Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Krisis Hiperrealitas, Tantangan Baru Generasi Muda

29 Oktober 2024   09:53 Diperbarui: 29 Oktober 2024   10:29 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring dengan kemajuan teknologi dan arus informasi, generasi muda dihadapkan pada tantangan baru yang disebut dengan krisis hiperrealitas. Hiperrealitas, konsep yang diperkenalkan oleh filsuf Jean Baudrillard, mengacu pada keadaan di mana batas antara kenyataan dan ilusi menjadi kabur.

Dalam dunia hiperrealitas, sering kali realitas yang kita lihat di media sosial atau internet menjadi lebih kuat dari kenyataan itu sendiri, menyebabkan banyak orang terjebak dalam dunia maya yang sulit dibedakan dari kenyataan.

Bagi generasi muda, yang identik dengan kecepatan dalam beradaptasi dengan teknologi, tantangan hiperrealitas dapat berdampak pada jati diri, ekspektasi hidup, dan nilai-nilai budaya yang dimiliki.

Dalam momen peringatan Sumpah Pemuda, kita bisa merefleksikan kembali makna perjuangan dan persatuan di era digital ini, serta bagaimana kita dapat melawan krisis hiperrealitas.

Krisis Hiperrealitas: Tantangan Baru bagi Generasi Muda

1. Identitas yang Terfragmentasi

Kehadiran media sosial yang kuat di kehidupan sehari-hari membuat generasi muda sering kali membangun citra diri yang berbeda dari jati diri asli mereka. Kehidupan ideal yang dipamerkan di platform media sosial seperti Instagram, TikTok, atau Facebook menciptakan ekspektasi yang tidak selalu realistis.

Identitas menjadi terfragmentasi antara realitas dan kehidupan virtual yang dibuat demi "likes" atau pengakuan publik. Fenomena ini berisiko membuat generasi muda kehilangan jati diri dan menumbuhkan perasaan tidak puas terhadap kehidupan nyata.

2. Ketergantungan pada Validasi Online

Di era hiperrealitas, banyak generasi muda yang merasa lebih bernilai ketika mendapatkan pengakuan atau validasi dari media sosial. Riset menunjukkan bahwa dopamine, zat kimia di otak yang berhubungan dengan rasa senang, dilepaskan ketika kita mendapatkan "like" atau komentar positif di media sosial.

Namun, jika kebahagiaan dan harga diri hanya bergantung pada respons di dunia maya, ini bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental, menyebabkan kecemasan, depresi, dan rendahnya rasa percaya diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun