Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pemerintahan, terutama mengingat tantangan global yang semakin kompleks. Dengan adanya ketidakpastian iklim, fluktuasi harga komoditas, hingga meningkatnya populasi, pangan bukan lagi sekadar urusan ekonomi, melainkan aspek penting dalam menjaga stabilitas sosial dan politik. Dalam pemerintahan Prabowo, swasembada pangan menjadi agenda yang krusial, namun tantangan utama terletak pada bagaimana konsep ini tidak hanya bergantung pada swasembada, tetapi juga mendorong kedaulatan pangan.
Swasembada dan Kedaulatan Pangan: Mengapa Keduanya Penting?
Swasembada pangan mengacu pada kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri tanpa ketergantungan pada impor. Di sisi lain, kedaulatan pangan berarti memiliki kendali penuh atas sumber daya pangan, dari produksi hingga distribusi, yang mencakup hak rakyat untuk memutuskan sistem pangan mereka sendiri.
Dalam konteks ini, swasembada pangan bukan hanya soal angka produksi, tetapi tentang kesejahteraan dan keberlanjutan sistem pangan nasional. Jika swasembada pangan hanya berfokus pada produksi besar-besaran tanpa memperhatikan kesejahteraan petani atau keberlanjutan lingkungan, tujuan ini tidak akan bertahan lama.Â
Oleh karena itu, konsep kedaulatan pangan penting untuk diterapkan agar bangsa tidak hanya mampu memenuhi kebutuhannya tetapi juga memiliki kendali penuh atas sektor pangan, baik dari sisi politik, ekonomi, maupun lingkungan.
Kritik atas Fokus Swasembada yang Terkadang Mengabaikan Kesejahteraan Petani
Pada berbagai periode pemerintahan, kebijakan swasembada pangan sering kali menekan petani untuk memproduksi lebih banyak komoditas seperti beras, jagung, dan kedelai. Namun, di sisi lain, petani justru sering kali tidak mendapatkan keuntungan ekonomi yang layak dari produksi tersebut.Â
Harga yang diatur pemerintah, serta keterbatasan akses terhadap teknologi dan modal, sering kali membuat posisi petani tetap rentan. Sementara itu, upaya swasembada yang lebih mengutamakan hasil kuantitatif berpotensi membuat petani menjadi objek dari kebijakan, bukan subjek yang turut mengambil manfaat.
Sebagai contoh, swasembada beras yang ditekankan dalam program pemerintah sering kali memaksa petani untuk menanam beras meskipun komoditas lain mungkin lebih menguntungkan.Â
Dampaknya, diversifikasi pangan menjadi terhambat, dan petani mengalami penurunan daya beli karena komoditas yang mereka hasilkan tidak memberikan nilai ekonomi yang tinggi.Â
Tanpa kebijakan yang mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi petani, swasembada pangan bisa menjadi beban bagi kelompok yang seharusnya menjadi aktor utama dalam sistem pangan nasional.
Ancaman Ketergantungan pada Impor dan Tantangan Diversifikasi Pangan
Meski swasembada menjadi target, pada kenyataannya Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama komoditas tertentu seperti gula, daging, dan kedelai. Ketergantungan ini membuat sistem pangan nasional rentan terhadap fluktuasi harga internasional dan kebijakan ekspor negara lain.