Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar atau membaca artikel tentang gasing, mayoritas akan menyebutkan jika gasing adalah permainan tradisional yang digunakan sebagai hiburan dalam mengisi waktu luang.
Di Indonesia, gasing memiliki berbagai bentuk dan juga penamaan sesuai dengan tradisi daerah yang ada. Fungsi gasing pun tentunya beragam mulai dari sekedar hiburan, meramal masa depan, perjudian hingga menjadi senjata magis untuk menyakiti seseorang.
Di sumatera Barat contohnya, yang menjadikan gasing sebagai alat untuk mengirimkan guna-guna kepada seseorang. Gasing ini dinamakan dengan sebutan "gasiang tangkurak". Gasing tangkurak digunakan sebagai media balas dendam seorang pria yang sakit hati cintanya ditolak.
Â
Penamaan gasiang tangkurak berasal dari bahan pembuat gasing yaitu tangkurak atau dalam bahasa Indonesia berarti tengkorak. Di wilayah Minangkabau, terkhususnya yang masih pedesaan mengatakan jika bahan tengkorak yang digunakan untuk pembuatan gasiang tangkurak adalah tengkorak yang diambil dari orang yang mati berdarah, seperti kecelakaan, dibunuh, dan sebagainya. Sebagian lagi mengatakan jika tangkurak berasal dari wanita yang meninggal karena melahirkan sekaligus dipercaya menjadi bahan yang lebih baik.
Kenapa tengkorak dahi atau jidat yang diambil? Karena dahi dianggap sebagai penyimbolan seseorang yang memiliki keteguhan dalam menjalankan ajaran Islam yakni solat.
Bagian yang diambil adalah bagian dahi sepanjang 6x4 cm. Selama proses pengambilan, sang dukun akan merapalkan beberapa mantra. Setelahnya, tengkorak dahi yang sudah dipotong, dilubangi menjadi dua bagian. Kedua bagian tersebut kemudian dimasukan benang pincono atau sebagian lain menyebutkan tali pengikatnya berupa kain kafan. Lalu, gasing kemudian diputar beberapa kali dan ditarik ujungnya hingga gasing berputar terus menerus diikuti dengan dukun yang membaca mantra.
Â
Mantra yang dikirimkan dukun kepada korbannya diambil dari nama makhluk halus yang dikirim untuk menganggu korban yang dinamakan dengan "sijundai" atau juga dikenal dengan "ibilih rajo hawa".