Cinta? Boleh! Bodoh? Jangan!
Membangun sebuah hubungan memang perlu adanya kerja sama yang baik serta kesepakatan/komitmen antar kedua belah pihak. Hal ini tentu bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai alat perekat yang bisa digunakan bila di dalam hubungan itu nantinya terdapat sebuah keretakan.
Namun sayangnya tidak semua pasangan paham dan sadar. Padahal hubungan tanpa kesepakatan dan tanpa tujuan jelas, kerap menimbulkan masalah yang kemudian membuat salah satu pihak merasa tertekan. Merasa tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi dukungan, serta tidak ada lagi kepercayaan. Jatuhnya, sebuah hubungan akan terasa menyulitkan dan hampa.
Belum lagi jika dalam sebuah hubungan hanya didominasi oleh salah satu pasangan. Di mana yang satu bersikap superior dengan merasa bila ia memegang kendali atas hubungan itu, seperti mengekang, melarang. Dan yang satunya inferior dengan hanya bergantung, menurut, serta senang hati menjadi korban atas nama cinta.
Duh!
"Cinta seharusnya memberdayakan, BUKAN memperdaya!" - Nagita Aisyah
Itulah yang kemudian penulis sebut sebagai Toxic Relationsip.
Dikutip dari alodokter.com - Toxic relationship atau hubungan beracun merupakan istilah untuk menggambarkan suatu hubungan tidak sehat yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang. Hubungan ini tidak hanya bisa terjadi pada sepasang kekasih, tapi juga dalam lingkungan pertemanan, friendzone, bahkan keluarga.
Sedangkan menurut Dr. Lillian Glass, yang pertama kali memperkenalkan istilah 'toxic' lewat bukunya yang bertajuk 'Toxic People' pada ahun 1995 menyebutkan bila, toxic relationship merupakan hubungan yang bersifat merusak karena konflik, tidak saling mendukung, muncul persaingan, sampai hilangnya rasa hormat dan kekompakan.
Mengambil konteks hubungan romantis, toxic relationship akan menimbulkan banyak impact negatif bagi diri sendiri. Seperti:
1. Hilangnya energi positif termasuk semangat dan kebahagiaan
2. Merasa tertekan, takut dan marah
3. Merasa diremehkan dan tidak dihargai
4. Merasa dimanfaatkan
5. Diri tidak berkembang karena selalu diatur dan dilarang
6. Mengecilnya lingkaran pertemanan
7. Berkurangnya prestasi akademik/non akademik
8. Tidak fokus pada karir karena terganggu dengan perasaan yang selalu kacau
Sedangkan ciri-ciri toxic relationship bila dilansir dari Mental Health, yaitu:
1. Merasa dirinya tidak pantas/kurang baik bagi pasangan
2. Semua hal yang dilakukannya selalu salah, sehingga harus mencari pendapat orang lain untuk menilai
3. Harga diri sering dijatuhkan
4. Tidak bisa menjadi diri sendiri
5. Dianggap sebagai pembawa masalah
6. Pasangan mulai mengatur dan membatasi pergaulan/pertemanan
7. Kehilangan teman dan orang-orang yang dulunya dekat
Lalu, apa sih sebenarnya latar belakang penyebab seseorang bisa menjadi toxic bagi pasangannya?
1. Dibesarkan dalam keluarga minim kasih sayang, simpati, dan empati
2. Pengalaman buruk di masa lalu yang kemudian menjadikannya secara tidak sadar menempatkan orang lain pada ketakutan yang pernah dia alami
3. Memiliki masalah gangguan mental
Waow!
Cinta memang membutakan segalanya, bahkan kesadaran dan kewarasan diri sendiri. Inilah alasan mengapa banyak orang tidak sadar bila sebenarnya mereka sudah terjebak di dalam sebuah hubungan tidak sehat. Mereka menganggap bila pengorbanan mereka didasari atas nama cinta!
Padahal lagi-lagi penulis tekankan,
"Cinta seharusnya memberdayakan, BUKAN memperdaya!"
"Cinta adalah ketika dua orang saling berkembang baik secara emosional, cara pandang, maupun sosial. Bukan yang saling mengekang dan akhirnya menghambat perkembangan diri terutama ketika kita masih dalam tahap mencari identitas dan prestasi." - Nagita Aisyah
Cinta? Boleh! Bodoh? Jangan!
Daripada bertahan di dalam toxic relationship yang hanya menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, serta perasaan, lebih baik selesaikan, lepas dan coba untuk mulai fokus pada diri sendiri. Banyak hal positif yang bisa dilakukan untuk mengembangkan diri, dibanding menyia-yiakan waktu dengan tetap fokus/terjebak dalam hubungan yang merugikan diri sendiri.
Berat?
Awalnya memang iya. Bahkan bagi sebagian orang mungkin sangat sulit, tapi bagi sebagian orang yang lain, melepaskan adalah awal dari menemukan kembali kebebasan diri untuk menemukan diri sendiri.
"Sejatinya, ketika memutuskan untuk mengakhiri sebuah hubungan, kita bukan kehilangan orang tersebut. Namun kita hanya kehilangan apa yang biasanya selalu ada ketika masih bersama." - Nagita Aisyah
Kita hanya dituntut untuk kembali pada kata 'tanpa': tanpa kabar, tanpa sapa, tanpa ucapan-ucapan mesra, dan tanpa tanpa yang lain. Tidak ada hal merugikan di sini selain tetap bertahan pada hubungan yang tidak sehat. Karena kita bisa lebih produktif mencari identitas dan kemampuan diri tanpa terdistraksi.
Kita memang butuh cinta, tapi cinta bukanlah segalanya. Yang kita butuhkan adalah bagaimana orang lain memperlakukan kita dengan baik, supportif, mencurahkan kasih sayang tanpa merusak fisik maupun mental, dan yang terpenting adalah tanggung jawab serta kepercayaan. Itu lebih tingi dibanding kata 'cinta'.
Bagaimana menurutmu?
Salam hangat dariku, Nagita Aisyah.
__________
Kritik, saran dan pertanyaan sangat dibutuhkan demi membangun diri serta memperlengkap tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H