Sebelumnya, pengakuan ini diberikan di dunia nyata melalui interaksi tatap muka, pencapaian, atau status sosial. Namun, di era media sosial, pengakuan ini semakin bergeser ke platform online, di mana validasi seringkali diukur dari "like", "followers", dan tentunya, "centang biru".
Menurut teori Self-Determination dari Deci dan Ryan (2000), individu mencari pengakuan dari lingkungan sosial untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya akan kompetensi, keterhubungan, dan otonomi.
Centang biru menjadi representasi nyata dari pengakuan ini. Sayangnya, jika terlalu berfokus pada pengakuan online, individu bisa kehilangan keseimbangan antara validasi yang datang dari interaksi nyata dengan yang mereka cari secara digital.
Fenomena ini memperlihatkan adanya krisis pengakuan sosial di era digital. Banyak orang merasa bahwa tanpa verifikasi simbolis seperti centang biru, mereka kurang berarti atau tidak cukup valid di mata publik dunia maya.
Pada akhirnya, hal ini menciptakan semacam kecemasan sosial digital, di mana seseorang merasa perlu diakui di platform online agar dapat diakui secara nyata.
Data dan Fakta: Pengaruh Centang Biru di Media Sosial
Fakta menarik lainnya tentang centang biru di media sosial adalah bagaimana platform tersebut mulai "memonetisasi" verifikasi. Pada awal tahun 2023, platform seperti Twitter memperkenalkan fitur berlangganan untuk mendapatkan centang biru, yang dikenal sebagai Twitter Blue.
Melalui fitur ini, siapa pun yang bersedia membayar dapat memperoleh centang biru, tanpa harus menjadi tokoh publik atau akun penting. Langkah ini memicu kontroversi karena dianggap merusak makna asli dari centang biru sebagai tanda verifikasi dan keaslian.
Menurut data dari Statista (2023), sejak peluncuran Twitter Blue, ada peningkatan pengguna berlangganan sebesar 35% dalam waktu tiga bulan pertama, menunjukkan bahwa banyak pengguna bersedia membayar untuk simbol status ini.
Hal Ini menunjukkan bahwa meskipun centang biru mungkin tidak lagi memiliki makna verifikasi yang eksklusif, penggunanya tetap melihat nilai simbolis dalam memilikinya.
Namun, monetisasi simbol status seperti ini juga memicu diskusi tentang bagaimana media sosial memperkuat ketidaksetaraan sosial. Orang yang mampu membayar memiliki akses lebih besar untuk mendapatkan pengakuan, sedangkan mereka yang tidak mampu, meski mungkin memiliki pengaruh atau keterlibatan sosial yang kuat, tidak mendapat pengakuan serupa.