Kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi yang merupakan keputusan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat menuai kontroversi dan dinilai tidak ada korelasinya dengan usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan dan etos kerja dan terkesan hanya menebar sensasi tanpa esensi
Berikut ini 3 alasan masuk sekolah jam 5 pagi tidak efektif untuk diterapkan:
1. Tidak baik untuk kesehatan fisik dan mental
Dokter Spesialis penyakit dalam dari Junior Doctor Network Indonesia, dr Andi Khomeini Takdir Haruni seperti dikutip detikhealth mengatakan bahwa masuk jam 5 pagi memungkinkan gangguan irama sirkadian yang bisa terjadi kurangnya istirahat
Ritme sirkadian adalah  proses internal dan alami yang mengatur siklus tidur-bangun yang terjadi berulang setiap 24 jam.Â
Ritme sirkadian bekerja untuk memastikan semua fungsi dan proses tubuh berjalanmaksimal 24 jam.Â
Pada manusia system ini mengkordinasikan sitem mental dan fisik di seluruh tubuh
Akibat dari terganggunya irama sirkadian ini akan mengakibatkan banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh, perubahan level energy yang berkurang, berkurangnya ketajaman berfikir, dan terjadinya perubahan kemampuan kognitip anak
Psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener MPsi mengatakan kebijakan yang mengharuskan peserta didik SMA/SMK di NTT masuk terlalu pagi dapat mengganggu kesehatan mental anak. Menurutnya kekurangan tidurdapat menyebabkan komposisi hormonal yang dimiliki anak tidak berfungsi
2. Tidak adanya kajian secara akademik
Adanya aturan masuk sekolah mulai jam 5 pagi untuk sekolah SMA/SMK yang digagas oleh Gubernur NTT terkesan asal dan tanpa kajian akademik. Kajian tersebut setidaknya ada kajian filosofis, sosiologis, pedagogis dan termasuk geografis
Selain kajian secara akademis perlu juga dilakukan Fokus Grup Discusion dengan melibatkan semua steakholder seperti siswa, orangtua, guru, pemerintah daerah, pengusaha transportasi, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepolisian guna menggodok kebijakan tersebut.
Sehingga semua unsur bisa saling memberi masukan terhadap kebijakan tersebut apakah kebijakan itu layak untuk dilaksanakan atau tidak, sehingga menghasilkan sebuah keputusan yang benar benar memberikan dampak secara realistis dan efektip guna memajukan pendidikan sesuai tujuan awalnya
Karena bagaimana pun keputusan tersebut akan berdampak kepada beberapa elemen masyarakat yang wajib dilibatkan. Pemerintah NTT tidak bisa mengambil keputusan sepihak tanpa mendengarkan elemen masyarakat yang terlibat dalam jaringan pendidikan
3. Tidak ada Korelasi dengan capaian pendidikan di NTT
Sebenarnya  banyak persoalan persoalan yang sangat esensi untuk merubah dan meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
Sebaiknya Pemerintah provinsi akan lebih baik lebih focus pada peningkatan pelayanan pendidikan, bukan malah membuat kebijakan yang asal asalan jauh dari kolerasi persoalan yang sebenarnya
Kordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan salim seperti dikutip kompas mengatakan permasalahn pendidikan di NTT sangat komplek.Â
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan RI Tahun 2021 NTT menjadi provinsi dengan angka stunting tertinggi yaitu sebesar 37,8 persen
Sedangkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Â tahun 2021, Indeks Pembangunan Indonesia di NTT peringkat ke-32 dari 34 provinsi yaitu di angka 65,28
Melihat data dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi tahun 2021 tercatat ada 47.832 kelas yang rusak di NTT. Selanjutnya sebanyak 66 persen jenjang SD belum berakreditasi C, 61 persen SMP belum  dan berakreditasi C, dan 56 persen SMK belum dan berakreditasi C
Ditambah lagi persoalan dimana ribuan guru honorer yang mendapatkan upah jauh dibawah UMK/UMP antara sekitar 200-750.000 per bulan
Dari data data tersebut menunjukan bahwa masih banyak persoalan yang harus diperbaiki untuk meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
Dan tidak ada korelasinya kebijakan masuk sekolah pagi dengan peningkatan mutu pendidikan
Akhirnya persoalan masuk sekolah pagi yang merupakan kebijakan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat hanya berupa sensasi tanpa esensi dan sangat jauh dari korelasi dan realisasi kedepannya.Â
Dan hal tersebut hanya akan membebani masyarakat sebagai ujung tombak penerapan kebijakan.
Dan semoga kebijakan tersebut bukan niatan hanya untuk mencari dan mendulang perhatian masyarakat menjelang pemilu dan pilkada 2024, dan semoga tidak ada hubungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H