Padahal, secara medis vasektomi tidak berpengaruh pada produksi hormon testosteron atau kemampuan ereksi. Kurangnya edukasi yang memadai membuat pria ragu untuk mempertimbangkan metode ini.
Budaya Patriarki dan Beban Kontrasepsi pada Wanita
Di banyak negara, termasuk Indonesia, tanggung jawab kontrasepsi sering kali dibebankan pada wanita.
Hal Ini didukung oleh norma sosial yang menyiratkan bahwa pengaturan keluarga dan reproduksi lebih merupakan tugas perempuan.Â
Hal tersebut membuat pria mmaskulierasa enggan atau tidak merasa berkewajiban untuk mempertimbangkan kontrasepsi, seperti vasektomi.
Ketakutan akan "Permanen"
Meskipun vasektomi sebenarnya bisa dibalik melalui prosedur yang disebut vasovasostomi, banyak pria yang takut dengan konsep kontrasepsi permanen.
Mereka khawatir akan menyesal di kemudian hari, terutama jika ingin memiliki anak lagi. Ketakutan ini sering kali didorong oleh ketidakpastian mengenai masa depan, seperti perubahan dalam hubungan atau keinginan untuk memiliki lebih banyak anak.
Stigma Sosial dan Maskulinitas
Stigma sosial bahwa vasektomi adalah tindakan yang "melemahkan" atau mengurangi "kejantanan" pria masih kuat di beberapa budaya.
Banyak pria merasa bahwa menerima vasektomi berarti mereka kehilangan "kekuatan" sebagai pria, meskipun faktanya, vasektomi sama sekali tidak mempengaruhi performa atau dorongan seksual.Â
Ketakutan akan dipandang lemah atau kurang maskulin sering menjadi hambatan utama bagi pria untuk mempertimbangkan vasektomi.