Mohon tunggu...
Amerta Raya
Amerta Raya Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan Manusia Pelosok Desa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Senyum Rindu Simbahku

20 Juni 2023   12:43 Diperbarui: 20 Juni 2023   12:47 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hemmmm, sudah berapa orang yang kita kasih senyum? Hahaha. Selasa 20 Juni 2023 pukul 10:02 WIB, hari ini aku menatap senyum rindu simbah ku, hahaha. Betapa tidak! Beberapa hari aku tidak nongol. Yang biasanya hampir setiap pagi mampir rumah simbah, beberapa hari sengaja aku tidak kerumah simbah, tujuan ku biar simbah rindu. Hahaha. 

Alhamdulillah tadi pagi, biasa urusan ku dengan yang ngecat lombok dulu Alloh SWT. Sholat subuh dari mushola keluar jam 05:05 WIB, pulang biasa langsung ke kakus (pagi dingin, jadi beser alias pipis mulu), kelar sudah, ambil hape dan tas kecil dan buku. Aku manasin motor gede, hahaha, moge bebek Supra X. kali ini aku sengaja bawa motor karena ada rencana mau negor pisang lagi, tapi kali ini pisang Rojo Peni alias pisang ijo atau pisang ambon. Sengaja bawa motor rencana buat bawa pisang. 

Jalan langsung ke rumah Simbah, biasa simbah habis dari mushola duduk dikursi depan tipi, aku masuk salam dan cium tangan simbah, aku lihat jam sudah setengah enam, sembari aku nyetel alias menyalakan tipi, langsung aku cari chanel TVRI, biasa acara pagi Serambi Islami, pembicara pagi ini bu Nyai Hajah Yati Priyati. 

Tema Serambi Islami pagi ini cukup menarik "Tulang Rusuk Menjadi Tulang Punggung" yakni kiprahe wanita yang turut membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. 

Pembahasaan cukup seru, bagaimana untuk bisa selaras saling mengisi dan walaupun kondisi penghasilan istri lebih banyak daripada suami, tetaplah pada fitrah perempuan untuk menghormati suami, menjaga harkat dan martabat suami. Sayogyanya saling melengkapi untuk menggapai ridho illahi. Sekiranya demikian point yang aku tangkap dari program acara TVRI Serambi Islami. 

Disela menonton aku sembari menanyakan kondisi simbah ku, kemarin-kemarin sempat merasakan nyeri dibagian lengan atas sama centongan alias sayap punggung atas. 

Aku tanya "pripun mbah wis mari sing nyeri, opo isih soko kroso?" simbah sembari senyum-senyum menkawab "alhamdulillah iki wis lumayan ora loro, ming iki gon lengen kadang kroso tapi ora nemen koyo maune" yo wis mari mbah "sahung ku". 

Sambung simbah "iki yo wis ora koyo maune dong angot maune kosi pucuk driji alias jari kui ora kroso, rasane koyo nglotok soko balunge" heeemmmm, aku ikut senyum sembari jawabi "wis koli enggal mari mbah" aamiin, Barokalloh, hahaha. Orang sepuh iku ono-ono ae sing dirasakke. Hahaha. Semoga sehat wal afiat selalu mbah ku, cuma engkau orang paling sepuh yang aku punya saat ini, jadi sengaja sering aku luangkan waktu ku untuknya, simbah akan banyak cerita saat bersama ku, entah cerita pengalaman masa lalunya, bahkan tak jarang cerita itu diulang-ulang, tapi aku asyik mendengarkannya.

Imajinasiku berlari jauh sangat jauh ke tempo dulu, masuk ke spectrum masa mudanya simbah, bahkan masa kecilnya simbah. Melihat konflik yang terjadi dari paparan ceritanya. Dari konfil rumah tangga sampai konflik sosial. Simbah sosok yatim, dia ditinggal meninggal bapaknya masih usia sangat kecil, simbah anak kedua dari empat bersaudara. Nama anak pertama Kardi, mbah Kardi dulu rumahnya dibelakang rumah simbah ku, anak kedua Simbah ku mbah Mugio, simbah ku nikah lebih dulu (melompati) dari mbah Kardi, karena tidak sabar ingin menikah. Anak ketiga ada mbah Jamin, beliau meninggal usia muda, yang terakhir ada mbah Ngatimah, beliau rumahnya di kampung Sibantal, kampung asli dari bapaknya simbah. Konflik keluarga kala itu Simbah ku dan saudara-saudaranya yang masih kecil kala ditinggal meninggal oleh bapaknya. Pakde-pakdenya simbah merebut Harta warisan (tanah warisan) yang semestinya menjadi haknya simbah dan saudara-saudaranya. Maklum orang kampung jaman dulu itu rakus-rakus. Bahkan rumah bapaknya simbah di Sibantal turut dibongkar dan dijual oleh kedua pakdenya. Nama pakde-pakdenya mbah Truno dan mbah Marlani. Keji perlakuannya kepada keluarga simbah ku kala itu. Nama bapaknya Simbah ku mbah Surontiko sama dengan Buyut ku. Ada adiknya satu perempuan yang gemati (sangat baik kepada Simbah ku sekeluarga) namanya mbah Syaripah, tidak seperti kakak-kakaknya. Mbah Syaripah sampai meninggal tidak menikah. 

Simbah ku terus bercerita sembari terus bersenyum, peristiwa demi peristiwa yang masih Simbah ingat, semua simbah ceritakan kepada ku. Ibunya Simbah namanya mbah Rukini (sama dengan buyut ku, istrinya mbah surontiko) ditundung alias diusir dari rumah suaminya untuk kembali ke kampung ku Wadas, membawa empat anak kecil-kecil termasuk Simbah. Jaman itu jalan Kaki menempuh jarak sekitar 10 kilo meter. Alhamdulillah keluarga kampung Wadas memberikan tempat untuk singgah, di kampung Wadas ada kakak-kakaknya yang gemati, walau rumah kala itu hanya menggunakan mbulung, saking tidak punya apa-apa, harta sudah dirampas oleh mbah Truno dan mbah Marlani, rumah dari pelapah pohon mbulung, pohonnya mirip pohon aren tapi karakter batangnya lebih lunak. Kala itu hanya berfikir yang penting bisa singgah neduh, karena mbah Rukini anak mbontot dari empat saudara dan perempuan sendiri jadi sangat disayang digemateni oleh kakak-kakaknya, kakaknya ada mbah Ngalwi anak pertama, kedua ada mbah Ngasmo, dan ketiga ada mbah Misman, mbah Misman dulu jaman belanda dicritakan Simbah ku, beliau ikut berontak memerangi belanda kala masuk Desa, mbah Misman tertangkap dan diasingkan oleh belanda bersama beberapa orang dari kampung lain yang sama-sama tertangkap, di buang di Singapore. Di Singapore orang-orang dari Jawa diberi sepetak lahan untuk dijadikan tempat singgah dan ladang. Termasuk mbah Misman, selagi mbah Rukini masih hidup, tak jarang mbah Misman melayangkan surat, memberikan kabar dan bercerita tentang kehidupannya disana. Batin ku sayang surat-surat itu sudah hilang, pikirku itu dokumen berharga, yang bisa aku cari alamatnya, akan sangat mungkin anak-cucunya bisa untuk aku temui jika surat-surat itu masih ada.

Tak terasa aku dan Simbah saking mesranya bercerita, acara tipi sudah sekmen terakhir saja. Aku bergegas pamit, simbah masih ingin cerita sebenarnya sembari aku pamit simbah bilang "mbok engko ndingin, isih peteng kok" hahaha, peteng wong ning jeruk omah, metu yo wis padang jinggrang sahut ku. Karena aku harus ke gubuk, aku cium tangan simbah, aku pamit, ada mbok lik Rubiati juga yang dari awal nonton tipi sampai aku pamit dia mondar-mandir didapur untuk nyiapin sarapan. Aku pamit juga dengan mboklik dan langsung aku keluar rumah, ngenkol moge dan jalan.

Ketemu tetangga yang barusan buang sampah, ada yang sedang duduk menikmati udara pagi bersama anaknya yang masih kecil. Semua aku sapa sambil berjalan menuju gubuk bambu ku. Tak lama sampai diparkiran alias ladang orang yang biasa buat parkir orang-orang kesawah, ku mati kan mesin dan ku parkirkan motor. Duduk sejenak sembari mendengarkan kuliah subuh di masjid pembicaranya bapak Kyai Tamyiz Abdullah, aku mendengarkan sudah di akhir sesi ceramah, beliau memaparkan pentingnya merasa rendah diri "iso ngrumongso, ojo ngrumongso iso" yakni maksudnya dari ungkapan itu bisalah merasa jangan merasa bisa, ungkapan itu mengingatkan aku yang mana dulu aku pernah membaca tulisan kalimat tersebut di dinding kayu sebuah kamar seorang santri di pondok pesantren kampung Ngampel Patean Sukorejo Kendal.

Mbah Kyai Tamyiz Abdullah memaparkan yang intinya ketika kita tahu kita jangan soko tahu, ketika kita pintar kita jangan soko pintar, teruslah merasa bodoh dan teruslah merasa tidak tahu agar kita mampu untuk terus belajar, terus menuntut ilmu dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun, pun lakukanlah segalanya lillahita'ala, gapai ridho-Nya. Barokalloh. Tak lama kuliah subuh selesai di tutup dengan sholawat dan do'a. Selesai do'a aku jalan melewati turunan jalan setapak dan disambut oleh merdunya gemericik air sungai. 

Aku ke campuan alias pertemuan dua aliran sungai, ku letakkan topi putih, tas dan buku diatas batu, dan aku melepas air pipis yang sudah ku tahan sedari diparkiran, kemudian aku berwudhu, ku ambil semua yang aku letakkan dan jalan meuju gubuk bambu ku, masuk gubuk naik tangga bambu ke lantai dua. biasa tak lupa sambil baca mantra dan langsung nyetel radio RRI Pro 1 Semarang, kemudian salin petelesane alias ganti baju buat nyambutgawe (baju dinas) Hahahah. Hape segera aku cas dan tas ku letakkan di kursi depan jendela. Ku turun tangga menuju ke teras samping, meletakkan beberapa buku dikursi dan membacanya sebentar sembari mendengarkan radio RRI.

Asyik baca buku, waktu tak terasa sudah hampir jam 8, aku tutup buku, dan ambil golok, aku jalan 100 meteran menyebrangi air terjun depan gubuk ku menuju pohon pisang yang akan aku tebang. Ku tebang pohon pisang, pisangnya ternyata keracunan (entah terkenal virus parasite apa, daunnya menguning dan tak lama pohon bakal mati, orang kampung sini menyebutnya keracunan) Padahal pisangnya seharusnya sudah bisa dijadikan keripik. Terus aku tebang saja, aku potong-potong dan sedikit aku rapikan.

Tak dapat pisang yang sudah aku jongko sampai takbawain moge, hahaha. Melihat cabai rawit banyak yang sudah merah, aku lanjutkan memetik cabai, lumayan lima pohon aku petik bisa buat sambel lima kali. Sebelas cabai yang merah aku ambil bijinya untuk aku sebar ditanah cangkulan kemarin (ndeder lombok bahasa kampungnya), lumayan kalau widjinya tukul (lain widji tukul seorang penulis puisi yang kritis) iki widji cabai alias biji cabai, tukul alias tumbuh bahasa kerennya menyemai, hahaha, semua sudah tersebar satu bedeng kecil tanah cangkulan, dan langsung aku siram.

Selesai ndeder lombok, aku ambil kelapa di ranggon (barang go manggon) gubuk kecil dipinggiran sawah. Ada 20 kelapa aku pikul dan ada pupuk kimia aku bawa ke gubuk bambu ku. Ku taruh semua, kelapa yang 8 sudah tumbuh cikal alias tunas dan aku taur di samping batu besar depan teras, sengaja biar tumbuh. 4 kelapa coba ku kupas dan ternyata sudah busuk aku kumpulkan dibawah pohon kelapa. Yang utuh dan belum tukul cikal alias tumbuh tunas ada 8 dan aku bawa pulang. Sebelum pulang aku nyebar mes alias pupuk kimia untuk pohon tomat. Ada mbokde Badriyah dan anak mantu beserta cucunya datang kesawah buat ambil kayu dan memetik talas. Sejenak sambil ngobrol dengan mereka sambil nyiram tanaman yang telah aku kasih pupuk. Jam 9an aku sholat dzuha terus bergegas pulang. 

Nyangking kelapa sampai parkiran, taruh dimotor, semua sudah rapi, motor aku engkol, nyala dan langsung jalan balik kerumah Simbok nganter kelapa. Ketemu beberapa orang lagi nyangkul sawah, salah satunya ada mbah Nasori yang aku teriaki untuk liren alias rehat, ada pak Sidul yang sedang membajak dengan traktornya, pun beliau senyum cerah seperti warna baju yang sedang dikenakan hijau stabilo, dan melambaikan tangan penuh ceria, dasar pak Sidul orangnya ndagel suka bercanda. Langsung jalan, sampai kampung ketemu mboklik Rubiati pulang dari buang sampah, kemudian Simbah ku sedang duduk diteras, semua aku sapa sambil jalan. Sampai dirumah simbok, aku lewat belakang, motor ku parkir, ada mbokde Munawaroh sedang mblongsong Jambu (membungkus Jambu dipohon agar tidak terserang hama lalat buah), beliau menanyakan "soko Kedung dalan toh kang, oleh klopo mbarang", njih de sahut ku, "lah oleh opo mbarang kui ning plastik?" tanya dia lagi, "iki lombok de, nyoh nek go nyambel sampean" sahut ku sembari memberikan lombok yang aku bungkus daun pisang kuning dan kurangkap plastik, "wis porah nahake simbok wae ben go masak" bilang mbokde mun, "ora porah go sampean wae, Simbok wis due okeh" sahut ku, "yo wis matur suwun" sahut mbokde Mun, iyo sahut ku sembari membawa kelapa keteras dan ku taruh, segera ku ke motor lagi. Mbokde Mun tanya lagi "apan langsung ming kedung dalan maning po kang?", enggak de, ki nglebokke motor terus liren, jawab ku sembari muter motor dan jalan. Motor aku masukkan dan biasa langsung menuju diteras belakang, meletakkan tas kecil dan ngecas hape, langsung membuka kompasiana. Sembari mendengarkan RRI aku latihan menulis ini. 

Alhamdulillah sampai dengan jam seini, pukul 12:31 WIB, belum sholat dzuhur, tadi denger adzan malah jempol masih asyik tinggal ngetik-ngetik papan keyboard hape. Hahaha. Ya Alloh ampuni keteledoran ku yang tidak segera mendirikan sholat kala de Samiron (muadzin mushola Baitus Salam kampung ngepeh) telah mengumandangkan adzannya yang begitu merdu. Maafkan aku, hamba-Mu yang pendosa ini. Naztaghfirulohal adzim. Aku merasa hidup ku akan selalu mengesankan khususnya untuk diriku sendiri, ketika aku awali dengan langkah baik dan aku selipkan sholawat dan do'a di setiap geraknya. Sekian latihan menulis siang ini pukul 12:43 WIB, aku khiri, matur sembah nuwun. Nitip sehat, semangat dan jangan lupa bahagia. Wassalamualaikum, Barokalloh. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun