Jumlah pasien Corona Virus Disease 2019 ("Covid-19") yang terjadi di Indonesia sejak bulan Maret 2020 masih mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini menyebabkan perubahan yang besar di berbagai aspek kehidupan, khususnya aspek kesehatan.
Saat ini pelaksanaan program-program kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah masih terfokus pada penanganan virus Covid-19 atau secara resmi bernama virus SARS-CoV-2. Salah satu profesi yang berperan besar dalam melakukan penanganan virus ini tentunya adalah Tenaga Kesehatan.
Sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga Kesehatan dikelompokkan kedalam tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, dan masih banyak lagi, sementara dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis termasuk kedalam kategori kelompok tenaga medis.
Tenaga Kesehatan merupakan profesi yang berada di garda terdepan dalam penanganan Covid-19 yang hampir setiap harinya merawat pasien dengan berbagai macam risiko yang sangat tinggi terhadap penularan virus ini, Tetapi sayangnya, perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang perannya memiliki risiko tinggi ini masih seringkali terabaikan.
Menurut Satjito Rahardjo, definisi perlindungan hukum adalah upaya untuk melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut [Kompas,2003].
Banyak sekali kasus di Indonesia yang membuktikan bahwa perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan di Indonesia masih kurang diperhatikan. Salah satu contohnya adalah Bupati Organ Ilir yang melakukan pemecatan terhadap 109 tenaga medis dan tenaga kesehatan karena para tenaga tersebut diduga telah meninggalkan tugas selama 5 hari saat negara membutuhkan dalam rangka pencegahan virus Covid-19.
Nyatanya pemecatan tersebut dilakukan secara sepihak oleh pihak pemerintah tanpa mempertimbangkan kesepakatan terkait penugasan, insentif, serta kelengkapan Alat Pelindung Diri ("APD").
Salah satu tenaga kesehatan juga memberikan pernyataan bahwa mereka sebenarnya disuruh melakukan penanganan terhadap pasien Covid-19 tanpa adanya pengalaman penanganan dan keterbatasan jumlah APD [CNN, 21 Mei 2020] . Padahal dalam hal ini World Health Organization ("WHO") telah menyatakan bahwa salah satu hak dari tenaga medis yang wajib dipenuhi oleh pihak rumah sakit adalah memberikan informasi, instruksi, dan pelatihan serta keselamatan kerja. Oleh karena hal-hal diatas, perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan di Indonesia sangat dibutuhkan demi menciptakan kepastian hukum bagi mereka.
Bentuk perlindungan hukum yang pertama adalah hak atas keselamatan kerja pada saat  memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat umum. Sebagaimana yang di atur di dalam pasal 13 Undang -- Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan dan memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan tenaga kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.
Hal ini berarti bahwa di masa pandemi seperti ini pemerintah berkewajiban penuh untuk menyediakan dan mendistribusikan Alat Pelindung Diri yang mencakup masker, pelindung mata, pelindung wajah, sarung tangan medis, penutup kepala, dan sepatu pelindung secara merata kepada seluruh rumah sakit yang menangani virus Covid-19 di Indonesia dalam rangka mendukung dan melindungi para pekerja tenaga medis di Indonesia.
Tetapi pada kenyataannya, Pendistribusian APD belum merata di seluruh rumah sakit di Indonesia yang menyebabkan banyak ditemukan berbagai rumah sakit yang kekurangan APD. Oleh karena itu, baik peran pemerintah maupun masyarakat umum dalam hal ini sangat dibutuhkan dalam penyediaan APD untuk para Tenaga Kesehatan.
Selanjutnya, tenaga kesehatan memiliki hak untuk bekerja sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Virus SARS-CoV-2 ini tergolong kedalam virus yang penularannya cepat sekali khususnya terjadi pada orang-orang yang daya tahan tubuhnya sedang tidak baik.Â
Seringkali ditemukan tenaga kesehatan bekerja di luar standar jam bekerja karena harus menangani pasien yang sedang dalam keadaan darurat, ditambah lagi dengan adanya pasien Covid-19 yang terus bertambah setiap harinya tentu membuat baik tenaga medis maupun tenaga kesehatan kewalahan dalam penanganan pasien. Maka diperlukan kebijakan dari sarana kesehatan yang mengatur waktu dan beban kerja kepada tenaga kesehatan yang sesuai dengan kondisi pandemi ini.
Sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja, waktu kerja tersebut meliputi 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Oleh karena itu, apabila pihak rumah sakit mempekerjakan tenaga kesehatan diluar jam-jam yang telah disebutkan diatas, tenaga kesehatan berhak untuk melakukan tindakan terhadap pihak rumah sakit.
Kemudian, tenaga kesehatan berhak untuk menerima imbalan jasa sesuai dengan beban kerja. Sebagaimana yang diatur di dalam pasal 57c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan ketika menjalankan praktiknya itu berhak untuk menerima imbalan jasa.
Kemudian hal tersebut didukung oleh ketentuan di dalam pasal 23 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien yang menyatakan bahwa rumah sakit berkewajiban untuk menjamin hak petugas yang bekerja di rumah sakit dengan memberikan imbalan jasa yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaannya.
Terjadinya kenaikan jumlah pasien yang naik turun pada masa pandemi covid-19 tentu menambah beban kerja bagi tenaga kesehatan, hal ini dapat terjadi karena pasien yang bertambah banyak setiap harinya dan sumber daya manusia yang terdapat di rumah sakit memiliki jumlah yang tidak seimbang.
Selain itu, pekerjaan sebagai tenaga kesehatan pada masa pandemi memiliki risiko yang sangat tinggi baik risiko fisik maupun risiko mental. Risiko tertular berbagai macam penyakit dan terinfeksi virus covid-19, meningkatnya stress akibat beban kerja yang berlebih, tertundanya melakukan pertemuan dengan keluarga dan teman terdekat akibat kewajiban melakukan isolasi diri di tempat lain sehabis menangani pasien terpapar covid-19, ditambah lagi stigma sebagian masyarakat awam yang menganggap bahwa tenaga kesehatan menjadi sumber penularan virus covid-19 sehingga tenaga kesehatan tidak dapat pulang ke rumah.
Risiko dan beban kerja yang tinggi tersebut tentu menambah waktu bekerja bagi tenaga kesehatan yang mengakibatkan para tenaga kesehatan tersebut harus lembur atau bahkan bekerja di hari libur. Dalam hal ini, tenaga kesehatan pada dasarnya berhak untuk meminta tambahan upah kerja lembur kepada pihak rumah sakit sebagai bentuk imbalan jasa tambahan yang diberikan kepada pasien.
Hal ini diatur di dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang meyatakan bahwa pengusaha yang memperkerjakan pekerja atau buruh melebihi waktu kerja yang ditetapkan di dalam Undang-Undang wajib membayar upah kerja lembur.
Hak bagi tenaga kesehatan yang selanjutnya adalah hak untuk memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan kesehatan, dalam hal ini yang dimaksud penerima pelayanan kesehatan adalah pasien. Terdapat banyak kasus pasien yang memberikan informasi tidak jujur dalam memberikan keterangan perihal riwayat penyakit yang diderita ketika diperiksa oleh tenaga kesehatan, hal ini menyebabkan banyak tenaga kesehatan yang tertular covid-19 akibat dari informasi tidak jujur yang diberikan oleh pasien.
Sebagai contoh, 17 tenaga medis dan tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit di Kalimantan Barat terpapar virus covid-19 akibat pasien yang tidak jujur tentang riwayat penyakitnya. Padahal, tenaga medis dan tenaga kesehatan tersebut sudah menghimbau masyarakat disana apabila telah melakukan perjalanan ke luar daerah khususnya dari wilayah zona merah penyebaran covid-19, pasien harus memberikan keterangan secara jujur kepada pihak rumah sakit [Republika, 08 Mei 2020].
Tindakan pasien dalam hal ini tentu bertentangan dengan pasal 57b bab IX tentang hak dan kewajiban Tenaga Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Kemudian sebagaimana yang diatur di dalam pasal 26 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, salah satu kewajiban pasien adalah memberikan informasi yang jujur, lengkap, dan akurat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya. Seorang pasien juga berkewajiban untuk memberikan keterangan dan penjelasan sebanyak mungkin tentang penyakitnya. [Fred Ameln, 1991:53]
Sehingga dalam kasus ini, pasien dapat diberikan sanksi sebagai akibat dari pemberian informasi yang tidak jujur. Oleh karena pasien yang berbohong tentang informasi kesehatannya, sehingga menghalangi penganggulangan wabah covid-19, padahal ia dapat diduga terkena virus covid-19, dapat dijerat dengan pasal 14 ayat (1) atau (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yaitu pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000 atau pidana penjara setinggi-tingginya 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp.500.000.
Kemudian, Tenaga Kesehatan berhak melakukan pengembangan terhadap profesinya melalui pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.
Pendidikan di bidang kesehatan dilakukan di lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah  atau masyarakat, selain itu Tenaga Kesehatan memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya. Pelatihan di bidang kesehatan ini dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, kualitas, keterampilan dan pengetahuan bagi Tenaga Kesehatan di bidang teknis kesehatan terhadap virus covid-19.
Pendidikan dan pelatihan terhadap tenaga kesehatan tersebut meliputi cara penanganan virus covid-19, mengenali gejala-gejala infeksi covid-19, memahami pentingnya alat perlindungan diri serta memilih dan menggunakannya dengan benar, mengetahui bagaimana cara merawat dan berkomunikasi dengan pasien suspek atau pasien yang terkonfirmasi covid-19, dan lain sebagainya.
Pada intinya, Tenaga Kesehatan adalah salah satu profesi yang memiliki peran penting di masa pandemi Covid-19 serta memiliki risiko yang sangat tinggi, oleh karena itu perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan di masa pandemi ini tidak boleh sampai terabaikan.
Perlindungan Hukum ini digunakan sebagai bentuk perlindungan dan apresiasi atas kerja keras yang telah dilakukan oleh Tenaga Kesehatan selama ini sebagai garda terdepan dalam penanganan virus Covid-19.
Perlindungan hukum tersebut mencakup hak-hak Tenaga Kesehatan yang diantaranya adalah hak atas keselamatan kerja pada saat memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat umum, hak untuk bekerja sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh Undang-Undang, hak untuk menerima imbalan jasa sesuai dengan risiko dan beban kerja, hak untuk memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan kesehatan atau pasien, serta hak untuk mendapatkan pengembangan terhadap profesinya yang dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
REFERENSI
Drs. Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cet.1, (Jakarta:Grafitakama Jaya,1991).
Indonesia, Undang-Undang Tenaga Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2014,LN No.298 Tahun 2014,TLN No. 5607.
Indonesia, Undang-Undang Tenaga Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2014,LN No.298 Tahun 2014,TLN No. 5607.
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003,LN No.39 Tahun 2003,TLN No. 4279.
Esthi Maharani, "17 Tenaga Medis tertular Covid-19 Karena Pasien Tidak Jujur", republika.co.id diakses 22 oktober 2020.
Indonesia, Undang-Undang Wabah Penyakit Menular, UU No. 4 Tahun 1984,LN No.20 Tahun 1984,TLN No. 3273.
CNN Indonesia, "Bupati Ogan Ilir Pecat 109 Tenaga Medis terkait Corona" cnnindonesia.com diakses 13 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H