamu. Hanya saja Ayah berfikir bagaimana membahagiakanmu. Akhirnya Ayah berusaha keras agar bagaimana semua kebutuhan dan keinginanmu tercapai. Tidak ada yang tidak terpenuhi. Ayah tidak ingin kamu hidup dalam kekurangan.” Ayah mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga aku bending air mata yang sedari tadi bermuara di mataku karena mendengar pernyataan jujur Ayah. “Ayah terlalu sibuk memikirkan bagaimana agar kamu bahagia hingga secara tidak sdar Ayah malah membuatmu sedih karena kesepian. Maafkan Ayah Nes. Maafkan Ayah. Ayah bukan bapak yang baik buat kamu sayang”. Setitik air mata jatuh di pipi Ayah. Tapi begitu deras hujan air mata yang kini tumpah di pipiku. Aku tak kuasa lagi menahan bendungan mutiara tangis itu.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku senang pada akhirnya Ayah dan Bunda sadar bahwa aku tak hanya butuh materi dari mereka, tapi juga kasih syang. Tapi di sisi lain ada ketakutan yang besar dalam hatiku. Aku teringat pertengkaran Ayah dan Bunda tadi malam. “apa karena ini ayah dan bunda akhirnya menyadari kesalahannya?”.

Ayah mengusap air mata di pipiku lembut. Dia mengangkat daguku dan bertanya dengan sangat lembut.

“Kenapa kamu menangis sayang?”

Aku menatap dalam mata Ayah. Berharap Ayah akan mengerti. Tapi Ayah hanya terus menatapku dan menanti jawabanku.

“Ayah….” Suaraku tercekat. “Aku memang kecewa, aku memang kesepian karena selama ini Ayah dan Bunda hanya sibuk dengan karier masing-masing. Tapi Aku berusaha mengerti akan keadaan itu. Semua yang Ayah lakukan dan Bunda lakukan hanya demi aku. Tapi dalam hati aku selalu berdoa Yah, semoga suatu saat Ayah dan Bunda akan sadar bahwa aku bukan manusia yang Cuma butuh materi. Tapi juga butuh ksih sayang Ayah dan Bunda sebagai orang tua..” setitik air mata kembali jatuh di pipiku. “Tapi jujur Yah, ada rasa takut di hati Anes.”

“Apa yang kau takutka sayang?”

“Doa Anes selama ini sudah mulai terkabul. Ayah dan Bunda mulai sadar, tapi jika Anes mengingat apa yang tadi malam Anes lihat, Anes takut perhatian Ayah dan Bunda hanya sesaat. Setelah itu kalian akan pergi karena keputusan cerai.” Perih terasa mengucapkan kata perpisahan itu.

“Anes mendengar pertengkaran Ayah dan Bunda?”

Aku mengangguk. Air muka Ayah mulai berubah dari lembut menjadi tegang. “Anes tak hanya mendengar, tapi juga melihat. Dan bahkan Bunda sudah menceritakan. Tapi sebelum Anes berprasangka, Anes ingin Ayah juga jujur pada Anes tentang apa yang terjadi sebenarya.”

Ayah diam. Dia melihat keluar jendela seperti menerawang sesuatu. Tatapannya yang hangat tadi kini menjadi tatapan bingung dan cemas. Sejurus kemudian dia menunduk menatap kepulan asap yang keluar dari cangkir di depannya.

“Ayah………” Aku memanggil namanya berharap akan segera mendapatkan jawaban atas semua tanda tanya yang ada di benakku. Tapi sayangnya Ayah hanya diam. Sama sekali tak bereaksi. “Ayah, aku Cuma ingin Ayah jujur. Apa benar semua yang Anes dengar tadi malam? Apa yang dtuduhkan Bunda itu benar?” tanyaku langsung pada sasaran.

Sejujurnya aku berharap Ayah akan menjawab tidak. Dan ernyata beberapa menit kemudian aku mendapat jawaban yang benar-benar menyesakkan. Ayah mengangguk pelan. Hampir tak terihat jikalau Ayah tengah mengangguk. Tapi aku mengerti dan sangat kecewa. Reflek aku tarik tanganku dari genggaman tangan Ayah. Kepalaku menggeleng pelan. Tak percaya dengan semua ini. Sejurus kemudian aku berdiri dan menyambar tasku. Kutinggalkan Ayah di meja itu. Bergantian langkah kakiku berjalan menuju mobil yang terpakir di halaman restoran. Sebelum masuk ku sempat melihat Ayah masih menunduk lesu di meja. Lalu ku buka pintu mobil masuk lalu membantingnya kuat-kuat. Kunyalakan mesin mobil dan pergi dari tempat itu.



Dia Datang Membawa Senyuman

Ku buka album biru

Penuh debu dan using

Ku pandangi semua gambar diri

Kecil bersih belum ternoda

Fikirku pun melayang

Dahulu penuh kasih

Teringat semua cerita orang

Tentang riwayatku

Kata mereka diriku selalu dimanja

Kata mereka diriku selalu ditimang

Oh….. Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu

Ada di dalam hatiku….

L

agu itu mengalun indah dalam mobilku. Menemani perjalananku yang pilu. Air mata masih deras mengalir di pipiku. Aku sungguh tak percaya pada apa yang terjadi padaku. Ayahku yang selama ini ku sayangi ternyata tega menyakita aku dan Bundaku.

Aku menepikan mobilku di samping sebuah warung kecil di kawasan Wisata Payung Batu. Aku memang mengurungkan niat untuk ingin cepat sampai di rumahku. Aku masih ingin menenangkan diri sekarang. Kepalaku pusing dan penat sekarang. Dadaku mulai sesak menahan emosi yang tertahan. Aku merasa benar-benar sendiri sekarang.

Air mataku mulai menetes satu demi satu membasahi pipi hingga bermuara di daguku. Tapi kemudian sebuah tangan dengan lembut mengusapnya. Aku menoleh ingin tahu siapa orang yang menyeka air mataku. Aku terperanjat melihat siapa yang ada di sampingku.

“Bayu?”

“Gak baik nangis sendirian.” Katanya sambil tersenyum.

“Lu ngapain disini?” tanyaku heran.

“Gue ngikutin lu dari tadi. Emang gak keliatan ya dari kaca spion kalo gue ngikutin? Gue kan pake motor.”

“Lu? Ngikutin gue? Kurang kerjaan ya?” tanyaku sedikit emosi karena memang situasi hatiku sedang tidak enak hari ini.

“Jangan marah dulu Nes, gue gak ada maksud apa-apa kok. Gue ngikutin lu soalnya gue khawatir.”

“Khawatir?”

“Ya, khawatir. Dari tadi pagi gue liat ada yang gak beres sama lu. Awalnya gue gak pengen ikut pusing. Cuma kayaknya gue ngerasa lu butuh temen sekarang.”

“Kenapa lu pikir gue butuh temen?”

“Soalnya gue liat lu dari tadi sendiri melulu. Fira juga tadi gue liat gak bareng lu, padahal kondisi lu kayaknya lagi kacau gitu. Satu-satunya orang yang nemenin lu Cuma bapak-bapak yang tadi ngajak lu ke restoran itu. Gue pikir dia Bokap lu kan?”

“Jadi lu ngikutin gue dari kampus, ke sawojajar ampek ke sini?”

“Seratus buat anda Nona Anesta Wijaya.”

“Kenapa?”

“Gue juga gak tau ya? Gue ngerasa pengen aja ngikutin lu. Takut ada apa-apa. Aneh kan? Gue aja juga aneh ngerasanya.”

Kami terjebak diam untuk sesaat. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku senang ada yang mau menemaniku saat ini karena jika aku sendiri pasti akan lebih buruk lagi kekacauan yang aku rasain. Tapi apa aku harus cerita sama Bayu? Bayu kan baru saja ku kenal? Aku masih belum begitu akrab dengannya. Bahkan baru sekarang aku bisa ngobrol dengannya.

“Kalo lu butuh teman cerita, cerita aja. Gue ini termasuk pendengar yang baik kok. Dan gue bukan komplotan kaum adam yang ember. Jadi lu bisa pegang kata-kata gue.”

Seperti mengerti tentang pa yang ku pikirkan dia langsung mengatakan hal itu sambil tersenyum ke arahku. Lagi-lagi ada yang bergerak-gerak bebas diperutku. Jantungku juga sepertinya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Kenapa tiap liat dia senyum perut gue jadi geli sendiri sih? Ah…… Mungkin gara-gara gue terharu aja karena masih ada orang yang care sama gue.”

“Lha kok bengong Nes? Masa’ Cuma diem-dieman aja? Gak kasian gue yang udah jauh-jauh ngikutin lu apa?”

“Hah? Gue kan gak nyuruh lu ngikutin gue Bay, jadi ya jangan protes ke gue dong.” Kataku dengan nada yang sedikit sewot. “barusan care banget sekarang malah nyolot. Huh….”

“Maaf, bukannya gitu. Gue Cuma pengen bantuin lu biar plong aja. Tapi kalo lu gak suka gue bisa pergi kok.” Kata Bayu sembari berbalik hendak menaiki motornya. Aku sedikit kelabakan. Entah kenapa aku gak mau ditinggal begitu saja oleh Bayu.

“Bay, tunggu.” Aku menghentikan langkah Bayu. “Kok pulang sih? Percuma dong ngikutin gue jauh-jauh kalo lu asal balik aja.”

“Lha tadi katanya gak suka?”

“Lho? Siapa yang bilang?”

“Berarti suka dong gue temenin disini?”

“Hah? Bukannya gitu. GR banget sih.”

“Gak usah malu-malu Nes. Hehehe…..”

Aku tak sadar tersenyum begitu tahu Bayu sedang bercanda. Berusaha membuatku tersenyum lagi. Padahal aku pikir Bayu adalah orang yang sombong, kaku dan angkuh. Tapi ternyata kenyataannya begitu berbeda.

“Gitu dong senyum. Ya udah. Ekarang mau cerita kan kenapa kamu sampek nangis gitu?”

“Haa? Gak salah? Kamu?”

“iya, kamu. Paling aku-kamu aja kalo pas curhat-curhat gini. Kalo pake lu-gue kayak preman. Masak preman mau curhat.”

“Gak nyambung banget kamu Yu.” Aku tanpa sadar mulai ikut beraku-kamu dengan Bayu.

“Terus, kenapa kamu tadi nangis?” Bayu masih ingin tau tentang ceritaku.

“Ceritanya panjang Yu.”

“Ok, aku dengerin baik-baik kok.”

“Aku anak tunggal Yu. Aku gak punya kakak atau adik. Orang tuaku juga bukan orang sembarangan. Ayahku seorang pengusaha bidang ekport-import yang sukses. Begitu juga dengan Bunda. Dia pemilik butik besar yang juga terkenal di Malang. Semua orang pasti akan berpikir betapa beruntungnya aku dengan semua fakta itu. Tapi mereka semua salah Yu.” Aku berhenti sejenak sambil melirik Bayu sekilas.

“Maksudnya salah?”

“Ya, aku memang tidak pernah kekurangan dari segi materi. Semua yang ku inginkan akan tersedia begi/tu aja di depan mata. Tapi ada satu yang selama ini aku inginkan tapi tak pernah ku miliki.”

Bayu diam, menatapku dalam. Menunggu aku melanjutkan ceritaku.

“Kasih sayang orang tuaku.” Aku menghela nafas berat dan dalam. “orang tuaku selama ini sibuk dengan karier dan perusahaan mereka masing-masing. Sejak kecil aku jarang bisa bekumpul dengan mereka. Tidak seperti anak-anak lain yang bisa meluangkan hari minggunya untuk jalan-jalan atau liburan bersama. Ayahku sering keluar kota. Dan Bunda lebih sering berkumpul dengan para pelanggannya.” Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritaku. “Tapi aku tetap berusaha bersyukur kok dengan semua kenyataan itu. Aku tahu orang tuaku sebenarnya ingin membahagiakanku meskipun pada akhirnya mereka justru melupakanku. Aku juga tidak ingin terus menerus dirundung sepi seperti itu. Aku mengisi hari-hariku dengan berkumpul bersama teman-temanku. Dalam hati aku terus berdoa agar orang tuaku tak lagi hanya memikirkan kebahagiaan materiku, tapi juga membrikan kasih sayang padaku. Dan sekarang doa itu terwujud Bay. Bunda dan Ayah minta maaf padaku atas semua kesalahan mereka selama ini. Mereka juga berjanji akan lebih memperhatikanku dan menyayangiku.”

“Lalu kenapa sekarang kamu menangis Nes? Harusnya kamu bahagia kan dengan semua itu. Hal ini yang selama ini kamu hadirkan dalam doamu dan selalu jadi harapan terbesarmu?”

“Ya, semua ini memang harapanku. Aku bahagia akhirnya mereka menyadari semua ini. Tapi kebahagiaanku ini tidak akan bertahan lama Bay.”

“Maksudmu?”

Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang sangat pedih bagiku.

“Orang tuaku terancam akan bercerai.”

“Apa?” Bayu terlihat kaget. Entah kenapa aku melihat ada emosi yang muncul di matanya. “kenapa Nes?”

“Tadi malam orang tuaku bertengkar. Aku menyaksikandan mendengar semua yang mereka ributkan. Setelah itu mereka meminta maaf padaku. Mungkin karena mereka sadar jika mereka memang bercerai aku lah yang paling tersakiti. Tapi yang lebih membuatku sakit adalah alasan mereka. Bunda bilang dia melihat Ayah bergandengan mesra dengan perempuan lain yang notabene adalah teman baiknya. Dan perempuan itu juga begitu kenal denganku. Bagiku dia adalah perempuan yang cantik dan baik. Awalnya aku gak percaya dengan semua itu. Ku pikir mungkin bunda salah faham. Tapi tadi saat aku memohon kejujuran Ayah. Dia mengakui semuanya. Itulah yang membuatku tak habis fikir. Ayah yang selama ini aku sayangi dan sangat dicintai Bunda tega melakukan itu semua.” Air mataku kembali deras mengalir.

Pandangan Bayu menerawang. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan dibalik pandangannya itu. Tapi yang jelas aku cukup lega karenabebanku sedikit berkurang karena aku bisa mencurahkan semuanya kepada Bayu.

“Nes….”

“Hm…..”

“Kamu membenci Ayahmu?”

“Aku gak tau Bay, yang ku tau aku sangat kecewa sekarang. aku ingin marah tapi aku merasa gak berhak untuk marah.”

“Kenapa kamu ngerasa gak berhak untuk marah?”

“Ayah memang salah, tapi mungkin Bunda maupun aku juga bersalah pada Ayah. Tante Nuri pun juga belum tentu salah. Jadi semuanya sebenarnya pasti punya kesalahan masing-masing.”

Bayu tersenyum dan memandangku. Aku balik memandangnya dan yang tidak ku sangka dia menggenggam tanganku hangat dan berkata, “Ternyata kamu orang yang kuat ya? Padahal kamu sepertinya sangat cuek.”

Aku tersenyum sedikit kaku. Jantungku serasa mau copot sekarang. kupu-kupu dalam perutku juga rasanya semakin banyak saja. Terbang kesana kemari memenuhi ruang yang ada. “Kenapa sih gue? Aduh……rasanya kok aneh begini. Padahal gak Cuma Bayu yang pernah megang tangan gue. Tapi kok jadi kacau gini.”

Aku merasakan tanganku sedikit gemetar dalam genggaman Bayu. Dan secara reflek Bayu melepas genggamannya.

“Ops, maaf. Kebawa suasana aja Nes. Aku gak ada maksud apa-apa kok. Beneran.” Bayu sepertinya merasa bersalah karena secara tiba-tiba bersikap agak agresif.

“Oh, iya gak apa-apa kok Yu.” Dalam hatiku ada sedikit sesal karena tanganku bergetar tadi. “Untung dia nyadar, tapi kenapa tadi aku merasa seneng ya?” batinku. Tak sadar aku tersenyum sendiri. ternyata Bayu datang membawa senyuman untukku.



Kosong

Allahuakbar….Allahuakbar…..

S

uara adzan ashar berkumandang syahdu. Menemani hembusan angin yang menyerbu pepohonan. Hawa dingin sejenak menyapa kulitku. Membuat bulu kudukku sedikit merinding. Aku mengusap-usap lenganku agar lebih hangat.

“Nih, pake aja. Dari pada ntar masuk angin.” Bayu menyodorkan jaket yang dipakainya.

“Eh, gak usah. Kamu kan juga mesti pake.”

“Aku nih cowok, masak ada cewek kedinginan malah ena-enakan pake jaket.”

“Gak apa-apa Bay, bener.”

Bayu tak memperdulikan penolakanku. Dia memakaikan jaketnya pada punggungku. “Gak usah protes.”

“Makasih.” Kataku memberikan senyuman.

“Udah adzan Nes, kita sholat dulu ya?” ajak Bayu. “Tuh di deket paying atas ada mushola kecil.” Bayu memggerakkan dagunya menunjuk ke arah mushola yang dia maksud.

“Eh, aku…aku lagi dapet Bay.” Jawabku agak gelagapan. “Sholat? Rasanya sudah lama aku jauh dari kata itu. Atau mungkin aku memang tidak pernah akrab dengan rutinitas itu?”

“Oh, gitu. Aku sholat dulu ya. Kamu nunggu disini atau mau ikut kesana?” Bayu menawari. Aku masih diam dalam bingung. Tapi Bayu langsung member tawaran yang lebih baik. “Ikut kesana aja Nes. Biar gak sendirian. Ntar kalo kamu ilang aku bisa dituntut lagi. Hehehe…..” seringai Bayu.

Aku mengangguk mantap sambil tertawa mendengar gurauan Bayu.

Aku duduk di depan mushola yang mungil itu. Kini Bayu sedang ada dalam lantunan bacaan sholat. Aku tak melepaskan pandangan darinya. Bayu begitu tenang dalam sholatnya. Wajahnya terlihat bersih setelah terbasuh air wudlu. Bibirnya begitu fasih bergetar dalam lafadz bacan sholat. Gerak tubuhnya begitu indah mengikuti gerakan sholat. Jari telunjuknya mantap mengacung saat tasyahud dia baca. Matanya terpejam dan menengadahkan tangan saat mengucap doa seolah dia sedang berbagi dengan Tuhan.

Bayu keluar dari mushola dan duduk disebelahku. Dia merapikan rambut dengan jemarinya. Aku tak sadar masih memandangnya.

“Kenapa Nes? Kok ngliatinnya gitu amat?” tanyanya sedikit heran.

“Oh, Maaf. Gak apa-apa kok.” Kataku ngeles. “Aduh, bodo amat sih, ngapain coba ngliatin Bayu ampek kayak segitunya?”

“Hehe… Aku ganteng ya?”

“Hah? PD banget sih? “ kataku sambil sedikit menahan senyuman.

“Iya kan? Hayo ngaku gak?” Bayu tersnyum nakal.

“Ya iyalah ganteng, kalo cantik kan jadi aneh Bay. Kamu kan cowok. Hehehe….”

“Bisa bercanda juga ternyata Non Anesta ini. “

“Hahahaha…….” Kami tertawa bersama. Entah kenapa beban-bebanku seolah tumbang saat ini. Aku bersyukur ada Bayu saat ini karena paling tidak aku bisa sejenak melupakan masalahku.

“Bayu…..”

“Ada apa Nes?”

“Kamu selalu sholat ya?”

“Ya iya, itu kan udah kewajiban Nes. Tuhan itu udah ngasih kita segalanya masak disuruh sholat lima kali sehari aja mau nolak sih?”

“Kalo kamu dapet musibah atau masalah kamu tetep percaya kalo Tuhan itu baik sama kita?”

“Nes, kalo gak ada musibah atau masalah yang bikin kita sedih, pasti juga kita gak akan ngerasain bahagia. Karena semuan itu harus ada perbandingannya.”

Aku terdiam. Aku selama ini Islam tapi sama sekali tidak mengerti arti rasa bersyukur dan beribadah. Aku hanya menjalani hidupku apa adanya sesuai dengan keinginanku.

“Bayu….”

“Ya?”

“Aku minta maaf.”

“kenapa minta maaf?”

“Aku udah bohong sama kamu.”

“Bohong? Bohong kenapa?” Bayu menatapku bingung.

“Aku gak lagi dapet sekarang?”

“Terus? Kenapa gak sholat?”

“Juju raja aku gak pernah kgerti gimana memaknai Islamku Bay, orang tuaku gak pernah menanamkan sedikit pun tentang semua itu. Aku hanya tau bahwa aku Islam.”

“Apa yang kamu rasain selama ini?”

“Kosong. Aku kayak gak ada tujuan hidup. Yang penting bagiku semuanya berjalan seperti yang aku mau.”

“Kamu gak pernah pengen mempelajari?”

“Pernah terpikir tapi aku gak tau mesti belajar pada siapa? Semua yang dekat denganku semua gak jauh beda sama aku.”

“Sekarang masih mau belajar?”

“Emang masih bisa belajar? Kan aku udah 19 tahun. Kebanyakan dosanya.”

“Ya bisa lah Nes. Asal kamu mau kamu pati bisa.”

“Tapi siapa yang mau ngajarin?”

“Nanti aku kenalin sama seseorang. Aku juga bakalan bantu kamu kok. Tenang aja.”



Shafira…

D

eerrt…Derrrt….Derrt…….

Deerrt…Derrrt…Derrt…….

Handphone yang ku letakkan di meja samping tempat tidurku bergetar cukup keras. Aku melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamarku. “Siapa sih yang ganggu orang jam tiga pagi begini?”. Aku melihat layar HPku. Tertera nomor yang gak aku kenal. Segera aku tekan tombol hijau untuk mengangkatnya.

“Hallo?”

“Assalamu’alaikum.” Jawab suara yang sepertinya sangat familiar denganku. Tapi aku tak yakin siapa karena sangat jarang ada orang yang menelponku beawal ucapan salam.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku sedikit ragu.

“Hai, Nes? Udah bangun atau masih tidur terus bangun gara-gara telponku?” aku masih bingung dengan siapa aku bicara. Tapi kenapa dia pakai aku-kamu? Apa jangan-jangan……

“Bayu?” ragu ku memanggil nama yang ku duga adalah si penelpon ini .

“Iya, ini Bayu.”

“Oh, kirain tadi siapa telpon malem-malem gini. Ada apa Bay?”

“Cuma pengen bangunin aja. Malem-malem gini biar gak tidur terus.”

“Hah? Malem kan emang waktunya tidur Bay?”

“Katanya mau belajar jadi orang Islam yang baik?”

“Iya, terus, hubungannya apa?”

“Kalau kamu mau sedikit tenang sekarang sholat tahajjud gih, kalo masih merasa berat ya mending sekarang HPnya di kasih alarm jam setengah lima pagi biar nanti gak telat shubuhnya. Gak lagi dapet kan?”

“Hehe….enggak Bay. Makasih ya udah ngingetin aku.ngomong-ngomong dapet nomerku darimana?”

“Aku dapet dari Ilyas. Kan kita sekelompok Nes buat mata kuliah manajemen perbankan jadi aku mesti tau nomer kamu, makanya aku tanya ke Ilyas.”

“Oh, gitu.”

“Ya udah. Aku mau sholat dulu Nes.”

“He’em. Makasih banyak ya, Bay. Kamu baik banget. Hehe….”

“Iya, sama-sama. Semua orang bakal baik sama orang yng dia sayang Nes. Ya udah. Assalamu’alaikum.”

Terdengar bunyi klik diseberang sana. “Wa’alaikumsalam.”

Aku masih terbengong mengartikan makna kalimat terakhir Bayu sebelum menutup telpon tadi. “Sayang? Apa mungkin?”

Aku menarik selimutku kembali. Tapi mataku tak lagi mampu terpejam. Ada sesuatu yng mengganjal hatiku. Kemarin aku melewati begitu banyak hal. Mulai dari masalah Ayah dan Bunda hingga perbincanganku dengan Bayu. Sejujurnya kali ini mungkin aku lebih memikirkan Bayu. Entah siapa dia sebenarnya? Kesan pertama kenal dengan dia sama sekali gak ada yang istimewa. Apalagi waktu ketemu di foodcourt. Bagiku dia malah terkesan belagu, cuek dan sombong. Tapi kemarin dia berubah menjadi sosok yang pengertian dan sangat humoris. Mampu membuat senyum yang sepertinya sudah terlalu sulit buatku. Dan yang paling membuatku selalu ingat adalah semua prilaku dan kata-katanya mampu mengisi kekosongan yang selam ini aku rasakan. Kosong karena hampa saat aku tak tahu pada siapa harus berpegang. Dia juga yang mengenalkan Tuhan padaku. Setelah sekian lama aku tidak tahu menahu tentang semua itu.

Deerrrt….DertDerttt….

HPku kembali bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Ternyata dari Bayu.

“Kalau mash ngantuk tidur lagi aja, tapi kalau misal gak bisa tidur lagi cepat ambil air wudlu. Nanti pasti kamu bakal lebih tenang”

Aku tersenyum membaca pesan itu. Aku tak langsung membalasnya. Aku menyibakkan selimutku dan menuju kamar mandi. Dinginnya air tak ku rasakan lagikarena aku ingin mengadu kali ini. Mengadu kepada yang memberiku masalah. Karena Dia pasti akan lebih tau aku harus bagaimana.

Selesai berwudlu aku membuka lemari pakaianku. Aku mencari-cari mukenahku yang bertahun-tahun tak pernah ku pakai. Seluruh bagian almari ku rogoh tapi tak kutemukan mukenah itu. Aku segera beranjak keluar kamar dan menuju kamar Bi Minah. Ku ketuk pelan pintu kamar Bi Minah. Dan sesaat kemudian Bi Minah keluar dengan memakai mukenah.

“Non Anes? Kenapa Non?”

“Bibi lagi sholat ya?”

“Iya. Non Anes kenapa malam-malam kok bangun?”

“Gini Bi, Anes mau nyari mukenah Anes, tapi di almari gak ada. Bibi tau mukenah Anes yang dulu itu dimana?”

“Mukenah?” Bi Minah sedikit kaget dan terlihat heran.

“Iya Bi, mukenah Anes yang dulu itu lo, yang ada bunga-bunganya.”

“Oh, iya Non. Bibi yang nyimpen. Mau buat apa Non?”

“Ya mau dibuat sholat Bi. Masa’ mau dibuat nongkrong?hehe…” candaku.

“Oh, sebentar Non. Bibi ambilkan dulu.” Bi Minah masuk ke dalam kamarnya sebentar lalu keluar lagi membwa tas putih bermotif bunga-bunga kecil warna biru yang sangat cantik. “Ini Non mukenahnya.”

“Ya udah. Makasih ya Bi. Maaf ya udah ganggu sholatnya.”

“Iya Non.”

Aku segera naik kamarku lagi walaupun Bi Minah masih menatapku dengan wajah heran namun terlihat lega. Dalam hati dia bersyukur berkali-kali.

Aku menatap cermin saat memakai mukenahku. Aku melihat sosok lain dari bayangan diriku. Sosok yang selama ini selaulu ku cari tapi belum pernah ku dapati dalam diriku. Dan kini sosok itu mulai muncul. Aku tersenyum menatap bayanganku sendiri. “Wajahku terlihat lebih anggun memakai ini.”

Aku menggelar sajadahku dan mulai menunaikan sholatku. Aku masih sedikit ingat pelajaran agama di sekolah dasar dulu tentang praktek sholat. Meski bacaanku memang belum sempurna tapi paling tidak aku memiliki niat tulas untuk memulainya. Saat berada dalam sholat aku merasa semua beban terangkat begitu saja. Semua terasa begitu ringan. Hatiku merasakan ada sebuah kesejukan.

Ketika sholat ku akhiri dengan dua kali salam, tak terasa air mataku menetes. Aku tengadahkan tangan merendahkan diri sebagai makhluk paling lemah dihadapan Tuhan. Dalam keremangan dan kesunyian malam sebuah doa terpancar dari lubuk hatiku yang paling dalam.

“Ya Allah, aku bukan lah siapa-siapa dihadapanMu. Aku tak bisa menyandingi kuasaMu. Aku tak bisa melakukan apa pun tanpa adanya kehendakMu. Ya Allah, aku memang manusia yang terlampau banyak melakukan dosa. Aku manusia yang tak ingat pada Engkau yang telah menciptakan kami dan member kami jutaan nikmat yang tak tertandingi.

Ya Allah, aku memang terlalu hina untuk meminta padaMu. Tapi aku tak tau lagi harus pada siapa aku mencurahkan keluh-kesah ini. Engkau yang memberi kami segala nikmat dan musibah. Dan tentunya Engkau pula yang pastinya memiliki segala solusi dari segala masalah itu.

Ya Allah, aku tak mengerti kenapa pertengkaran orang tuaku terjadi. Aku mengerti kenapa mereka bahkan ingin mengakhiri bahtera rumah tangganya. Tapi tolong Ya Allah. Setidaknya berikan pada mereka hidayah agar mereka tahu bahwa cerai itu adalah pilihan yan tidak perlu diambil.

Ya Allah, aku memang bukan seorang ahli ibadah. Aku juga tak pernah mengerti apa arti beragama. Tapi tolong Ya Allah, berikan kemudahan bagiku untuk kembali meniti di jalanMu. Jalan yang selama ini tak pernah aku tapaki.

Ya Allah, aku tak akan memohon harta padaMu. Aku tak akan memohon materi kepadaMu. Tapi aku hanya memohon kepadaMu Ya Allah. Kabulkanlah permintaan kecilku.Amin”

▪▪▪

Aku berjalan pelan melangkahkan kakiku melewati koridor kampus yang cukup ramai oleh puluhan mahasiswa. Hari ini aku melangkah lebih ringan dari biasanya. Senyumku tewrkembang tiap kali bertemu dengan beberapa orang yang ku kenal. Saat sampai di kantin aku mengedarkan seluruh pandanganku mencari-cari sosok Fira yang tadi telah membari tahukan keberadaannya melalui sms. Ku lihat di sebuah meja kecil yang berada di tengah kantin Fira sedang ngobrol dengan seseorang. Bayu. aku berjalan menghampiri mereka. Tapi hanya tinggal beberapa langkah lagi, seseorang menarik tanganku dengan paksa.

“Dendi?”

“Ikut gue sekarang!!!” kata Dendi singkat.

“Gue gak mau. Firaaaa…..” elakku sambil memanggil-manggil Fira.

“Gak usah teriak-teriak.”

“Lepasin gue gak? Jangan kurang ajar ya?”

“Ikut gue sekarang.!!!”

“Kalo gue bilang gak mau ya gak mau Den, mau lu tuh apa sih?”, Aku berusaha melepaskan cengkraman Dendi. Tapi semakin aku memberontak, semakin kuat Dendi mencengkramku. Akhirnya tanpa sadar aku menamparnya. PLAKKK.

Semua orang memandang ke arah kami. Termasuk Fira dan Bayu, mereka hendak menghampiriku, tapi Dendi dengan cepat menyeretku. Bayu dan Fira berlari mengejar. Sampai di depan ruang admin fakultasku Bayu berhasil mengejar dan melepas genggaman tangan Dendi dariku.

“Jangan kasar sama cewek.” Bayu berkata dengan dingin.

“Ngapain lu? Ini urusan gue sama Anes.”

“Kalo punya urusan boleh-boleh aja mas, tapi gak usah pake kekerasan. Anes itu cewek.”

“Gak usah ikut campur deh.”

“EH, Den. Lu kenapa gak ada kapok-kapoknya sih? Kalo emang ditolak ama cewek gak usah maksa dong.” Fira ikut membelaku setangah berteriak. Aku melihat wajah Dendi memerah karena malu. Rupanya kata-kata Fira tadi cukup keras dan dapat didengar oleh beberapa orang yang ada disana.

“Lu gak apa-apa Nes?” tanya Bayu.

Aku menggeleng sambil memegangi tanganku yang agak merah karena cengkraman tangan Dendi yang cukup kuat.

“Beneran gak apa-apa? Tangan lu gak sakit?” kini Fira yang sedikit panic melihat tanganku.

“Gak apa-apa kok. Ntar juga gak sakit lagi.”

Kami berjalan kembali ke kantin lagi karena memang kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Aku dan Fira memang janjian lebih awal datang karena dia bilang ingin menceritakan sesuatu.

“Kenapa si Dendi tiba-tiba kasar begitu Nes sama lu?” kata Bayu ingin tau.

“Gue juga gak ngerti Bay. Tadi pas gue mau nyamperin kalian di narik gue kasar gitu.”

“Paling di Dendi Cuma gak terima aja lu tolak waktu itu. Dia kan orangnya emang obsesian Nes. Lu yang ati-ati deh sama dia.”

Aku mengangguk. Aku melirik Bayu yang sama sekali tidak melepas pandangannya dariku. Dia seperti kembali ke Bayu yang ku temui saat pertama kali dia pindah ke kampus ini. Dingin. Bahasanya pun kembali ke elu-gue. Tapi aku bisa ngerti. Kalo dia tidak bersikap seperti itu pasti akan banyak yang heran dan menyangka kami punya hubungan.

“Nes kok malah nglamun?” kata Fira membuyarkanku.

“Oh, Eh gak apa-apa kok. Oya lu katanya mau cerita?”

“Ntar aja deh.” Fira berkata sambil melirik kea rah Bayu. aku mengerti kalau dia tidak ingin cerita di depan Bayu.

“Oh, gitu.” Kataku sedikit ragu. Aku berpikir apa mungkin Fira menyukai Bayu, makanya dia tidak ingin bercerita di depan Bayu. “Masa’ iya si Fira suka ma Bayu?” batinku sedikit tak rela. “Eh, tapi kenapa jadi gue yang repot. Bayu kan bukan siapa-siapa gue. Dan Fira juga berhak punya perasaan kayak gitu. Tapi ntar gue mesti gimana? Gak mungkin gue berebut cowok sama sahabat baik gue sendiri.” aku masih sedikit bingung. “Hah? Kok gue ngomong gitu? Jangan-jangan gue juga suka sama Bayu?”

“Fir? Lu kenapa sih nglamun melulu?” Fira mengagetkanku.

“Belum sarapan mungkin. Iya Nes?” Kali ini Bayu yang bersuara.

“Eh? Mungkin iya. Iya, gue laper kali?hehe….” Aku bingung sendiri dengan diriku. “Ya udah, gue pesen makanan dulu ya.” Kataku sambil beranjak menuju stan mie telor.

▪▪▪

“Gue duluan ya?”

“Lho? Mau kemana Bay?” tanyaku saat Bayu tiba-tiba berpamitan. Padahal kuliah masih setengah jam lagi.

“Mau keperpus dulu Nes. Ok ya? Bye.”

Aku memandang punggung Bayu yang berjalan seakin jauh. Selama bersama Bayu perutku selalu mendadak aneh. Seperti biasa. Tapi aku menikmati itu semua. “Apa bener aku lagi jatuh cinta sama Bayu ya?”

“Nes?” Fira menepuk bahuku.

“Eh?” Aku sedikit kaget. Apalagi melihat Fira seperti curiga karena aku terus memandangi Bayu. “Si Bayu tinggi banget ya? Dari belakang gini apalagi. Hehe….” Aku sedikit bercanda agar Fira tak lagi curiga.

“Jadi dari tadi lu ngliatin si Bayu tuh merhatiin tingginya?” kata Fira seperti menahan tawa. Aku mengangguk dan memaksa senyum yang mungkin terlihat sangat garing.

“Eh, tadi mau cerita apa?”

“Oya, hampir lupa. Gue mau erita soal Bayu Nes.” Kata Fira penuh dengan senyuman. “tuh kan, pasti dia suka ama si Bayu.”

“Kenapa si Bayu?”

“Dari pertama ngliat dia gue kepikiran terus Nes ma dia”

“Kenapa?”

“Gue juga gak tau. Awalnya sih gue kira gue Cuma seneng ngliat tampang dia aja yang cool itu, tapi gue malah kepikiran dia terus. Apalagi pas kita ketemu dia kerja part tima di Matos. Gayanya itu lho Nes, cuek tapi kesannya cool banget. Gue juga beberapa kali sms dia. Tanggepannya positif Nes. Dia pasti bales kalo kalo gue sms. Aduh Nes, kayaknya gue beneran suka deh ama dia.” Terlihat wajah Fira sangat berbinar-binar. Aku tau Fira bukanlah cewek yang gampang jatuh cinta. Tapi kenapa aku sama sekali gak rela mendengar ceritanya. Kenapa harus Bayu yang dia cintai. Bukan orang lain. Kenapa harus cowok yang juga aku sukai yang bisa menaklukan hati Fira?

“Menurut lu gimana Nes?”

“Apanya yang gimana?”

“Ya kira-kira gue cocok gak sama di Bayu?”

“Ehm,kalo itu sih tergantung.”

“Tergantung apa?”

“Kalo Bayu juga suka sama lu berarti cocok, tapi kalo gak ya gak cocok Nes.”

“Kalo menurut pendapat lu, Bayu suka juga gak sama gue?”

Aku bingung menjawab pertanyaan Fira yang satu ini. Aku berharap Bayu bukan suka pada Fira. Tapi padaku. Tapi aku tidak mau menyakiti Fira. Bagaimanapun juga dia sahabat yang selalu menemaniku selama ini.

“Nes kok bengong? Menurut lu dia suka juga gak ma gue?”

“Wah, itu sih gue gak bisa jawab. Secara lu tau sendiri gue orangnya cuek bebek sama orang, jadi ya gak suka merhatiin sekitar. Kenapa gak lu coba PDKT aja.” Aku sedikit ngeles. Tapi aku juga menyesal dengan kalimat terakhirku yang menyarankan agar Fira mendekati Bayu. bagaimana kalo Bayu akhirnya juga menyukai Fira? Ya Allah, kok jadi kayak gini sih?

“Selama ini gue Cuma sering sms aja. Kalo telpon gak berani. Takutnya pas dia lagi kerja atau lagi sibuk gitu.”

“Ya, ntar lu juga tau kok dia suka ama lu apa gak. Pelan-pelan aja Non. Ya Udah, udah hampir jam 10.00 nih. Bentar lagi masuk. Yuk?” kataku mengalihkan pembicaraan.



Bayu…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun